Sabtu, 22 November 2008

Bohorok, Bencana Itu Tidak Terduga...

UDARA dingin terasa begitu menusuk di kawasan wisata Bukit Lawang, Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Hujan yang turun sejak sore tidak menghalangi M Salman Rangkuti (26) bertandang ke rumah abangnya, Denim (35). Walaupun mereka satu desa dan rumahnya hanya berjarak sekitar 200 meter, berbagai kesibukan ternyata membuat keduanya jarang bertemu. Karena itulah, seusai berbuka puasa, Salman lantas menyambangi abangnya yang tinggal di sebuah rumah berdinding papan tidak berapa jauh dari pinggir Sungai Bohorok.

KETIKA jarum jam hampir menunjukkan pukul 21.00, Salman beranjak dan pamit pulang. Dari kejauhan, ia mendengar arus Sungai Bohorok yang makin lama semakin bergemuruh. Beberapa warga Bukit Lawang memang sudah mulai ribut karena aliran Bohorok tampak semakin liar. Beberapa warga yang kebetulan punya warung persis di bantaran sungai bahkan mulai terdengar hiruk-pikuk.

Belum sempat berpikir apa yang akan terjadi, Salman mendengar suara gemuruh yang sangat dahsyat dari arah hulu Sungai Bohorok. Sembari meminta ibunya, Nurhayati (52), dan seorang adiknya yang berusia 11 tahun agar berlari ke arah mes Kepolisian Khusus Kehutanan, ia buru-buru menutup warung. Tapi, belum semua pintu warung tertutup rapat, mendadak luapan Bohorok menghantam di depannya. Ia bergegas, berlari arah ke tebing bergabung dengan beberapa warga lain yang telah lebih dulu ada di sana.

"Kejadiannya berlangsung sekejap, tak lebih sekitar 20 menit. Bergulung-gulung persis seperti ikan paus yang sedang beraksi di tengah lautan, lumpur, bebatuan, dan kayu gelondongan menghantam apa saja yang ada di depannya. Sangat dahsyat dan menakutkan. Begitu bunyi gemuruh menyurut, samar-samar saya lihat semuanya sudah rata dilindas air bah yang kecepatan sangat sukar dihitung. Suasana sekitar berubah gelap gulita, listrik mendadak padam karena tiang betonnya roboh dihantam kayu log," tutur Salman Rangkuti, mengisahkan betapa banjir bandang itu amat mengerikan.

Salman, orang tua, serta adiknya memang luput dari maut. Akan tetapi, ia justru menyesal seumur hidup. Betapa tidak, abangnya, Denim, bersama istri dan kedua anaknya yang beberapa menit sebelumnya masih sempat bercanda ria hilang lenyap di kegelapan malam naas itu.

"Saya sangat menyesal, kenapa tidak sempat mengajaknya menyelamatkan diri. Sulit saya bayangkan, apa yang bisa dilakukan Abang Denim. Paling-paling pasrah berdiam diri menunggu maut karena ia buta sejak kecil," kata Salman. Ia tak sanggup bercerita lagi karena kerongkongan tersekat menahan tangis membayangkan saat kritis yang dialami Denim sekeluarga.

Tidak saja Salman Rangkuti dan Denim, peristiwa pada Minggu (2/11) malam itu memang menjadi malam menakutkan bagi warga yang tinggal di kawasan wisata Bukit Lawang, Bohorok, sekitar 85 kilometer arah barat Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut). Permukiman yang pada siang hari, terutama hari libur, ramai dikunjungi wisatawan itu dalam sekejap berubah rata. Lumpur, bebatuan, dan kayu-kayu bulat berdiameter hampir satu meter melumatkan apa yang ada di sana.

KINI tidak ada lagi restoran yang menggelantung persis di bibir Sungai Bohorok. Tak tampak lagi kios-kios cenderamata, yang tertata rapi di sepanjang bantaran sungai. Tidak tampak lagi jembatan gantung yang terayun-ayun, melintas di tengah Sungai Bohorok. Juga tidak ada lagi penjual sate telur puyuh, sate jengkol, dan sate kerang khas Bukit Lawang. Sebab, air bah telah meluluhlantakkan segalanya.

Murniati (40) yang kehilangan adik ipar dan dua anaknya tidak pernah pula membayangkan kawasan wisata alam Bukit Lawang, yang populer dijuluki "Kamthai" atau Kampung Thailand karena berbagai "aktivitas" wisata di sana, kini justru berubah menakutkan. Di sana sini yang tampak sekarang cuma kayu bulat yang bergelimpangan, persis seperti tempat penampungan kayu gelondongan sebuah perusahaan HPH atau kilang gergajian. Rumah, warung, dan penginapan yang ada di sana hanya menyisakan kepedihan yang teramat dalam.

Sebab, begitu sinar mentari pagi menyembul di balik pepohonan keesokan harinya, derai air mata dan isak tangis bersipongang di seantaro kawasan Bukit Lawang. Banjir bandang telah merenggut segalanya di sana. Hingga hari Jumat (7/11), korban tewas yang sudah ditemukan di bawah tumpukan kayu gelondongan setidaknya tercatat 113 orang. Sedangkan lebih dari 100 orang lagi hilang dan masih dalam pencarian. Tidak saja korban jiwa, harta benda warga pun lenyap seketika. Paling tidak tercatat sekitar 400 rumah, warung, dan penginapan hanyut diterjang air bah.

Suara gergaji mesin melengking meraung-raung, yang dari dulu diidentikkan dengan maraknya penebangan liar di berbagai kawasan hutan di Tanah Air, sejak Senin (3/11) pagi memang terdengar nyaring di kawasan wisata Bukit Lawang. Tapi, hiruk-pikuk raungan gergaji mesin itu bukan lagi sedang menebang dan membabat hutan Leuser. Gergaji itu tengah memotong dan menyingkirkan kayu-kayu gelondongan untuk mencari serpihan dan onggokan tubuh manusia yang kemungkinan tertimbun dan terjepit di situ.

Ratusan korban sia-sia memang telah jatuh di Bukit Lawang. Padahal, belum tentu mereka ikut terlibat dalam pembabatan hutan ilegal. Toh, itulah hukum alam. Ia tidak memilih korban. Siapa pun yang ada di depan dilindasnya. Tak peduli mereka adalah balita dan anak-anak sekalipun.

HUKUM alam yang datang dari Tuhan memang tidak bisa ditebak dan tak bisa diajak kompromi. Banjir bandang di kawasan Bohorok barangkali bisa dijadikan salah bukti konkret betapa bencana itu memang sama sekali tak terduga. Kendati tak terduga, kalau manusia arif, sebetulnya sejak dini sudah ada isyarat. Hanya saja, kadang kala kita memang telanjur pongah dan tidak memedulikan tanda- tanda alam.

Terkait dengan banjir bandang di Bohorok, apa pun penyebabnya, hal itu jelas tidak bisa dilepaskan dari kondisi alam sekitarnya. Perubahan drastis ekosistem dan degradasi lingkungan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang menjadi hulu Sungai Bohorok barangkali berpotensi menjadi pemicu bencana banjir bandang ini.

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) di DPRD Sumut dalam pendapat akhirnya pada Rapat Paripurna DPRD tentang nota keuangan dan rancangan perubahan APBD pada medio Oktober 2003 sebetulnya telah memberi isyarat bahwa ancaman banjir sudah di pelupuk mata. Ini terkait dengan makin kritisnya sejumlah kawasan hutan, termasuk hutan di TNGL.

"Kondisi TNGL dan Kawasan Ekosistem Leuser kini sudah kritis dan memerlukan perhatian semua pihak. Dari data yang kami peroleh, sejak 1985 hingga 2003 saja kerusakan hutan di Leuser terus meningkat dan rata-rata mencapai sekitar tujuh persen per tahun. Justru itu, ke depan, Kawasan Ekosistem Leuser diusulkan agar ditangani langsung oleh Pemprov Sumut dan tidak lagi dikelola Unit Manajemen Leuser seperti sekarang. Pertimbangannya, agar daerah dapat ikut secara langsung bertanggung jawab dan berperan aktif dalam mengamankan TNGL secara keseluruhan," ujar Rijal Sirait, juru bicara F-PPP DPRD Sumut, tegas.

Menurut Sirait, usulan agar Pemprov Sumut dan kabupaten sekitar TNGL bisa dilibatkan cukup beralasan. Selain untuk menjaga citra di masyarakat internasional karena Leuser dianggap sebagai paru-paru dunia, keikutsertaan daerah Sumut terasa amat penting. Jika terjadi sesuatu, misalnya banjir, maka yang paling awal merasakan dampaknya kelak adalah masyarakat Sumut sendiri. Sebab, sebagian besar sungai besar yang mengalir di daerah ini, seperti Sungai Bohorok dan Sungai Wampu, memang berhulu di kawasan TNGL.

"F-PPP di DPRD minta Gubernur Sumut serius ikut menangani masalah ini. Sebab, fraksi kami khawatir, kalau tidak ditangani hati-hati, sekitar 20 tahun ke depan daerah ini akan mengalami malapetaka. Dan yang akan disalahkan generasi mendatang adalah generasi sekarang," kata Sirait mengingatkan.

Apa yang disampaikan wakil rakyat di DPRD Sumut itu tampaknya memang benar, hanya saja jauh meleset dari prediksi awal. Sebab, malapetaka dan bencana besar itu bukan datang 20 tahun ke depan, tetapi ternyata terbukti beberapa hari kemudian. Banjir bandang akibat luapan Bohorok yang berhulu di TNGL telah mengundang petaka besar: melumatkan dua perkampungan penduduk, yakni Desa Bukit Lawang dan Timbang Lawang di kawasan Bohorok.

Memang ada sebuah ungkapan, "nasi telah jadi bubur"! Akan tetapi, dalam konteks bencana banjir bandang di Bohorok, tidak ada istilah terlambat. Sebab, kalau kita sedikit saja lalai, bencana serupa sudah barang tentu akan terulang kembali.

Dari balik garis polisi yang memagari lokasi banjir di Bukit Lawang, Murniati, Salman Rangkuti, Nurhayati, Amrah, dan lain-lain tampak menatap tak berkedip ke arah puing rumah mereka, ke fondasi warung mereka, dan juga ke balik gelondongan yang bergelimpangan di sana. Mereka masih menatap penuh harap, mudah-mudahan masih bisa ditemukan sebentuk wajah berkedip di balik kayu log.

Pemandangan mengharukan dan dramatis tampaknya memang sedang memayungi kawasan wisata Bukit Lawang sejak lima hari terakhir ini. Jeritan histeris, isak tangis, derai air mata, dan peluk haru terlihat menyatu ketika setiap relawan menggotong kantong-kantong jenazah ke ambulans.

Bagaimanapun kepedihan itu, kini semuanya sudah terjadi. Hukum alam memang mustahil dilawan. Dan bencana itu memang sama sekali tak bisa diduga, kecuali barangkali hanya bisa diwaspadai…. (AHMAD ZULKANI, dimuat di Harian Kompas)

Tidak ada komentar: