Kamis, 20 November 2008

Songket Besemah, Terkenal di Luar Pagaralam

Songket Besemah, Terkenal di Luar Pagaralam
ANDA ingin mengoleksi songket Besemah? Bagi peminat terutama para kolektor kain tradisional, mungkin tidak ada salahnya melirik hasil tenunan Besemah ini. Hanya saja perlu diingat, isi kocek harus disiapkan lebih dulu karena harganya tidaklah murah. Paling murah sekitar Rp 5 juta sampai Rp 6 juta. Bahkan, songket yang usianya sudah di atas 100 tahun harganya malah dikabarkan bisa-bisa mencapai Rp 30 juta sampai Rp 50 jutaan.
Namun, agaknya sebelum telanjur bersusah payah berburu songket Besemah ini, sebaiknya niat Anda diurungkan saja. Sebab, mencari songket atau tenunan khas Besemah yang asli saat ini barangkali mirip dengan peribahasa: "meminta sisik ke belut", sesuatu yang memang sangat amat mustahil.
"Keinginan memiliki songket Besemah sekarang, tidak ubahnya kita seperti mengkhayal. Sebab, kain tenunan ini memang ada harga tapi dak katik barang (maksudnya, tidak ada barangnya). Jadi, yang ada selama ini cuma sekadar harga dimulut saja," jelas Djazuli Kuris, Walikota Pagar Alam.
Djazuli melukiskan, generasi terakhir yang masih sempat memakai tenun khas Besemah, barangkali adalah orang-orang Besemah seusia dirinya. Setelah itu, generasi berikut, jangankan sempat memakai, melihatnya saja mungkin tidak pernah. "Mungkin hanya yang seusia sayalah yang terakhir memakainya untuk acara adat. Karena, ketika jadi pengantin sekitar akhir 1970-an, songket yang dikenakan waktu itu sudah hampir lapuk," ujar Walikota yang asli Besemah ini.
Budayawan Besemah, Mohammad Saman, mengakui, pada periode 1960-1970-an, beberapa keluarga batih di Besemah sebetulnya masih menyimpan songket-songket khas tenunan tangan ini. Bahkan, beberapa tahun kemudian pun masih banyak yang punya. Namun, itu dipastikan sudah lenyap, selain memang dimakan usia, juga sengaja dijual kepada kolektor dan para pemburu barang antik yang sudah "menyerbu" Tanah Besemah sejak tiga dasawarsa lalu.
"Dari dulu memang belum terpikir oleh masyarakat, songket Besemah merupakan salah satu aset yang bernilai tinggi. Oleh karena itu pula, barangkali tidak seorang pun generasi sekarang yang bisa mewarisi keterampilan menenun seperti tetua-tetua dulu. Sehingga, wajar saja kalau kain tenun Besemah cuma tinggal nama," katanya.
***
ISYARAT bakal lenyapnya songket Besemah, sebetulnya sudah terbaca ketika memasuki dekade 1930-an. Menurut Gathmyr Senen, seorang pekerja seni di Palembang, berdasarkan beberapa literatur ternyata pada saat itu sudah terjadi stagnasi dari orang-orang Besemah yang terampil menenun. Pada saat itu, sudah sangat jarang generasi berikut di Tanah Besemah yang terampil menenun.
Stagnasi ini bisa jadi karena saat itu situasi dan kondisi di Tanah Besemah memang tidak menguntungkan. Ini dipicu oleh kebijakan kolonial Belanda yang mulai "mengacak-acak" sistem pemerintahan dan kekerabatan Besemah. Peran Kepala-kepala Sumbai (suku) di Besemah, bahkan saat itu dilikuidasi Belanda diganti sistem pemerintahan versi mereka.
Situasi demikian, diperkirakan berpengaruh besar terhadap tatanan dan nilai-nilai tradisi masyarakat setempat. Salah satu dampaknya adalah terputusnya pewarisan seni tenun kepada generasi berikutnya.
Menurut keterangan, sejak tahun 1940-an itu, sebetulnya kain tenun Besemah sudah mulai berkurang di peredaran. Ini memang sulit dihindari, karena saat itu sebagian besar orang asing misalnya dari Belanda dan Inggris, mulai berebutan membawa songket ini ke negaranya. Sejak itu hampir sepanjang tahun banyak orang yang berburu kain songket ke berbagai pelosok Pasemah.
Bahkan, puncaknya terjadi sekitar tahun 1970, ketika para pedagang barang antik menjadikan Tanah Besemah sebagai idola. Mereka berdatangan dari Jakarta, Padang, Lampung, Medan, dan beberapa daerah yang memang menjadi bursa barang-barang kuno tersebut.
"Pada saat itu, desa-desa di Besemah memang diramaikan para pemburu barang kuno. Mereka membeli apa saja, mulai songket, piring antik, ukiran, sampai beragam peninggalan yang berbau Besemah. Harganya jangan ditanya, kadang-kadang hanya sekadar ditukar dengan pakaian, piring model baru, radio, dan lain-lain. Karena tidak terbayangkan suatu hari nilainya begitu tinggi, ya saat itu masyarakat mau saja menjualnya. Apalagi, barang yang ditawarkan sebagai barter memang dibutuhkan saat itu," kata Hajjah Manuyah (103), tetua warga Desa Plang Kenidai (Pagar Alam), yang mengaku masih menyimpan beberapa lembar kain tenun Besemah ini.
***
KAIN tenun Besemah atau seringkali disebut Perelung atau kain Pelung, menurut Gathmyr Senen, memang khas dan sangat unik. Kekhasan itu tidak saja dalam bentuk fisik, namun juga khas dari sisi teknis penenunan di mana sejak awal sampai berwujud kain sepenuhnya dirangkai tangan-tangan perempuan Pasemah tempo dulu.
Bahan dasar songket ini 100 persen menggunakan benang emas. Bandingkan dengan songket Palembang atau songket Silungkang (Sumbar) yang hanya menggunakan sebagian kecil benang emas. Motifnya kebanyakan garis patah, sangat berbeda dengan songket Palembang yang sebagian besar motifnya lengkung-lengkung dan patah.
Kain Besemah kebanyakan dipakai untuk acara-acara adat, misalnya, pesta adat perkawinan dan perhelatan besar para keluarga batih. Kekhasan songket Pasemah ini juga tergambar dari tata cara pemakaiannya.
"Kain adat Besemah itu tidak bisa dipakai sembarangan. Songket ini dikenakan dari dada sampai lutut. Jadi, aturan adatnya memang demikian," jelas Gathmyr Senen.
Betapa tingginya nilai-nilai seni dan budaya yang menyertai songket Besemah. Akankah salah satu aset Besemah ini bisa bangkit kembali di masa datang?
"Menurut saya memang mustahil dan terlalu berat untuk diwujudkan kembali. Selain bahan baku, benang emasnya sudah tidak ada lagi di pasar, warga yang mewarisi keterampilan menenun juga tidak ada lagi," tambah Gathmyr.
Rasa pesimis ini memang sangat wajar. Sebab, untuk menenun songket Besemah butuh sentuhan halus dan seni tangan tersendiri. Karena tenun tangan, maka perlu tukang cukit, yakni orang yang ahli mengatur motif khusus benang emas sebelum ditenun. Tukang cukit inilah yang sekarang tidak ada lagi. "Kalau tukang tenun, siapa pun bisa asal dilatih. Tapi, kalau tukang cukit ini yang susah karena tidak ada lagi orang yang menguasai itu," katanya.
Jika memang seperti itu kenyataannya, berarti songket Besemah kini tampaknya memang sudah terkubur. Ini menyedihkan sekali. Dan tidak perlu kaget, jika suatu hari nanti anak cucu orang Besemah sudah tidak pernah tahu, di tanah tumpah darahnya pernah ada hasil karya yang bernilai tinggi.
Kita pun sekarang tidak perlu kaget. Jika pemandu wisata dan para pemilik toko suvenir di Ubud, Bali, justru lebih tahu dengan kain songket Besemah. Begitu pula, tidaklah aneh kalau berbagai literatur Besemah tentang songket dan ukiran Besemah kini bertebaran di mancanegara. Besemah memang lebih tenar di luar negeri ketimbang di kampungnya sendiri...
Ahmad Zulkani (dimuat di Harian Kompas, 24 Maret 2006)

"Sindang Merdike" Itu Kini Tenggelam...
Nasib Masyarakat Pasemah
MASYARAKAT Pasemah? Barangkali tidak semua orang mengenalnya. Secara historis, suku Pasemah dulunya hanya merupakan suatu kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah pedalaman di Sumatera Selatan (Sumsel). Suku Pasemah ini diidentikkan dengan masyarakat yang bermukim di daerah perbatasan Provinsi Sumsel saat ini dengan Provinsi Bengkulu.Secara administratif pemerintahan saat ini, wilayah Pasemah diakui meliputi daerah sekitar Kota Pagar Alam, wilayah Kecamatan Jarai, Kecamatan Tanjung Sakti, yang berbatasan dengan wilayah Bengkulu, dan daerah sekitar Kota Agung, Kabupaten Lahat (Sumsel). Menurut berbagai literatur, semua wilayah itu pada masa kolonial Belanda memang termasuk bagian dari Kewedanaan Pasemah. Sedangkan secara geografis, bisa disebut adalah mereka yang bermukim di sekitar kaki dan lembah Gunung Dempo sekarang.
Penyebutan Pasemah itu sendiri, seperti diakui Mohammad Saman (70), budayawan dan salah seorang sesepuh di sana, berawal dari kesalahan pengucapan (lidah) orang Belanda. Padahal, pengucapan yang tepat untuk menyebut kelompok masyarakat ini sebetulnya adalah Besemah. Hanya saja, karena lidah Belanda tidak bisa mengucap awalan "Be" dari Besemah dan yang terucap hanya "Pa", maka mereka akhirnya menyebut dengan Pasemah.
Belakangan bahkan hingga 57 tahun Indonesia merdeka, yang paling populer di tengah masyarakat justru sebutan: Pasemah. "Keseleo lidah (pengucapan) orang Belanda yang menyebut Pasemah itu, ternyata yang paling populer di luar. Padahal, bagi kami orang-orang yang masih bertahan di sini, dari dulu tetap menyebut Besemah," ungkap Saman, yang mengaku secara otodidak menguasai dan mengikuti perjalanan panjang sejarah Pasemah.
Kata Besemah itu sendiri, konon berawal dari "kekagetan" Atong Bungsu, puyang (nenek moyang) mereka ketika melihat banyaknya ikan "Semah" di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo. Menyaksikan ikan itu, tiba-tiba terucap dari mulut Atong Bungsu kalimat; Besemah..., Besemah...! yang artinya di sungai itu ada (banyak) ikan semahnya.
***
PASEMAH adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi, dan budaya yang sangat khas. Seperti yang dijelaskan Mohammad Saman, masyarakat di tanah Pasemah sedari dulu sudah mempunyai tatanan dan aturan-aturan masyarakat yang bernama "Lampik Empat, Merdike Due" yakni, perwujudan demokrasi murni yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen masyarakat setempat.
Menurut Kamil Mahruf, Nanang Soetadji, dan Djohan Hanafiah dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika, asal usul orang Pasemah dimulai dengan kedatangan Atong Bungsu, yaitu nenek moyang orang Pasemah Lampik Empat dari Hindia Muka untuk menetap di daerah ini. Saat kedatangan Atong Bungsu tersebut, ternyata sudah ada berdiam dua suku yang menempati daerah itu. Yakni, suku Penjalang dan suku Semidang. Untuk menjaga ketenteraman dan melindungi kepentingan mereka, pendatang dan kedua suku itu menyepakati perjanjian bersama. Intinya, di antara mereka sampai anak keturunannya, tidak akan mengganggu dalam segala hal.
Sejauh ini memang tidak diketahui sejak kapan keberadaan suku-suku Lampik Empat di tanah Pasemah. Namun, seperti dijelaskan Kamil Mahruf, jika perkataan Pasemah yang terdapat dalam prasasti yang dibuat oleh balatentara raja Yayanasa dari Kedatuan Sriwijaya setelah penaklukan Lampung tahun 680 Masehi yaitu "Prasasti Palas Pasemah" ada hubungannya dengan tanah Pasemah, maka berarti suku-suku ini telah ada pada awal abad ke-7 M.
Keberadaan suku Pasemah itu sendiri tampaknya memang tidak bisa lepas dari perjalanan panjang sejarah Kesultanan Palembang. Dari berbagai referensi yang dimiliki, menurut Kamil Mahruf, keterkaitan antara tanah Pasemah dan Sultan Palembang dilatarbelakangi oleh hubungan historis dan moral menyangkut ketidakmampuan untuk mengatur diri sendiri.
Disebutkan, setelah puyang Pasemah yakni Atong Bungsu berkembang biak, keturunannya menyebar dan terbagi ke dalam empat suku. Yaitu, Sumbai Besar, Sumbai Pangkal Lurah, Sumbai Ulu Lurah, dan Sumbai Mangku Anom. Karena keempat suku itu tidak mampu mengatur kerukunan di antara mereka, maka dikirimlah utusan masing-masing suku menemui Raja Palembang untuk meminta petunjuk. Khusus dua suku sebelumnya, suku Penjalang dan Semidang tidak turut serta sesuai perjanjian terdahulu.
Lantas, Raja Palembang memberi hadiah kepada keempat ketua suku, berupa satu lampik atau tikar untuk tempat duduk bersama. Arti pemberian itu sangat dalam, yaitu arahan agar keempat suku tersebut harus duduk bersama dalam mengatasi berbagai masalah di lingkungan mereka. Segala sesuatu yang timbul di antara kelompok itu, harus diselesaikan secara musyawarah.
Menurut Saman, Lampik Empat (empat suku turunan Atong Bungsu) dan Merdike Due (dua suku yang sudah lebih dulu ada), merupakan potensi besar masyarakat yang ada di tanah Pasemah. Mereka menyatu, membentuk suatu kelompok masyarakat yang memang sudah sejak lama memiliki tatanan demokrasi modern.
"Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pasemah sudah punya sebuah tata pemerintahan yang amat demokratis. Pada saat itu yang dikedepankan adalah, kekuatan rakyat dengan dasar-dasar musyawarah dan mufakat. Lampik Empat, Merdike Due adalah, suatu tatanan demokrasi murni yang betul-betul sangat menjunjung tinggi pendapat dan aspirasi orang banyak. Itu artinya, jauh sebelum kalangan anggota parlemen dan para pemikir di Indonesia sekarang berbicara soal demokrasi, ternyata di tanah Pasemah sudah diterapkan hal itu lengkap dengan etika-etika berdemokrasi layaknya pemerintahan modern sekarang," tegas Saman penuh bangga.
Hanya saja, pengingkaran terhadap tatanan demokrasi ternyata dari dulu sudah terbukti akan berdampak buruk. Tidak saja sekarang, sejak dari dulu pun pengingkaran demokrasi ini membawa implikasi yang tidak sehat di tengahmasyarakat. Bahkan, bisa menjurus perpecahan dengan beragam persoalan serius. Buktinya, bisa dilihat dalam perjalanan panjang sejarah Pasemah menghadapi Belanda antara tahun 1821 sampai 1866.
Dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika, Kamil Mahruf dan kawan-kawan secara gamblang menggambarkan betapa kejayaan Pasemah bertahun-tahun, bisa hancur hanya gara-gara pengingkaran terhadap nilai-nilai yang ada pada Lampik Empat, Merdike Due tadi. Bahkan, sekitar tahun 1866 ketika Pasemah Sindang Merdike (julukan membanggakan bagi orang-orang Pasemah sebagai penjaga perbatasan) berakhir, disebut-sebut dipicu oleh ketidaksenangan sebagian kepala dan orang-orang berpengaruh di wilayah Lampik Empat bersama-sama orang Semidang untuk membatalkan perjanjian "Sindang Merdike" dengan Belanda.
Berbagai ambisi dan kedengkian itu pula akhirnya yang menyebabkan runtuhnya kejayaan Lampik Empat, terhitung sejak 22 Juli 1867. Sudah bisa ditebak, begitu Lampik Empat "terkubur", lenyap sudah sebuah hakikat demokrasi dalam sekejap. Artinya, kebijakan tanpa didasarkan pada musyawarah dan mufakat ternyata telah meruntuhkan sebuah pilar demokratis yang dibangun di tanah Pasemah.
***
MAKIN tenggelamkah "Sindang Merdike" saat ini? Menurut budayawan Pasemah, Mohammad Saman, begitu kekuatan Belanda merambah ke sini, mulailah terjadi pergeseran nilai-nilai adat, budaya, dan sistem pemerintahan di tanah Pasemah. Dampak berikut juga menyentuh berbagai peran dan fungsi lembaga-lembaga lama yang ada di masyarakat ke lembaga baru yang sesuai dengan keinginan penguasa.
Lembaga-lembaga lama misalnya hukum adat dan tradisi lain, semakin tidak berfungsi. Bahkan, puncaknya memasuki abad XIX, berbagai lembaga tradisional di tanah Pasemah terasa mulai keropos dan pada akhirnya hilang digerogoti kolonial. Barangkali ini terkait pula dengan strategi perang yang tujuan akhirnya adalah agar kekuasaan mereka bisa langgeng.
Era sekitar tahun 1940-an, bisa disebut sebagai titik awal pudarnya kejayaan Pasemah. Sebab, pada saat itu sistem pemerintahan marga sebagai sebuah sistem pemerintahan tradisional yang mapan di tanah Pasemah, ternyata dihapus oleh kolonial. Jabatan strategis seperti, Kepala Sumbai, Pesirah, dan lain-lain lantas dilikuidasi.
Dilukiskan, cobaan bagi tanah Pasemah tidak semata lahir pada zaman kolonial. Setelah merdeka, bahkan di era orde baru pun tanah Pasemah juga menjadi korban. Sistem pemerintahan marga, misalnya lembaga Sumbai yang mulai bertunas kembali saat itu, sengaja dienyahkan.
"Dengan diterapkannya Undang-Undang Pemerintahan Desa yang seragam dari Aceh sampai Irian sekitar tahun 1979, membuat pemerintahan marga di tanah Pasemah kembali terkubur. Padahal, saat itu reinkarnasi sistem pemerintahan marga sudah mulai muncul kembali. Ini jelas petaka kedua yang melanda Pasemah," tutur Saman.
Imbalan dari pemerintah Orde Baru, untuk menghargai rasa keterpaksaan masyarakat Pasemah dalam menghapus marga dan diganti desa kala itu, hanya berupa sebuah stasiun relay televisi, satu masjid, dan memberi status kota administratif bagi Pagar Alam. Imbal beli yang teramat murah ini memang ironis. Akan tetapi, para tetua Pasemah tidak berdaya karena jika mereka menentang, jargon yang paling pas adalah akan dicap sebagai antipembangunan.
"Ketika itu pilihan kami memang serba sulit. Daripada timbul konflik dan dianggap macam-macam, dengan rasa berat hati kami akhirnya menerima tawaran itu. Kita betul-betul sedih, karena sudah diramalkan bahwa Pasemah akan dikubur tanpa bisa bangkit kembali," ia menambahkan.
Tentang keinginan menghidupkan kembali pemerintahan marga, diakui Saman, bukan dimaksudkan untuk sekadar menghibur diri. Karena dengan sistem pemerintahan marga, diyakini semua institusi akan memiliki basis sampai ke tingkat yang paling dasar. Ini memberi banyak keuntungan, salah satunya adalah gampang menarik masyarakat untuk berpartisipasi dalam menggerakkan roda pembangunan. Sudah dari dulu diketahui bahwa Kepala Sumbai atau Pesirah memiliki ikatan moral dan berpengaruh luas ke bawah.
"Terus terang, kami iri dengan Sumatera Barat (Sumbar) yang saat ini sudah kembali ke pemerintahan Nagari. Jika di Sumbar sistem pemerintahan tradisional bisa dihidupkan kembali, kenapa di tanah Pasemah ini tidak dilakukan. Jadi, inilah yang perlu digugah untuk membangkitkan kembali kejayaan Pasemah dalam konteks pemerintahan modern di era otonomi daerah," ujarnya.
Akankah "Sindang Merdike" itu akan terkubur sepanjang masa ? Jawabannya, tentu tergantung dari keinginan bersama masyarakat di tanah Pasemah itu sendiri.
Sebab, sebagai kelompok masyarakat yang mendapat gelar kehormatan "Penjaga Perbatasan", idealnya memang harus mampu bangkit karena mereka memiliki rasa patriotisme tinggi. Sikap mental seperti itu memang sudah terbukti dan teruji dari dulu. Hanya saja, tenggelam dengan nostalgia masa lalu, jelas bukan sebuah jawaban yang tepat....
Ahmad Zulkani (dimuat Harian Kompas, 24 Maret 2006)

Tidak ada komentar: