Sabtu, 22 November 2008

Enam Bulan Bersama Teror Tsunami

NYONYA Marduani (38) dengan penuh kasih sayang menggerakkan ayunan bayi yangterbuat dari selembar kain jarit. Bayi perempuan yang baru berusia sebulan danbelum punya nama itu tengah tertidur pulas.Marduani dan keluarganya adalah salah satu keluarga di Kabupaten Mukomuko,Bengkulu, yang masih tinggal di bedeng dan tenda plastik karena rumahnya robohakibat gempa 12 September 2007.

Berkali-kali mereka dikejutkan guncangan gempadan pengumuman ancaman tsunami yang meneror karena muncul tak kenal waktu.Dapur yang sempit dan sumpek tempat ayunan bayi tradisional itu tergantung makinterasa sesak karena dinding dan atap rumah warga Desa Pauh Terenja, KabupatenMukomuko, itu terbuat dari seng bekas.

Sesekali, Marduani mengipasi bayimungilnya yang masih merah dan mulai berkeringat. ”Sudah enam bulan lebih saya,suami, dan empat anak hidup di bedengan ini. Bayi perempuan saya ini pun lahirdi lantai tanah beralaskan selembar plastik. Seandainya punya uang, mungkinsudah lama bisa mendirikan rumah kembali walaupun hanya rumah kayu. Tetapi,karena tidak punya apa-apa dan hanya mengandalkan hidup dari panen jagung danburuh tani, kami terpaksa menikmati saja walaupun sudah sangat tersiksa,” tuturMarduani dengan nada terbata-bata.

Ia mengakui, selama menunggu panen jagung, suaminya kini terpaksa memburuh dikebun orang. Jika beruntung, suaminya bisa membawa pulang upah paling banter Rp15.000 sehari. ”Inilah penyambung hidup sekeluarga. Dua bulan pertama pascagempatahun lalu, kami memang sempat menerima bantuan beras 20 kg dan jatah hidup Rp400.000. Kini, setelah enam bulan rasanya hidupnya semakin kabur. Esok pagi,entah makan apa anak-anak saya lagi,” kata Marduani.

Marduani tidak sendirian. Di deretan rumahnya di Desa Pauh Terenja, hanyasekitar 3 kilometer dari Kantor Bupati Mukomuko, juga ada Basril (48), Dasminah(50), dan puluhan warga lain yang mengalami nasib sama: hidup di bawah tendaplastik, di bedeng sumpek berdinding terpal bekas yang bolong-bolong.

Jika datang semburan angin pantai di malam hari, penghuninya akan tersiksakarena angin seperti menusuk tulang. Bahkan, jika merujuk data posko SatuanPelaksana (Satlak) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Kabupaten Mukomuko, tercatat 1.430 rumah warga rusak berat—sebagian besar dalam kondisiroboh rata tanah—akibat gempa tahun lalu. Itu artinya, ada sekitar 1.430keluarga pula yang kini hidup sebagai pengungsi di reruntuhan rumah sendiri.

Menurut Basril, belum hilang derita, trauma, dan ketakutan akibat gempa yangterjadi enam bulan lalu, hari Senin petang lalu daratan Mukomuko kembalidiguncang gempa berkekuatan 7,2 skala Richter. ”Hidup di bawah terpal plastikketika musim gempa seperti sekarang ternyata ada hikmahnya. Saya sekeluargatidak perlu lagi lari ke luar karena tidak bakal ada yang roboh. Buktinya ketikagempa mengguncang dua hari lalu, kami tenang-tenang saja di sini,” kata Basril.

Kondisi yang amat menyiksa juga dialami Dasminah. Pasangan petani ini mengakui,rumah semipermanen dengan tiga kamar miliknya rata tanah akibat diguncang gempatahun lalu. ”Yang tersisa hanya WC dan sumur,” ujarnya.

Untuk makan saja, ia harus mengutang dulu sambil menunggu panen jagung sehinggahampir tak mungkin membangun rumah baru. Tidak itu saja, agar anak-anaknya tidaksakit, Dasminah sudah enam bulan ini terpaksa menitipkan anaknya tidur di rumahtetangga.

”Kalau kami, ya, harus bisa menikmati hidup di bawah terpal iniberbulan-bulan karena kalau ikut menumpang pasti memberatkan. Namun, kalau hujanderas karena atap plastik bocor, kami pun terpaksa mengungsi tidur di rumahsebelah yang masih utuh,” kata Dasminah.

Tidak kerasan.

Betahkah Basril, Dasminah, Marduani, dan ribuan korban gempa di Mukomuko terusbertahan di bawah terpal plastik dan bangunan darurat? Kalau dibilang tak betah,buktinya mereka bertahan di sana sampai sekarang.

Setelah ditelusuri, sebenarnya mereka tidak kerasan. Semua karena keterpaksaan.Mereka mengaku tidak punya uang lebih dan tidak mampu membangun kembali rumahkarena sebagian besar korban gempa di Mukomuko adalah keluarga miskin.Ketika gempa terus mengguncang Mukomuko, satu-satunya harapan warga hanyalah segera dikucurkan dana perbaikan dan pembangunan kembali (dana recovery) sepertiyang dijanjikan pemerintah pusat sejak pascagempa. Dana itu besarnya bervariasi,mulai dari Rp 5 juta untuk rusak ringan hingga Rp 15 juta bagi bangunan yangroboh.

”Nasib kami sekarang mungkin mirip pungguk merindukan bulan. Entah kapan danabantuan yang dijanjikan pemerintah itu cair. Padahal, sudah sebulan lalu wargadisuruh membuka rekening di bank. Kami tidak habis pikir, tega-teganya mengumbarjanji dan kemudian membiarkan rakyat hidup menderita di bawah tenda plastik yangsudah bocor,” tutur Basril.

Menurut Basril dan Dasminah, seandainya warga mampu dan punya uang untukmendirikan rumah yang roboh, sudah pasti mereka tidak akan mengemis sepertisekarang. ”Dan lagi, yang kami tagih itu sesuatu yang pernah dijanjikan,”ujarnya.

Bupati Mukomuko Ichwan Yunus yang ditemui di Mukomuko, Selasa lalu, menyatakan,Satlak PBP dua hari lalu baru menerima kucuran dana perbaikan rumah bagi wargasebesar Rp 21,7 miliar. Bantuan tahap pertama untuk membangun kembali rumah parakorban gempa terlambat sampai di kabupaten karena mengendap tiga bulan di KantorPemprov Bengkulu.

”Dalam minggu ini, bantuan pusat itu akan segera dibagikan.Apalagi, para korban gempa yang berhak semuanya memang sudah memiliki rekening di bank,” katanya.

Bagaimana pun kucuran bantuan kemanusiaan paling tidak bisa sedikit mengobatitrauma warga Mukomuko, yang sejak beberapa hari belakangan masih diteror gempadan tsunami. (Ahmad Zulkani/Kompas, 28 Februari 2008)

Pilkada, Ambil Uangnya Anggap Sedekah, Jangan Pilih...

SALAH satu isu yang selalu mencuat setiap pemilihan kepala daerah atau pilkada langsung selama ini adalah politik uang (money politics). Bentuk kemasannya beragam, misalnya yang samar-samar, berupa pemberian bahan makanan seperti beras, gula, dan minyak goreng yang dibungkus khusus dan di dalamnya diselipkan amplop berisi uang dan gambar pasangan calon kepala daerah.

Sedangkan yang lebih vulgar dan terang-terangan, misalnya, pemberian amplop berisi uang secara langsung disertai pesan agar nanti memilih calon tertentu karena uang tersebut oleh yang menyerahkan disebut berasal dari sang calon yang bersangkutan.

Tidak bisa dimungkiri, isu politik uang sepertinya sudah menjadi bumbu penyedap setiap pilkada di Indonesia. Satu istilah paling populer untuk menunjukkan betapa politik uang dan iming-iming sudah lumrah ketika setiap kali pilkada adalah adanya "serangan fajar".Sebab, biasanya pemberian bingkisan atau amplop untuk para pemilih tersebut memang dilakukan pada saat fajar atau menjelang pagi, hanya dua atau tiga jam sebelum saat-saat pencoblosan.

Kenapa harus dilakukan pagi hari atau saat fajar pada hari H pencoblosan? Alasannya barangkali sangat masuk akal karena ketika seorang pemilih masuk ke bilik suara "otaknya" masih menyimpan pesan yang diterimanya dua tiga jam sebelumnya.

Bagaimana isu politik uang dalam Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Lubuk Linggau? Sama dengan situasi dan kondisi menjelang pilkada di daerah lain, isu ini pun berembus sepoi-sepoi. Meskipun demikian, sejumlah pihak, termasuk warga yang terdaftar sebagai pemilih yang ingin pilkada bersih, sepertinya sudah siap menghadapi "serangan fajar" tersebut.

Spanduk imbauan.

Buktinya, di berbagai sudut permukiman, terutama di pinggiran Kota Lubuk Linggau yang warganya dinilai rentan terpengaruh iming-iming, kini banyak disebarkan spanduk, pamflet, dan stiker. Isinya berupa imbauan agar warga dan pemilih di Lubuk Linggau tidak terpengaruh bujukan.

Kalimatnya pun disajikan menarik, menggelitik, dan mudah dicerna masyarakat, terutama pemilih awam."Ambil duitnya, anggap saja sedekah. Jangan pilih orangnya", tulis Front Tolak Money Politik (FTMP) dalam sebuah spanduk besar yang membentang di kawasan Kelurahan Taba Jemekeh, Kota Lubuk Linggau.

FTMP adalah sebuah lembaga yang menginginkan pilkada bersih, jujur, dan demokratis di Lubuk Linggau sehingga mereka konsisten mendidik, mengingatkan, dan mengajak masyarakat untuk dapat menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk memilih Wali Kota dan Wakil Wali Kota Lubuk Linggau periode 2008-2013 mendatang.

Simak pula sebuah spanduk yang sengaja ditancapkan persis di tengah kebun di kawasan Kelurahan Rahmah, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan I. "Kasih duit, ambil aja. Kalau kurang, minta tambah. Kalau nyoblos, sesuai dengan hati nurani", kata sebuah lembaga yang mengatasnamakan Masyarakat Peduli Pemilukada Bersih (Maspuber).

Sejumlah warga Kota Lubuk Linggau pun mengaku siap menghadapi "serangan fajar" dan kedatangan "para dermawan" pilkada. "Jika ada yang memberi uang, kami akan menerima secara terbuka. Namun, kalau mencoblos di bilik suara nanti, kami akan gunakan hati nurani. Kami semua di sini masing-masing sudah punya pilihan sejak awal. Siapa calonnya, itu masih rahasia," kata Hendrajit (35), warga Kelurahan Air Temam, Lubuk Linggau Selatan.

Pilkada damai, bersih, jujur, demokratis, dan tanpa iming-iming uang jadi dambaan semua orang, termasuk 129.718 pemilih terdaftar yang akan menggunakan hak pilih dalam Pilwakot Lubuk Linggau.

Kalau begitu, jika ada yang mau mengimingi warga atau pemilih di Lubuk Linggau dengan sesuatu, sepertinya memang harus berpikir dua kali. Sebab, bisa jadi mirip pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga, uang habis, kalah pula dalam pilkada.... (Ahmad Zulkani, dimuat Harian Kompas 14 Januari 2008)

Bohorok, Bencana Itu Tidak Terduga...

UDARA dingin terasa begitu menusuk di kawasan wisata Bukit Lawang, Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Hujan yang turun sejak sore tidak menghalangi M Salman Rangkuti (26) bertandang ke rumah abangnya, Denim (35). Walaupun mereka satu desa dan rumahnya hanya berjarak sekitar 200 meter, berbagai kesibukan ternyata membuat keduanya jarang bertemu. Karena itulah, seusai berbuka puasa, Salman lantas menyambangi abangnya yang tinggal di sebuah rumah berdinding papan tidak berapa jauh dari pinggir Sungai Bohorok.

KETIKA jarum jam hampir menunjukkan pukul 21.00, Salman beranjak dan pamit pulang. Dari kejauhan, ia mendengar arus Sungai Bohorok yang makin lama semakin bergemuruh. Beberapa warga Bukit Lawang memang sudah mulai ribut karena aliran Bohorok tampak semakin liar. Beberapa warga yang kebetulan punya warung persis di bantaran sungai bahkan mulai terdengar hiruk-pikuk.

Belum sempat berpikir apa yang akan terjadi, Salman mendengar suara gemuruh yang sangat dahsyat dari arah hulu Sungai Bohorok. Sembari meminta ibunya, Nurhayati (52), dan seorang adiknya yang berusia 11 tahun agar berlari ke arah mes Kepolisian Khusus Kehutanan, ia buru-buru menutup warung. Tapi, belum semua pintu warung tertutup rapat, mendadak luapan Bohorok menghantam di depannya. Ia bergegas, berlari arah ke tebing bergabung dengan beberapa warga lain yang telah lebih dulu ada di sana.

"Kejadiannya berlangsung sekejap, tak lebih sekitar 20 menit. Bergulung-gulung persis seperti ikan paus yang sedang beraksi di tengah lautan, lumpur, bebatuan, dan kayu gelondongan menghantam apa saja yang ada di depannya. Sangat dahsyat dan menakutkan. Begitu bunyi gemuruh menyurut, samar-samar saya lihat semuanya sudah rata dilindas air bah yang kecepatan sangat sukar dihitung. Suasana sekitar berubah gelap gulita, listrik mendadak padam karena tiang betonnya roboh dihantam kayu log," tutur Salman Rangkuti, mengisahkan betapa banjir bandang itu amat mengerikan.

Salman, orang tua, serta adiknya memang luput dari maut. Akan tetapi, ia justru menyesal seumur hidup. Betapa tidak, abangnya, Denim, bersama istri dan kedua anaknya yang beberapa menit sebelumnya masih sempat bercanda ria hilang lenyap di kegelapan malam naas itu.

"Saya sangat menyesal, kenapa tidak sempat mengajaknya menyelamatkan diri. Sulit saya bayangkan, apa yang bisa dilakukan Abang Denim. Paling-paling pasrah berdiam diri menunggu maut karena ia buta sejak kecil," kata Salman. Ia tak sanggup bercerita lagi karena kerongkongan tersekat menahan tangis membayangkan saat kritis yang dialami Denim sekeluarga.

Tidak saja Salman Rangkuti dan Denim, peristiwa pada Minggu (2/11) malam itu memang menjadi malam menakutkan bagi warga yang tinggal di kawasan wisata Bukit Lawang, Bohorok, sekitar 85 kilometer arah barat Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut). Permukiman yang pada siang hari, terutama hari libur, ramai dikunjungi wisatawan itu dalam sekejap berubah rata. Lumpur, bebatuan, dan kayu-kayu bulat berdiameter hampir satu meter melumatkan apa yang ada di sana.

KINI tidak ada lagi restoran yang menggelantung persis di bibir Sungai Bohorok. Tak tampak lagi kios-kios cenderamata, yang tertata rapi di sepanjang bantaran sungai. Tidak tampak lagi jembatan gantung yang terayun-ayun, melintas di tengah Sungai Bohorok. Juga tidak ada lagi penjual sate telur puyuh, sate jengkol, dan sate kerang khas Bukit Lawang. Sebab, air bah telah meluluhlantakkan segalanya.

Murniati (40) yang kehilangan adik ipar dan dua anaknya tidak pernah pula membayangkan kawasan wisata alam Bukit Lawang, yang populer dijuluki "Kamthai" atau Kampung Thailand karena berbagai "aktivitas" wisata di sana, kini justru berubah menakutkan. Di sana sini yang tampak sekarang cuma kayu bulat yang bergelimpangan, persis seperti tempat penampungan kayu gelondongan sebuah perusahaan HPH atau kilang gergajian. Rumah, warung, dan penginapan yang ada di sana hanya menyisakan kepedihan yang teramat dalam.

Sebab, begitu sinar mentari pagi menyembul di balik pepohonan keesokan harinya, derai air mata dan isak tangis bersipongang di seantaro kawasan Bukit Lawang. Banjir bandang telah merenggut segalanya di sana. Hingga hari Jumat (7/11), korban tewas yang sudah ditemukan di bawah tumpukan kayu gelondongan setidaknya tercatat 113 orang. Sedangkan lebih dari 100 orang lagi hilang dan masih dalam pencarian. Tidak saja korban jiwa, harta benda warga pun lenyap seketika. Paling tidak tercatat sekitar 400 rumah, warung, dan penginapan hanyut diterjang air bah.

Suara gergaji mesin melengking meraung-raung, yang dari dulu diidentikkan dengan maraknya penebangan liar di berbagai kawasan hutan di Tanah Air, sejak Senin (3/11) pagi memang terdengar nyaring di kawasan wisata Bukit Lawang. Tapi, hiruk-pikuk raungan gergaji mesin itu bukan lagi sedang menebang dan membabat hutan Leuser. Gergaji itu tengah memotong dan menyingkirkan kayu-kayu gelondongan untuk mencari serpihan dan onggokan tubuh manusia yang kemungkinan tertimbun dan terjepit di situ.

Ratusan korban sia-sia memang telah jatuh di Bukit Lawang. Padahal, belum tentu mereka ikut terlibat dalam pembabatan hutan ilegal. Toh, itulah hukum alam. Ia tidak memilih korban. Siapa pun yang ada di depan dilindasnya. Tak peduli mereka adalah balita dan anak-anak sekalipun.

HUKUM alam yang datang dari Tuhan memang tidak bisa ditebak dan tak bisa diajak kompromi. Banjir bandang di kawasan Bohorok barangkali bisa dijadikan salah bukti konkret betapa bencana itu memang sama sekali tak terduga. Kendati tak terduga, kalau manusia arif, sebetulnya sejak dini sudah ada isyarat. Hanya saja, kadang kala kita memang telanjur pongah dan tidak memedulikan tanda- tanda alam.

Terkait dengan banjir bandang di Bohorok, apa pun penyebabnya, hal itu jelas tidak bisa dilepaskan dari kondisi alam sekitarnya. Perubahan drastis ekosistem dan degradasi lingkungan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang menjadi hulu Sungai Bohorok barangkali berpotensi menjadi pemicu bencana banjir bandang ini.

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) di DPRD Sumut dalam pendapat akhirnya pada Rapat Paripurna DPRD tentang nota keuangan dan rancangan perubahan APBD pada medio Oktober 2003 sebetulnya telah memberi isyarat bahwa ancaman banjir sudah di pelupuk mata. Ini terkait dengan makin kritisnya sejumlah kawasan hutan, termasuk hutan di TNGL.

"Kondisi TNGL dan Kawasan Ekosistem Leuser kini sudah kritis dan memerlukan perhatian semua pihak. Dari data yang kami peroleh, sejak 1985 hingga 2003 saja kerusakan hutan di Leuser terus meningkat dan rata-rata mencapai sekitar tujuh persen per tahun. Justru itu, ke depan, Kawasan Ekosistem Leuser diusulkan agar ditangani langsung oleh Pemprov Sumut dan tidak lagi dikelola Unit Manajemen Leuser seperti sekarang. Pertimbangannya, agar daerah dapat ikut secara langsung bertanggung jawab dan berperan aktif dalam mengamankan TNGL secara keseluruhan," ujar Rijal Sirait, juru bicara F-PPP DPRD Sumut, tegas.

Menurut Sirait, usulan agar Pemprov Sumut dan kabupaten sekitar TNGL bisa dilibatkan cukup beralasan. Selain untuk menjaga citra di masyarakat internasional karena Leuser dianggap sebagai paru-paru dunia, keikutsertaan daerah Sumut terasa amat penting. Jika terjadi sesuatu, misalnya banjir, maka yang paling awal merasakan dampaknya kelak adalah masyarakat Sumut sendiri. Sebab, sebagian besar sungai besar yang mengalir di daerah ini, seperti Sungai Bohorok dan Sungai Wampu, memang berhulu di kawasan TNGL.

"F-PPP di DPRD minta Gubernur Sumut serius ikut menangani masalah ini. Sebab, fraksi kami khawatir, kalau tidak ditangani hati-hati, sekitar 20 tahun ke depan daerah ini akan mengalami malapetaka. Dan yang akan disalahkan generasi mendatang adalah generasi sekarang," kata Sirait mengingatkan.

Apa yang disampaikan wakil rakyat di DPRD Sumut itu tampaknya memang benar, hanya saja jauh meleset dari prediksi awal. Sebab, malapetaka dan bencana besar itu bukan datang 20 tahun ke depan, tetapi ternyata terbukti beberapa hari kemudian. Banjir bandang akibat luapan Bohorok yang berhulu di TNGL telah mengundang petaka besar: melumatkan dua perkampungan penduduk, yakni Desa Bukit Lawang dan Timbang Lawang di kawasan Bohorok.

Memang ada sebuah ungkapan, "nasi telah jadi bubur"! Akan tetapi, dalam konteks bencana banjir bandang di Bohorok, tidak ada istilah terlambat. Sebab, kalau kita sedikit saja lalai, bencana serupa sudah barang tentu akan terulang kembali.

Dari balik garis polisi yang memagari lokasi banjir di Bukit Lawang, Murniati, Salman Rangkuti, Nurhayati, Amrah, dan lain-lain tampak menatap tak berkedip ke arah puing rumah mereka, ke fondasi warung mereka, dan juga ke balik gelondongan yang bergelimpangan di sana. Mereka masih menatap penuh harap, mudah-mudahan masih bisa ditemukan sebentuk wajah berkedip di balik kayu log.

Pemandangan mengharukan dan dramatis tampaknya memang sedang memayungi kawasan wisata Bukit Lawang sejak lima hari terakhir ini. Jeritan histeris, isak tangis, derai air mata, dan peluk haru terlihat menyatu ketika setiap relawan menggotong kantong-kantong jenazah ke ambulans.

Bagaimanapun kepedihan itu, kini semuanya sudah terjadi. Hukum alam memang mustahil dilawan. Dan bencana itu memang sama sekali tak bisa diduga, kecuali barangkali hanya bisa diwaspadai…. (AHMAD ZULKANI, dimuat di Harian Kompas)

Jumat, 21 November 2008

Bali Ternyata Juga Ada di Lampung...

APAKAH yang membanggakan umat Hindu di Lampung saat ini? Kemungkinan
salah satu jawaban adalah: daerahnya terpilih sebagai pusat peringatan
hari raya Nyepi (Tahun Baru Saka 1919) tahun ini.

Jika tidak ada halangan pada hari Sabtu 12 April 1997, Presiden
Soeharto direncanakan datang ke Lampung guna menghadiri puncak
peringatan nasional Tahun Baru Saka tersebut. Upacara itu sendiri
dipusatkan di Stadion Tejosari, Metro (Lampung Tengah), sekitar 80 km
utara Bandarlampung.

"Bagi kami, ini bermakna sangat mendasar. Karena inilah untuk pertama
kalinya upacara nasional Tahun Baru Saka dipusatkan di luar Jawa dan
Bali. Dan yang diberi kehormatan pertama itu justru kota Metro, kota
kecil yang jauh dari Bali dan Jakarta," ungkap Nyoman Suryana, seorang
tokoh pendidik di Seputih Raman.

Guna menyambut kehadiran Kepala Negara dan juga untuk mensukseskan
peringatan nasional Tahun Baru Saka tersebut, maka seluruh desa yang
dihuni warga Lampung asal Bali tampak semarak dihiasi umbul-umbul.

Setiap desa misalnya yang berada di Kecamatan Seputih Raman, Seputih
Mataram, Raman Utara, dan lain-lain bersolek secara apik. Kota Metro
sendiri terlihat sangat anggun. Di sepanjang jalan utama sampai
pelosok kota terpajang umbul-umbul warna-warni. Keadaannya makin
bertambah segar karena semua pagar dikapuri.

Stadion Tejosari Metro yang terletak di pinggiran kota persis di
tengah hamparan sawah yang luas, memang tampil agung. Guna mendukung
upacara nasional itu, di tengah stadion dibangun panggung raksasa
dengan ornamen khas pura Bali.

Kehadiran Presiden Soeharto di sini akan disambut dengan pleganjuran,
yakni gong untuk menyambut tamu agung. Setelah itu baru dimulai
rangkaian peringatan Tahun Baru Saka, antara lain berupa pidato Kepala
Negara dan khotbah pemuka agama Hindu. Sekitar 160 penari yang
didatangkan khusus dari Bali akan mengakhiri prosesi agung itu dengan
pergelaran sendra tari berjudul Sabda Sang Rama.

* * *
LATAR belakang ditetapkannya Lampung Tengah sebagai pusat peringatan
nasional Hari Raya Nyepi bermakna cukup dalam.

"Agar diketahui, daerah ini mungkin tepat disebut sebagai miniaturnya
Indonesia dalam hal keagamaan. Penduduk di sini menganut agama yang
beragam, ada Islam, Hindu, dan Kristen. Walaupun berbeda agama, namun
selalu hidup berdampingan rukun dan damai. Setahu saya, sejak dulu
antar-sesama kita selalu hidup begini," ucap Gusti Made Sukantra (56),
Ketua Parisada Hindu Kecamatan Seputih Raman.

Betapa sejuknya kehidupan beragama di Lampung dapat dilihat di Desa
Ramadewa (Seputih Raman), satu desa berpenduduk sekitar 3.000 jiwa
yang mayoritas beragama Hindu. Persis pada saat Nyepi, 9 April lalu,
ketenangan warga desa ini tidak sedikitpun terusik. Bahkan, umat agama
lain sangat "melindungi" kekhusukan Nyepi tetangganya.

"Mohon maaf, hari Rabu (9/4) ini jangan melintas di desa Ramadewa.
Saudara kita di sana sedang Nyepi. Jadi, kalau mau lewat silakan
memutar ke jalan raya yang satu lagi," saran Rohidin, seorang pedagang
di pinggiran Desa Ramadewa mengingatkan pengendara bermotor yang
kebetulan bermaksud masuk desa itu.

Gambaran konkret kehidupan antar umat beragama di Lampung saat ini
memang sangat tenang, jauh dari gejolak.

Di Propinsi Lampung yang berpenduduk sekitar 6,5 juta jiwa, sekarang
tercatat sekitar 756.000 umat Hindu. Sementara khusus di Kabupaten
Lampung Tengah yang penduduknya dua juta lebih, umat Hindu tercatat
76.000 jiwa. Tempat tinggal mereka tersebar pada 10 kecamatan, antara
lain di Kecamatan Seputih Raman, Seputih Mataram, Jabung, Padang Ratu,
Kalirejo dan lain-lain.

MENILIK sejarah kehadiran masyarakat asal Bali di Lampung memang
menarik. Dari sini kita bisa memetik banyak hikmah betapa kerja keras
merupakan titik awal kesuksesan. Pada mulanya kehadiran mereka mungkin
hanya bermodal tekad dan juga nekat. Ini berawal tahun 1955, ketika
sekitar 20 kepala keluarga (KK) asal Tabanan secara sukarela berangkat
ke Sumatera dengan tujuan mencari lahan garapan baru.

"Sebelum berangkat kami sudah mendengar nama Metro. Karenanya, yang
dituju hanya itu dan bukan Lampung. Belakangan baru tahu, Metro
ternyata bagian kecil dari Lampung," kenang I Wayan Jigah (68),
sesepuh Desa Ramadewa, yang juga Ketua rombongan pertama transmigran
spontan asal Bali.

"Dulunya ini berupa hutan lebat, habitat kawanan gajah liar.
Kondisinya betul-betul dibangun dari nol. Tidak seperti transmigran
sekarang yang fasilitasnya terbilang lengkap, maka kami justru hanya
bermodal semangat saja. Tapi, atas kesungguhan akhirnya bisa dibangun
satu pemukiman yang belakangan diberi nama Ramadewa, desa tertua dan
yang pertama dibangun warga asal Bali," tambah Jigah.

Mendengar sukses kerabatnya di Lampung, sejak 1956 mulailah mengalir
besar-besaran transmigran spontan lain dari Bali. Dari hanya puluhan
KK terus bertambah, sehingga akhirnya tercatat sekitar 550 KK yang
berasal dari Tabanan, Karangasem, Gianyar, Singaraja, dan lain-lain.
Dari desa Ramadewa, mereka lantas membangun dua-tiga dan banyak
pemukiman lagi seiring pertambahan jumlah kepala keluarga.
* * *
Kawasan hunian baru ini, pada gilirannya berkembang pesat dan akhirnya
menjadi wilayah Kecamatan Seputih Raman. Atas kesungguhan mereka, tiga
dasawarsa kemudian hutan lebat itu berubah menjadi daerah makmur,
gudang beras dan ternak. Seputih Raman tidak lagi habitat gajah, namun
kini salah satu sentra pangan di Lampung Tengah. Tercatat sekitar
5.200 ha sawah irigasi teknis di sini berproduksi rata-rata 5-6 ton
per ha.

Meletusnya Gunung Agung (1963) di Bali, makin menambah kehadiran warga
asal Bali di Lampung. Mereka tidak lagi datang spontan namun
disalurkan melalui program nasional transmigrasi umum.

Kendati 42 tahun meninggalkan kampung halaman, berkembang dua-tiga
turunan, warga asal Bali di Lampung tetap eksis dengan identitas
aslinya. Di sini masih ada pura, ngaben, nyepi, melasti, dan sekian
bentuk tradisi lain. Bali ternyata ada juga di Lampung. (Ahmad
Zulkani)

Gayo Lues, Mencari Celah di Balik Hutan Lindung

TEPAT 10 April 2002, setelah menunggu sekian lama, akhirnya Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2002 "mengukuhkan" Gayo Lues sebagai sebuah daerah otonom baru di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kabupaten yang beribu kota di Blangkejeren ini lahir dari induknya, Kabupaten Aceh Tenggara.

Dari segi potensi wilayah, Gayo Lues memang cukup luas, yakni mencapai sekitar 571.967 hektar atau sekitar 57,48 persen dari luas Aceh Tenggara sebelum dimekarkan. Hanya saja di balik potensi daerah yang begitu luas tersebut Gayo Lues justru hampir-hampir tidak bisa bertindak luwes karena banyaknya tantangan. Ini terutama kalau dikaitkan dengan berbagai isu global, seperti persoalan lingkungan dan kelestarian alam.

"Kondisi alam Gayo Lues penuh tantangan dan sangat dilematis. Dari total luas wilayah Gayo Lues 571.967 hektar itu, sebagian besar, yakni sekitar 441.935 hektar atau 77,27 persen, merupakan kawasan lindung yang sama sekali tidak bisa diutak-atik," ungkap Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Gayo Lues Abubakar Karim.

Barangkali karena berpagar hutan lindung itulah sehingga dirasakan berdampak serius terhadap upaya penggalian potensi alam daerah ini secara maksimal. Keinginan Gayo Lues untuk membangun kewilayahan secara total memang tampak menjadi kurang luwes karena terbatasnya lahan yang bisa dieksploitasi tersebut.

Bupati Gayo Lues Muhammad Alikhasim mengakui, dari total luas daerah ini hanya sekitar 22,73 persen saja yang merupakan kawasan budidaya. Sisanya jangan dijamah karena merupakan kawasan lindung yang kalau tidak dijaga bisa menyulut kemarahan dunia.

Kenyataan itu memang tidak bisa diingkari karena di sekitar daerah Gayo Lues terbentang paru-paru dunia bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Bahkan, berdasarkan penelitian terungkap sebagian besar atau sekitar 60 persen kawasan Kabupaten Gayo Lues ternyata berada dalam bagian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan TNGL itu sendiri.

"Kendati daerah ini dikungkung hutan lindung, Gayo Lues ingin bangkit menjadi daerah yang berkembang dinamis di tenggara NAD. Karena itulah sesuai kebijakan umum daerah kami akan mencari celah di balik hutan lindung," kata Alikhasim.

Salah satu upaya yang menjadi prioritas, kata Bupati, adalah memberdayakan ekonomi petani di pedesaan. Sebab, 90 persen lebih dari sekitar 63.000 jiwa penduduk Gayo Lues sudah sejak lama teruji sebagai petani, khususnya nilam dan serai wangi. Jadi, keterbatasan lahan budidaya akan diimbangi dengan optimalisasi lahan dan peningkatan produktivitas masyarakat Gayo Lues.

MASALAH keterbatasan lahan budidaya tampaknya memang menjadi salah satu persoalan krusial Gayo Lues sebagai sebuah kabupaten yang baru menapak usia dua tahun. Hanya saja memang bukanlah satu-satunya kondisi dilematis yang mesti disiasati Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gayo Lues. Sebab, masih ada hambatan lain yang dirasakan sebagai kendala dalam membangun dan menggerakkan ekonomi daerah itu.

Persoalan itu, seperti diakui Bupati Alikhasim, adalah terbatasnya aksesibilitas jalan ke pedesaan yang menjadi sentra produksi pertanian selama ini. Selain itu, jalur transportasi juga belum mulus ke pusat-pusat pemasaran, misalnya ke kawasan pantai timur seperti ke Sumatera Utara, Langsa, dan Aceh Timur.

Terbatasnya aksesibilitas jalur transportasi dari Gayo Lues ke luar membuat nilai jual produksi pertanian daerah ini sangat rendah. Ini jelas menjadi masalah serius, terutama dikaitkan dengan peningkatan pendapatan para petani setempat.
Contoh konkret betapa kesulitan transportasi sangat menyiksa dapat dibuktikan dengan penuturan Siti Aisyah (35) dan Aman Darussalam (55). Dua warga Kampung Gajah ini mengakui, jalan ke kampung tersebut hanya bisa ditempuh dengan mobil bergardan ganda sejenis hardtop. Sebab, jalannya masih berupa jalan tanah yang ketika hujan berubah jadi lumpur pekat seperti kubangan kerbau.

"Karena transportasi terbatas, ongkos angkut pun melambung. Bayangkan saja, untuk Blangkejeren-Kampung Gajah yang jaraknya cuma 20-an kilometer, kami terpaksa membayar ongkos Rp 15.000 per orang. Belum lagi kalau membawa satu kardus mi instan, juga harus membayar Rp 3.000 per kardus," kata Aisyah dan Darussalam.

Padahal, harga satu kilogram minyak serai wangi di pasar Blangkejeren hanya Rp 30.000 hingga Rp 32.000 per kilogram. "Jika kami ke pasar membawa dua kilogram minyak serai wangi, yang didapat letihnya saja. Sebab, semua uang habis untuk ongkos pergi pulang. Untuk menghemat, kami sering kali memilih jalan kaki saja ke pasar," ujarnya.

PERSOALAN ini jelas sukar diatasi dalam jangka pendek. Sebab, untuk membangun akses jalan ke kantong-kantong produksi pertanian di Gayo Lues selalu terbentur hutan lindung. "Masyarakat Gayo Lues sebetulnya amat berharap proyek jalan Ladia Galaska (Lautan Hindia, Gayo, Alas, dan Selatan Malaka)-poros jalan yang menghubungkan pantai barat dan timur NAD-bisa mulus. Karena hanya dengan cara itu ekonomi warga meningkat. Hanya saja, obsesi warga ini tenggelam oleh isu global ancaman kerusakan TNGL," ujar Alikhasim.

Apa pun persoalan yang dihadapi, Gayo Lues, seperti ditegaskan Alikhasim, sudah bertekad untuk menjadi salah satu daerah otonom yang dinamis. Justru itu, jajaran pemerintah kabupaten berupaya mencari celah di balik hutan lindung, khususnya Taman Nasional Gunung Leuser dan Kawasan Ekosistem Leuser. Apakah celah itu ada? Jawabannya tentu hanya Pemkab Gayo Lues dan penduduk di sana yang paling tahu. (Ahmad Zulkani)

Pak, Masih Bisakah Puteri Sekolah...?

KETIKA Kompas menjenguknya di ruang perawatan Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan, Selasa (11/1), buku Soal-soal Ulangan untuk Kelas V Sekolah Dasar tampak terpegang erat di tangan kiri Puteri (15). Ia tampak terusik dengan kehadiran beberapa orang di dekat ranjangnya. Sempat melirik, tetapi beberapa saat kemudian matanya terus asyik kembali membaca kalimat demi kalimat pada buku yang membahas soal-soal ulangan berbagai mata pelajaran Kelas V SD itu.

KETIKA ditanya buku apa yang dibaca, Puteri menjawab pelan, “Sedang membahas soal-soal mata pelajaran Agama dan Ilmu Pengetahuan Alam. Karena lagi sakit, jadi belajarnya di rumah sakit saja. Supaya jangan ketinggalan pelajaran kalau kembali ke sekolah nanti,” kata Puteri.

Tetapi, sembari meringis menahan sakit, Puteri tiba-tiba menaruh buku di tangannya, digeletakkan begitu saja di kasur. Ia coba duduk dan menatap tajam dengan kening berkerut. “Tetapi, Pak, masih bisakah Puteri sekolah?” ucapnya lirih.

Tiba-tiba, raut muka Puteri tampak memerah menahan amarah, kesal. Ia hanya diam. Tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingnya, Puteri berpaling dan memejamkan matanya. Butiran bening tampak membasahi pipi gadis kecil belasan tahun asal Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu.

“Ia terlihat sangat kesal ketika menyadari tangan kanannya sudah tidak utuh lagi. Kalau sudah begitu, ia berubah jadi pemarah. Puteri seolah tidak bisa menerima kenyataan yang dialami sekarang. Ia pun merasa dihantui kalau cacat tangannya akan membuat ia tidak bisa sekolah lagi,” tutur Nurhaimah, warga asal Banda Aceh yang bersimpati atas nasib Puteri saat ditemui ketika mendampingi gadis itu.

Puteri memang tampak trauma dan terpukul. Jika ditanya kisahnya sampai selamat dari bencana itu, ia malah diam dan melihat dengan tatapan kosong. Kalau sudah begitu, butiran air mata tampak jatuh di pipinya. Puteri pun tak banyak cakap, memilih memalingkan muka dan tampak memejamkan matanya dalam-dalam.
Gadis kecil pelajar kelas V Sekolah Dasar (SD) Negeri 87 Ulee Lheue, Banda Aceh, yang semula periang itu kini berubah drastis menjadi pendiam. Tidak ada tawa ceria, kecuali rasa sedih dan menyesali nasib. Bahkan, kalau ia ingat masa depan dan kelanjutan sekolah, Puteri malah kadang berubah temperamental. Ia marah, tetapi entah kepada siapa.

Perubahan sikap Puteri yang perasa, sensitif, dan kadang emosional itu bagaimanapun bisa dimaklumi. Sebab, gelombang tsunami setinggi 10-an meter yang menghantam rumahnya di Ulee Lheue, 26 Desember 2004, telah membalikkan hidup dan masa depan Puteri ke titik nol.

Ibunya, Sahniati, memang selamat dan kini setia mendampingi di RS Adam Malik, Medan. Akan tetapi, ayahnya dan dua adiknya sampai kini belum diketahui nasibnya.

Tidak hanya itu yang membuat Puteri terpukul. Bencana tsunami telah membuat Puteri kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Tangan kanannya harus diamputasi. Ia kini hanya memiliki satu tangan, tangan kiri. “Kadang, dalam gerakan refleks, Puteri lupa tangan kanannya sudah tidak utuh lagi. Pada saat itulah ia jadi emosional, sensitif. Kalau sudah begitu, Puteri hanya diam dan air matanya menetes,” jelas Sahniati, yang terus memberi semangat hidup kepada Puteri yang kini menjadi anak semata wayang.

Menurut Sahniati, anaknya kini penuh kegamangan. Ia kadang-kadang tidak percaya diri dan ragu-ragu apakah ia masih bisa sekolah, menulis, atau mandiri seperti keadaannya selama ini. “Kami beruntung ada relawan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang 24 jam menemaninya. Relawan ini menghibur dan memberi semangat bahwa tangan cacat tidak menjadi halangan bagi orang untuk belajar. Inilah yang sekarang memompa semangat Puteri sehingga ia mulai terlihat percaya diri dan berambisi untuk sekolah kembali,” tutur Sahniati.
Betapa hasrat Puteri untuk belajar tetap tinggi, terbukti ketika Kompas datang menjenguknya di RS Adam Malik. Ketika itu, Puteri spontan minta dibelikan buku-buku. Ia pun menyodorkan sejumlah daftar buku bacaan, seperti buku Himpunan Soal-soal Ulangan untuk Kelas V SD, Kupas Tuntas untuk SD, Gembira Belajar Sains, majalah Bobo, dan lain-lain.

“Terima kasih banyak, Pak,” ucap Puteri ketika Kompas menyerahkan buku-buku yang dimintanya. Dalam sekejap, perhatiannya tercurah ke buku-buku itu. Meski mungkin asanya masih teramat perih, untuk sesaat Puteri tampak bisa melupakan kepedihan atas kehilangan satu bagian raganya itu.

BAGI anak-anak seusia Puteri, bencana tsunami mungkin tidak akan dilupakan seumur hidup. Gelombang dahsyat yang berawal dari gempa bumi itu telah merenggut semua yang mereka kasihi, ya orangtua, adik, kakak, saudara, teman, rumah, dan gedung sekolah mereka. Bahkan juga merenggut bagian terpenting dari tubuh mereka.

Puteri memang tidak sendirian. Meski angka konkret belum terdata, barangkali ada ratusan atau ribuan anak usia sekolah yang mengalami nasib tragis seperti yang dialami Puteri. Hati mereka mungkin sangat luka, teramat perih. Namun, karena tidak berdaya, jeritannya hampir-hampir tidak ada yang mendengar.

Tengoklah Suwardi yang kini terbaring di ruang perawatan RS Malahayati, Medan. Pelajar sekolah menengah pertama (SMP) negeri di Banda Aceh ini pun mengalami nasib tragis karena kini ia kehilangan kaki kiri. “Dengan satu kaki seperti ini, apa saya masih bisa sekolah? ” ujarnya.
Pelajar yang sebelumnya tinggal di Lampase, Banda Aceh, itu kini mengaku hanya sebatang kara. Kedua orangtua dan saudaranya sampai kini belum diketahui keberadaannya. “Setelah digulung tsunami beberapa menit, saya akhirnya nyangkut di satu pohon. Inilah yang membuat nyawa saya selamat. Tetapi, sayang kaki kiri saya terpaksa diamputasi karena kata dokter sudah membusuk,” kata Suwardi.

Gelombang tsunami memang membuat banyak anak usia sekolah kehilangan segala-galanya. Maliki Syahputra (11), juga pelajar SMP di Krueng Cut, Banda Aceh, sedikit beruntung. Kakinya bisa diselamatkan kendati sudah patah dan luka-luka parah.

Kini, tsunami memang sudah reda. Akan tetapi, bencana itu menyisakan banyak luka di “Tanah Rencong” tersebut. Sekarang, sepertinya hanya satu isi tangis anak-anak di bumi Serambi Mekkah, “Pak, masih bisakah kami sekolah…?” (ahmad zulkani)

Sumber: Kompas, Kamis, 13 Januari 2005.

Taman Nasional Batang Gadis, Mewariskan Hutan Bagi Anak Cucu

ADA petuah lama berbunyi “Alam terkembang, jadikanlah guru.” Maksudnya, alam pemberian Tuhan yang terhampar luas ini sepatutnya dijadikan guru. Petuah itu rasanya pantas direnungkan karena dari alam manusia bisa membaca isyarat dan berkaca diri.

Lihat saja berbagai bencana alam di Tanah Air akhir-akhir ini. Mulai kekeringan panjang di Jawa, banjir dan tanah longsor di mana-mana, serta terakhir paling aktual banjir bandang dl Bukit Lawang Bohorok, Sumatera Utara, yang menelan lebih 150-an korban tewas itu merupakan wujud nyata betapa alam sudah marah atas ulah manusia.
Barangkali, berangkat dari kesadaran untuk berguru dari alam itulah yang menjadikan masyarakat Kabupaten Mandailing Natal, Sumut, sehingga mereka telah berbulat tekad untuk melestarikan kawasan hutan alam di daerahnya.

Upaya ke arah pelestarian hutan itu melalui usulan ke pemerintah pusat agar kawasan hutan dl kampung mereka hendaknya ditetapkan sebagai Taman Nasional Batanggadis.
Menariknya, usulan untuk mempertahankan keberadaan hutan alam tersebut, seperti diakui Bupati Madina Amru Daulay, bukan berasal dari Pemkab Madina, tetapi murni usulan dari bawah, yakni masyarakat adat daerah ini. Peran pemkab sendiri hanya mendukung dan memberikan rekomendasi, sebagai salah satu syarat formal dalam administrasi pemerintahan.

“Tidak ada rekayasa sedikit pun terkait dengan usulan penetapan kawasan hutan alam Batanggadis menjadi taman nasional. Ini betul-betul murni aspirasi masyarakat sekitar hutan, karena mereka sudah terlalu ngeri melihat bencana alam di mana-mana,” ungkap Daulay. Ia menambahkan, usulan ini dianggap sangat logis dan tepat karena sekitar 70 persen penduduk Madina merupakan petani yang hidupnya sangat tergantung pada alam.

Di tengah maraknya aksi penjarahan hutan di berbagai daerah di Indonesia akhir-akhir ini, usulan penetapan TN Batanggadis mungkin terasa “aneh”. Soalnya, yang ngotot menggarap hutan untuk dikonversi menjadi lahan perkebunan dan pertanian, biasanya kalau tidak masyarakat, justru pemerintah kabupaten sendiri.
Erwin Perbata Kusuma, dari Conservation International (CI) Indonesia di Medan, menyatakan, “Sejak April 2003, jauh sebelum bencana banjir bandang Bohorok meluluhlantakkan Bukit Lawang, masyarakat dan Pemkab Madina malah sudah memberi perhatian serius terhadap sumber daya hutan setempat. Langkah kongkretnya adalah dengan mengusulkan hutan alam di Madina dijadikan kawasan pelestarian alam TN Batanggadis. Ini langkah terpuji dan sangat Iayak didukung semua pihak.”

Erwin menambahkan, CI sebagal organisasi internasional nonprofit, yang menerapkan inovasi dalam bidang ilmu pengetahuan murnl, ekonoml, serta kebijakan dan partisipasi masyarakat untuk melindungi wilayah dengan keanekaragaman hayatinya, ikut mendukung terwujudnya rencana Taman Nasional Batanggadis.
Dikatakan, kalau rencana TN Batauggadis ini berhasil direalisasi, maka pengelolaannya nanti akan sangat khas karena melibatkan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan secara langsung. Pemkab Madina dan Pemprov Sumut pun akan ikut berperan sebagai salah satu komponen penting. Selama ini, kewenangan pengelolaan taman nasional di Indonesia menjadi tanggung jawab pemerintah pusat semata.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanggadis ini tercatat mencapai luas 386.455 ha, atau sekitar 58,8 persen dari seluruh luas Kabupaten Madina. Kawasan yang diusulkan menjadi taman nasional dengan luas 108.000 ha, sepenuhnya berada di DAS Batanggadis

“Bagi masyarakat Madina, keberadaan DAS Batanggadis bernilai sangat penting. Sebagai sumber air, DAS ini amat mendukung kelangsungan hidup masyarakat sejak dulu. Oleh karena itu Pemkab Madina mendukung TN Batanggadis karena ada sebanyak 66 desa pada 13 kecamatan yang masyarakatnya bersentuhan langsung dengan keberadaan DAS dan calon TN Batanggadis,” ungkap Bupati Amru Daulay.

Lembaga CI mencatat, sektor pertanian di kabupaten ini merupakan pilar utama karena lebih 35 persen dari total produk domestik regional bruto (PDRB) daerah ini ditopang sektor pertanian.

Kualitas dan kelancaran pasokan air menjadl faktor yang sangat menentukan bagi keperluan sebari-hari warga masyarakat dan areal persawahan seluas 34.500 ha serta ribuan hektar areal perkebunan rakyat setempat. Karena itu, dipandang penting untuk menjaga keutuhan fungsi hidrologis DAS Batanggadis.

Secara fisik, sekitar 36 persen dari luas wilayah Kabupiten Madina terdiri dari pegunungan hingga ketinggjan 2.145 meter di atas permukaan Iaut (mdpl). Jenis tanah sebagian besar rawan erosi dan Iongsor, curah hujan tinggi, serta dilalui patahan semangko. Dengan keadaan fisik seperti ini, Kabupaten Madina rawan bencana alam, seperti tanah longsor, banjir, maupun gempa. Ini terutama bila tutupan hutan alami di wilayah DAS Batanggadis berkurang.

Menurut Erwin Perbata, daerah Batanggadis mempunyai keragaman bentang alami yang cukup lengkap, dari hutan hujan dataran rendah perbukitan (390 mdpl), hutan pegunungan rendah dan hutan pegunungan tinggl di puncak Sorik Merapl (2145 mdpl). Variasi tipe habitat yang tinggi tersebut mempunyal konsekuensi tingginya keanekaragaman hayati.

Berdasarkan riset biologi dan temuan beberapa peneliti, kawasa hutan alam Batanggadis memiliki nilai konservasi alami yang sangat tinggi dan bernilai global.
Di kawasan hutan ini ditemukan jenls mamalia langka yang dilindungi, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan tapir (Tapirus indicus). Jenis-jenis primata yang ditemukan di sini adalah siamang (Hylobates syndactylus), lutung kelabu (Presbytis cristata), owa ungko (Hylobates agilis), monyet beruk, dan monyet ekor panjang.

Nilai konservasi hutan ala Batanggadis makin lengkap karena di kawasan ini ditemukan sembilan dari 10 jenis burung rangkong yang mewakili seluruh marga yang ada di Sumatera. “Semua itu mengindikasikan kesesuaian habitat bagi satwa pemakan buah. Sebanyak 99 jenis burung pun telah tercatat menghuni kawasan hutan alam ini,” papar Erwin.

Bagi Pemkab Madina, seperti diakui Bupati Madina Amru Daulay, DAS Batanggadis tak hanya sekadar mengandung nilai konservasi dan potensi alam yang besar. Akan tetapi, kawasan sekitar hutan alam ini pun memiliki potensi wisata, baik untuk wisata alam maupun petualangan.

Beberapa potensi wisata alam dan budaya yang bakal bisa dipasarkan, antara lain, gua-gua alam yang sangat memesona, sumber air panas alami, puncak gunung Sorik Merapi, dan Desa Sibangor yang menampilkan rumah khas tradisional beratap ijuk.

Kampung khas Mandailing ini persis terletak di kaki Sorik Merapi, dekat kawasan hutan alam, sekitar 20-an km dari kota kabupaten di Panyabungan yang mudah diakses lewat jalan negara lintas tengah Sumatera.

(AHMAD ZULKANI, pernah dimuat di Harian Kompas)

Kamis, 20 November 2008

Nundang Binieak, Gong Turun ke Sawah Serentak di Lebong


“Nundang Binieak”, Gong Turun ke Sawah Serentak di Lebong

Oleh :Achmad Zulkani (Pernah dimuat di Harian Kompas)

Ujang Syafarudin (69) membakar kemenyan seukuran jempol jari orang dewasa. Asap wangi kemenyan memenuhi ruangan besar di sebuah rumah tua di Muara Aman, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Apa yang dilakukan merupakan prosesi ritual budaya yang dalam bahasa Rejang disebut Nundang Binieak yang turun-temurun dilakukan sejak berabad silam. Nundang Binieak dalam bahasa sehari-hari bisa diartikan sebagai mengundang bibit.


Mulut tetua adat Muara Aman itu tampak komat-kamit membaca doa dan mantra. Doa untuk para leluhur dan semua warga Rejang, intinya agar Yang Mahakuasa memberikan keselamatan dan melindungi tanaman padi yang bakal ditebar.

Persis di depan Syafarudin tergeletak seonggok benih padi berbalut kain putih. Benih sekitar 2,5 kaleng atau setara 10 kilogram ini sebelumnya dibasahi air dan dicampur tujuh macam ramuan ”obat” tradisional, antara lain jeruk nipis, daun cekrau, daun kumpei, satu kilogram rebung bambu gading (bambu kuning), kunyit busuk, 20 buah pinang dan kendur. Semua dipotong kecil-kecil dan diramu menjadi satu dengan benih padi tersebut. Benih ini terdiri atas inti berasal dari tujuh tangkai padi hasil panen tahun sebelumnya yang disimpan khusus, dicampur dengan benih padi bantuan pemerintah.

Beberapa saat kemudian, Syafarudin membuka kain putih penutup onggokan benih padi itu. Ia mengambil air kelapa muda hijau dengan setangkai daun sidingin (juga ramuan obat tradisional). Air kelapa muda itu dipercikkan ke tumpukan benih padi sampai kelihatan basah.

Prosesi ritual budaya itu lantas ditutup dengan doa selamat dan makan bersama oleh semua yang hadir. Hidangannya berupa nasi puncung dengan dua ayam matang utuh yang ditaruh di atas talam. Ayam itu juga bukan sembarangan, tetapi harus ayam putih dan biring, yakni seekor ayam warna kuning keemasan baik kaki maupun bulunya. Ayam harus utuh, tidak dipotong-potong layaknya hidangan biasa.

Seusai makan bersama, warga yang hadir dibekali sejumput benih yang sudah diramu untuk dicampur dengan benih yang disiapkan di rumah masing-masing. Sebaliknya, warga yang tidak datang akan diberi, sampai semua petani kebagian.

”Nundang Binieak adalah ritual adat budaya turun-temurun sejak berabad-abad silam di Lebong,” kata Syafarudin.

Muara Aman, sebuah kota kecil tua berhawa sejuk di lembah hutan Taman Nasional Kerinci Seblat, sekitar 165 kilometer dari Bengkulu. Kota yang kini menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Lebong itu dihuni mayoritas etnis Rejang, etnis yang memiliki bahasa dan tulisan sendiri. Nilai-nilai adat dan budaya tradisional Rejang sampai sekarang masih dijunjung tinggi masyarakat setempat.

Cegah hama

Kenapa Nundang Binieak harus dilakukan? Menurut Syafarudin, di era modern sekarang tradisi yang sangat diyakini dan dipatuhi etnis Rejang di Muara Aman itu mungkin ditanggapi beragam oleh orang luar. Tetapi, bagi warga Rejang di Muara Aman, ritual ini diyakini bisa ”memagar” tanaman padi agar tak diganggu hama penyakit.

”Semua ramuan yang diaduk dengan benih padi ada artinya. Rebung bambu kuning misalnya, selama ini mampu mencegah tanaman padi di sawah dari serangan hama tikus. Kendur dan kunyit busuk diyakini dapat mengusir hama kutu seperti walang sangit. Jadi, ramuan itu bukan asal saja, tetapi diambil dari tumbuhan yang dipakai sebagai obat tradisional oleh masyarakat Rejang,” tutur Syafarudin.

Bagaimana kalau ritual Nundang Binieak ditinggalkan? Sembari menghela napas dalam-dalam, Syafarudin menyatakan, orang di luar etnis Rejang mungkin akan berkomentar beragam. ”Ini hanya sekadar tradisi, ritual adat dan budaya Rejang warisan nenek moyang sejak berabad-abad. Prosesi ritual ini lazimnya selalu menjelang turun ke sawah. Jika ada warga atau petani di Lebong tidak percaya ritual ini, silakan saja. Tidak ada pemaksaan, tergantung keyakinan masing-masing,” katanya.

Dua petani di Lebong, Amirul Mukmin (48) dan Khadijah (60), melukiskan, musim tanam tahun lalu ada petani yang tidak hirau dengan Nundang Binieak. Mereka turun ke sawah dan menanam padi tanpa menunggu prosesi ritual ini. ”Nyatanya, waktu itu sebagian besar tanaman padi di Lebong gagal panen. Hama tikus dan walang sangit mengganas. Apakah meluasnya hama saat itu ada hubungan atau tidak dengan ditinggalkannya tradisi ini, ya terserah orang mengartikan,” kata mereka.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bengkulu mencatat, musim tanam tahun 2007 tingkat keberhasilan panen di Lebong memang sangat rendah. Dari sekitar 3.600 hektar areal sawah yang ditanami warga, lebih dari 50 persen gagal panen karena diserang hama tikus.

Syafarudin menambahkan, sekarang tradisi ini sebetulnya sangat relevan. Dalam konteks kekinian, Nundang Binieak sama dengan gong atau ketok palu agar petani turun serentak ke sawah. Biasanya, warga tidak peduli kalau hanya diimbau pejabat pertanian. Tetapi, jika aba-aba turun ke sawah datang dari tetua adat, semua akan patuh.

Selain itu, kalau semua areal sawah digarap, tanam serentak, biasanya tikus tidak mengganas. Memang masih ada gangguan hama, tetapi tidak seganas kalau tanam tidak serentak. ”Logikanya sangat sederhana. Kalau semua areal sawah di hamparan luas digarap, pasti tikus kesulitan bersarang. Hama ini akan lari ke hutan. Jadi, dalam konteks kini sepertinya sangat cocok,” ujar Syafarudin dan Amirul Mukmin.

Kearifan lokal masyarakat Rejang ini sejatinya tidak bertentangan dengan program pemerintah. Pesan-pesan moral dari leluhur yang diwujudkan dengan tradisi seperti Nundang Binieak di Rejang barangkali tidak ada salahnya dilestarikan. Buktinya, setelah ritual itu, ribuan petani Lebong kini ramai-ramai turun serentak ke sawah….

Talempong Unggan, Seni Tradisi yang Masih Bertahan

TALEMPONG Unggan? Seni tradisi ini memang sangat khas, unik dan menarik. Dinamakan Talempong Unggan karena, seni tradisi ini memang sejak dulu berkembang dan dipertahankan masyarakat Nagari Unggan.
Talempong Unggan sangat unik. Terdiri dari talempong terbuat dari kuningan (mirip dengan gamelan di Jawa) yang ditaruh di atas wadah terbuat dari kayu, dengan alat musik pengiring yang lain berupa dua gendang dan satu gong. Seni tradisi Talempong Unggan dimainkan empat orang yakni, satu pemukul talempong, dua pemain gendang dan satu pemukul gong.
Uniknya lagi, pemain atau pemukul talempong hanya seorang dan itu harus memiliki keahlian khusus. Pemukul talempong tidak sembarang orang karena, harus diajari oleh tetua sejak berusia balita. Dan itu biasanya adalah wanita atau anak perempuan yang benar-benar sangat berminat terhadap seni tradisi itu.
Lagu-lagu Talempong Unggan juga khas, tidak ada di tempat lain. Penamaan lagu berasal dari alam misalnya, Ramo-Ramo Tabang Tinggi, Pararakan Kunto dan lain-lain. Seniman yang ahli memainkan Talempong Unggan ini, juga mampu menirukan musik atau lagu-lagu yang berkembang di masyarakat.
Konon dulunya, Talempong Unggan memiliki "kekuatan gaib' yang oleh masyarakat setempat disebut dengan "pitunang". Setiap orang yang mendengar suara merdu Talempong Unggan, akan tersentuh dan jatuh hati. Mereka bisa mendengar lagu-lagu Talempong Unggan tanpa bosan dan betah berlama-lama menyaksikan Seni Tradisi ini.
***
TIDAK diketahui asal muasal seni tradisi Talempong Unggan ini. Namun, menurut cerita turun temurun yang kebenarannya sangat diyakini masyarakat Unggan, Talempong Unggan di bawa oleh para tetua (nenek moyang) masyarakat setempat yang datang dari wilayah Riau sekarang. Dalam perjalanan ke Unggan, rombongan ini menyaksikan hal-hal unik dari alam sekitarnya. Oleh karena itu, untuk mengingat pengalaman selama di perjalanan lagu-lagu Talempong Unggan pun diberi nama dengan apa-apa yang mereka lihat dan saksikan. Misalnya, Ramo-Ramo Tabang Tinggi yang secara harfiah berarti "Kupu-kupu yang terbang Tinggi", Pararakan Kuntu yaitu, arak-arakan masyarakat Kuntu sebuah kawasan di Riau, "Alang Babega" artinya Burung Elang yang sedang berputar-putar mencari mangsa di udara dan lain-lain. Entah benar atau tidak, Wallahu'allam...
***
UNGGAN hanyalah sebuah nagari yang terletak di pedalaman Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Terletak sekitar 150-an km arah timur Kota Padang, ibukota Provinsi Sumbar.
Hingga menjelang akhir dekade tahun 1980-an, Nagari Unggan masih terbilang sebuab nagari yang terisolasi. Untuk mencapai Unggan, dari ibukota Kecamatan Sumpur Kudus di Kumanis yang berjarak sekitar 28 kilometer, waktu itu, kita terpaksa harus jalan kaki selama sehari karena hanya ada jalan setapak. Sebagai sarana transportasi angkutan barang, masyarakat Unggan dan juga masyarakat nagari sekitarnya seperti Sumpur Kudus dan Silantai, terpaksa menggunakan kuda beban. Barang bawaan, ditaruh di punggung kuda dengan pelana yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Sementara pemilik kuda, terpaksa berjalan mengiringi kuda yang tengah mengangkut barang-barang kebutuhan pokok dan membawa produksi hasil bumi yang akan dipasarkan di kota kecamatan, Kumanis.
Akan tetapi, sejak era tahun 2000-an yakni setelah Indonesia Merdeka 55 tahun, rakyat Nagari Unggan pun mulai merasa Merdeka. Jalan beraspal hotmixed yang membelah hutan belantara menuju Nagari Unggan, kini sudah membentang mulus. Era Kuda Beban yang menjadi andalan warga Unggan bertahun-tahun, sejak itu digantikan 'kuda besi' berupa mobil dan sepeda motor.
Kini, untuk menuju Unggan dari kota kecamatan di Kumanis hanya butuh waktu sekitar 45menit. Mobil berbagai ukuran termasuk sedan berukuran rendah pun, kini sudah bisa menjelajah nagari itu. Masyarakat Unggan, Sumpur Kudus dan Silantai serta nagari-nagari di wilayah kecamatan Sumpur Kudus sekarang benar-benar sudah merdeka. Tidak sekedar mobil, listrik PLN yang menyala 24 jam dan sinyal telepon selular pun sudah bisa dinikmati masyarakat Unggan untuk berkomunikasi dengan dunia luar.
Unggan, kini memang sudah memiliki akses yang begitu luas dengan dunia luar. Di tengah modernisasi ini masyarakat Unggan patur bersyukur. Sebab, Talempong Unggan sebagai sebuah seni tradisi yang diwariskan secara turun temurun sejak nenek moyang masyarakat di sini, ternyata sampai sekarang masih Lestari dan dipertahankan. Sejatinya, hingga ke anak cucu berabad-abad ke depan pun Talempong Unggan memang seyogianya tetap bertahan dan tidak dicaplok orang luar. (Ahmad Zulkani)

Songket Besemah, Terkenal di Luar Pagaralam

Songket Besemah, Terkenal di Luar Pagaralam
ANDA ingin mengoleksi songket Besemah? Bagi peminat terutama para kolektor kain tradisional, mungkin tidak ada salahnya melirik hasil tenunan Besemah ini. Hanya saja perlu diingat, isi kocek harus disiapkan lebih dulu karena harganya tidaklah murah. Paling murah sekitar Rp 5 juta sampai Rp 6 juta. Bahkan, songket yang usianya sudah di atas 100 tahun harganya malah dikabarkan bisa-bisa mencapai Rp 30 juta sampai Rp 50 jutaan.
Namun, agaknya sebelum telanjur bersusah payah berburu songket Besemah ini, sebaiknya niat Anda diurungkan saja. Sebab, mencari songket atau tenunan khas Besemah yang asli saat ini barangkali mirip dengan peribahasa: "meminta sisik ke belut", sesuatu yang memang sangat amat mustahil.
"Keinginan memiliki songket Besemah sekarang, tidak ubahnya kita seperti mengkhayal. Sebab, kain tenunan ini memang ada harga tapi dak katik barang (maksudnya, tidak ada barangnya). Jadi, yang ada selama ini cuma sekadar harga dimulut saja," jelas Djazuli Kuris, Walikota Pagar Alam.
Djazuli melukiskan, generasi terakhir yang masih sempat memakai tenun khas Besemah, barangkali adalah orang-orang Besemah seusia dirinya. Setelah itu, generasi berikut, jangankan sempat memakai, melihatnya saja mungkin tidak pernah. "Mungkin hanya yang seusia sayalah yang terakhir memakainya untuk acara adat. Karena, ketika jadi pengantin sekitar akhir 1970-an, songket yang dikenakan waktu itu sudah hampir lapuk," ujar Walikota yang asli Besemah ini.
Budayawan Besemah, Mohammad Saman, mengakui, pada periode 1960-1970-an, beberapa keluarga batih di Besemah sebetulnya masih menyimpan songket-songket khas tenunan tangan ini. Bahkan, beberapa tahun kemudian pun masih banyak yang punya. Namun, itu dipastikan sudah lenyap, selain memang dimakan usia, juga sengaja dijual kepada kolektor dan para pemburu barang antik yang sudah "menyerbu" Tanah Besemah sejak tiga dasawarsa lalu.
"Dari dulu memang belum terpikir oleh masyarakat, songket Besemah merupakan salah satu aset yang bernilai tinggi. Oleh karena itu pula, barangkali tidak seorang pun generasi sekarang yang bisa mewarisi keterampilan menenun seperti tetua-tetua dulu. Sehingga, wajar saja kalau kain tenun Besemah cuma tinggal nama," katanya.
***
ISYARAT bakal lenyapnya songket Besemah, sebetulnya sudah terbaca ketika memasuki dekade 1930-an. Menurut Gathmyr Senen, seorang pekerja seni di Palembang, berdasarkan beberapa literatur ternyata pada saat itu sudah terjadi stagnasi dari orang-orang Besemah yang terampil menenun. Pada saat itu, sudah sangat jarang generasi berikut di Tanah Besemah yang terampil menenun.
Stagnasi ini bisa jadi karena saat itu situasi dan kondisi di Tanah Besemah memang tidak menguntungkan. Ini dipicu oleh kebijakan kolonial Belanda yang mulai "mengacak-acak" sistem pemerintahan dan kekerabatan Besemah. Peran Kepala-kepala Sumbai (suku) di Besemah, bahkan saat itu dilikuidasi Belanda diganti sistem pemerintahan versi mereka.
Situasi demikian, diperkirakan berpengaruh besar terhadap tatanan dan nilai-nilai tradisi masyarakat setempat. Salah satu dampaknya adalah terputusnya pewarisan seni tenun kepada generasi berikutnya.
Menurut keterangan, sejak tahun 1940-an itu, sebetulnya kain tenun Besemah sudah mulai berkurang di peredaran. Ini memang sulit dihindari, karena saat itu sebagian besar orang asing misalnya dari Belanda dan Inggris, mulai berebutan membawa songket ini ke negaranya. Sejak itu hampir sepanjang tahun banyak orang yang berburu kain songket ke berbagai pelosok Pasemah.
Bahkan, puncaknya terjadi sekitar tahun 1970, ketika para pedagang barang antik menjadikan Tanah Besemah sebagai idola. Mereka berdatangan dari Jakarta, Padang, Lampung, Medan, dan beberapa daerah yang memang menjadi bursa barang-barang kuno tersebut.
"Pada saat itu, desa-desa di Besemah memang diramaikan para pemburu barang kuno. Mereka membeli apa saja, mulai songket, piring antik, ukiran, sampai beragam peninggalan yang berbau Besemah. Harganya jangan ditanya, kadang-kadang hanya sekadar ditukar dengan pakaian, piring model baru, radio, dan lain-lain. Karena tidak terbayangkan suatu hari nilainya begitu tinggi, ya saat itu masyarakat mau saja menjualnya. Apalagi, barang yang ditawarkan sebagai barter memang dibutuhkan saat itu," kata Hajjah Manuyah (103), tetua warga Desa Plang Kenidai (Pagar Alam), yang mengaku masih menyimpan beberapa lembar kain tenun Besemah ini.
***
KAIN tenun Besemah atau seringkali disebut Perelung atau kain Pelung, menurut Gathmyr Senen, memang khas dan sangat unik. Kekhasan itu tidak saja dalam bentuk fisik, namun juga khas dari sisi teknis penenunan di mana sejak awal sampai berwujud kain sepenuhnya dirangkai tangan-tangan perempuan Pasemah tempo dulu.
Bahan dasar songket ini 100 persen menggunakan benang emas. Bandingkan dengan songket Palembang atau songket Silungkang (Sumbar) yang hanya menggunakan sebagian kecil benang emas. Motifnya kebanyakan garis patah, sangat berbeda dengan songket Palembang yang sebagian besar motifnya lengkung-lengkung dan patah.
Kain Besemah kebanyakan dipakai untuk acara-acara adat, misalnya, pesta adat perkawinan dan perhelatan besar para keluarga batih. Kekhasan songket Pasemah ini juga tergambar dari tata cara pemakaiannya.
"Kain adat Besemah itu tidak bisa dipakai sembarangan. Songket ini dikenakan dari dada sampai lutut. Jadi, aturan adatnya memang demikian," jelas Gathmyr Senen.
Betapa tingginya nilai-nilai seni dan budaya yang menyertai songket Besemah. Akankah salah satu aset Besemah ini bisa bangkit kembali di masa datang?
"Menurut saya memang mustahil dan terlalu berat untuk diwujudkan kembali. Selain bahan baku, benang emasnya sudah tidak ada lagi di pasar, warga yang mewarisi keterampilan menenun juga tidak ada lagi," tambah Gathmyr.
Rasa pesimis ini memang sangat wajar. Sebab, untuk menenun songket Besemah butuh sentuhan halus dan seni tangan tersendiri. Karena tenun tangan, maka perlu tukang cukit, yakni orang yang ahli mengatur motif khusus benang emas sebelum ditenun. Tukang cukit inilah yang sekarang tidak ada lagi. "Kalau tukang tenun, siapa pun bisa asal dilatih. Tapi, kalau tukang cukit ini yang susah karena tidak ada lagi orang yang menguasai itu," katanya.
Jika memang seperti itu kenyataannya, berarti songket Besemah kini tampaknya memang sudah terkubur. Ini menyedihkan sekali. Dan tidak perlu kaget, jika suatu hari nanti anak cucu orang Besemah sudah tidak pernah tahu, di tanah tumpah darahnya pernah ada hasil karya yang bernilai tinggi.
Kita pun sekarang tidak perlu kaget. Jika pemandu wisata dan para pemilik toko suvenir di Ubud, Bali, justru lebih tahu dengan kain songket Besemah. Begitu pula, tidaklah aneh kalau berbagai literatur Besemah tentang songket dan ukiran Besemah kini bertebaran di mancanegara. Besemah memang lebih tenar di luar negeri ketimbang di kampungnya sendiri...
Ahmad Zulkani (dimuat di Harian Kompas, 24 Maret 2006)

"Sindang Merdike" Itu Kini Tenggelam...
Nasib Masyarakat Pasemah
MASYARAKAT Pasemah? Barangkali tidak semua orang mengenalnya. Secara historis, suku Pasemah dulunya hanya merupakan suatu kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah pedalaman di Sumatera Selatan (Sumsel). Suku Pasemah ini diidentikkan dengan masyarakat yang bermukim di daerah perbatasan Provinsi Sumsel saat ini dengan Provinsi Bengkulu.Secara administratif pemerintahan saat ini, wilayah Pasemah diakui meliputi daerah sekitar Kota Pagar Alam, wilayah Kecamatan Jarai, Kecamatan Tanjung Sakti, yang berbatasan dengan wilayah Bengkulu, dan daerah sekitar Kota Agung, Kabupaten Lahat (Sumsel). Menurut berbagai literatur, semua wilayah itu pada masa kolonial Belanda memang termasuk bagian dari Kewedanaan Pasemah. Sedangkan secara geografis, bisa disebut adalah mereka yang bermukim di sekitar kaki dan lembah Gunung Dempo sekarang.
Penyebutan Pasemah itu sendiri, seperti diakui Mohammad Saman (70), budayawan dan salah seorang sesepuh di sana, berawal dari kesalahan pengucapan (lidah) orang Belanda. Padahal, pengucapan yang tepat untuk menyebut kelompok masyarakat ini sebetulnya adalah Besemah. Hanya saja, karena lidah Belanda tidak bisa mengucap awalan "Be" dari Besemah dan yang terucap hanya "Pa", maka mereka akhirnya menyebut dengan Pasemah.
Belakangan bahkan hingga 57 tahun Indonesia merdeka, yang paling populer di tengah masyarakat justru sebutan: Pasemah. "Keseleo lidah (pengucapan) orang Belanda yang menyebut Pasemah itu, ternyata yang paling populer di luar. Padahal, bagi kami orang-orang yang masih bertahan di sini, dari dulu tetap menyebut Besemah," ungkap Saman, yang mengaku secara otodidak menguasai dan mengikuti perjalanan panjang sejarah Pasemah.
Kata Besemah itu sendiri, konon berawal dari "kekagetan" Atong Bungsu, puyang (nenek moyang) mereka ketika melihat banyaknya ikan "Semah" di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo. Menyaksikan ikan itu, tiba-tiba terucap dari mulut Atong Bungsu kalimat; Besemah..., Besemah...! yang artinya di sungai itu ada (banyak) ikan semahnya.
***
PASEMAH adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi, dan budaya yang sangat khas. Seperti yang dijelaskan Mohammad Saman, masyarakat di tanah Pasemah sedari dulu sudah mempunyai tatanan dan aturan-aturan masyarakat yang bernama "Lampik Empat, Merdike Due" yakni, perwujudan demokrasi murni yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen masyarakat setempat.
Menurut Kamil Mahruf, Nanang Soetadji, dan Djohan Hanafiah dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika, asal usul orang Pasemah dimulai dengan kedatangan Atong Bungsu, yaitu nenek moyang orang Pasemah Lampik Empat dari Hindia Muka untuk menetap di daerah ini. Saat kedatangan Atong Bungsu tersebut, ternyata sudah ada berdiam dua suku yang menempati daerah itu. Yakni, suku Penjalang dan suku Semidang. Untuk menjaga ketenteraman dan melindungi kepentingan mereka, pendatang dan kedua suku itu menyepakati perjanjian bersama. Intinya, di antara mereka sampai anak keturunannya, tidak akan mengganggu dalam segala hal.
Sejauh ini memang tidak diketahui sejak kapan keberadaan suku-suku Lampik Empat di tanah Pasemah. Namun, seperti dijelaskan Kamil Mahruf, jika perkataan Pasemah yang terdapat dalam prasasti yang dibuat oleh balatentara raja Yayanasa dari Kedatuan Sriwijaya setelah penaklukan Lampung tahun 680 Masehi yaitu "Prasasti Palas Pasemah" ada hubungannya dengan tanah Pasemah, maka berarti suku-suku ini telah ada pada awal abad ke-7 M.
Keberadaan suku Pasemah itu sendiri tampaknya memang tidak bisa lepas dari perjalanan panjang sejarah Kesultanan Palembang. Dari berbagai referensi yang dimiliki, menurut Kamil Mahruf, keterkaitan antara tanah Pasemah dan Sultan Palembang dilatarbelakangi oleh hubungan historis dan moral menyangkut ketidakmampuan untuk mengatur diri sendiri.
Disebutkan, setelah puyang Pasemah yakni Atong Bungsu berkembang biak, keturunannya menyebar dan terbagi ke dalam empat suku. Yaitu, Sumbai Besar, Sumbai Pangkal Lurah, Sumbai Ulu Lurah, dan Sumbai Mangku Anom. Karena keempat suku itu tidak mampu mengatur kerukunan di antara mereka, maka dikirimlah utusan masing-masing suku menemui Raja Palembang untuk meminta petunjuk. Khusus dua suku sebelumnya, suku Penjalang dan Semidang tidak turut serta sesuai perjanjian terdahulu.
Lantas, Raja Palembang memberi hadiah kepada keempat ketua suku, berupa satu lampik atau tikar untuk tempat duduk bersama. Arti pemberian itu sangat dalam, yaitu arahan agar keempat suku tersebut harus duduk bersama dalam mengatasi berbagai masalah di lingkungan mereka. Segala sesuatu yang timbul di antara kelompok itu, harus diselesaikan secara musyawarah.
Menurut Saman, Lampik Empat (empat suku turunan Atong Bungsu) dan Merdike Due (dua suku yang sudah lebih dulu ada), merupakan potensi besar masyarakat yang ada di tanah Pasemah. Mereka menyatu, membentuk suatu kelompok masyarakat yang memang sudah sejak lama memiliki tatanan demokrasi modern.
"Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pasemah sudah punya sebuah tata pemerintahan yang amat demokratis. Pada saat itu yang dikedepankan adalah, kekuatan rakyat dengan dasar-dasar musyawarah dan mufakat. Lampik Empat, Merdike Due adalah, suatu tatanan demokrasi murni yang betul-betul sangat menjunjung tinggi pendapat dan aspirasi orang banyak. Itu artinya, jauh sebelum kalangan anggota parlemen dan para pemikir di Indonesia sekarang berbicara soal demokrasi, ternyata di tanah Pasemah sudah diterapkan hal itu lengkap dengan etika-etika berdemokrasi layaknya pemerintahan modern sekarang," tegas Saman penuh bangga.
Hanya saja, pengingkaran terhadap tatanan demokrasi ternyata dari dulu sudah terbukti akan berdampak buruk. Tidak saja sekarang, sejak dari dulu pun pengingkaran demokrasi ini membawa implikasi yang tidak sehat di tengahmasyarakat. Bahkan, bisa menjurus perpecahan dengan beragam persoalan serius. Buktinya, bisa dilihat dalam perjalanan panjang sejarah Pasemah menghadapi Belanda antara tahun 1821 sampai 1866.
Dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika, Kamil Mahruf dan kawan-kawan secara gamblang menggambarkan betapa kejayaan Pasemah bertahun-tahun, bisa hancur hanya gara-gara pengingkaran terhadap nilai-nilai yang ada pada Lampik Empat, Merdike Due tadi. Bahkan, sekitar tahun 1866 ketika Pasemah Sindang Merdike (julukan membanggakan bagi orang-orang Pasemah sebagai penjaga perbatasan) berakhir, disebut-sebut dipicu oleh ketidaksenangan sebagian kepala dan orang-orang berpengaruh di wilayah Lampik Empat bersama-sama orang Semidang untuk membatalkan perjanjian "Sindang Merdike" dengan Belanda.
Berbagai ambisi dan kedengkian itu pula akhirnya yang menyebabkan runtuhnya kejayaan Lampik Empat, terhitung sejak 22 Juli 1867. Sudah bisa ditebak, begitu Lampik Empat "terkubur", lenyap sudah sebuah hakikat demokrasi dalam sekejap. Artinya, kebijakan tanpa didasarkan pada musyawarah dan mufakat ternyata telah meruntuhkan sebuah pilar demokratis yang dibangun di tanah Pasemah.
***
MAKIN tenggelamkah "Sindang Merdike" saat ini? Menurut budayawan Pasemah, Mohammad Saman, begitu kekuatan Belanda merambah ke sini, mulailah terjadi pergeseran nilai-nilai adat, budaya, dan sistem pemerintahan di tanah Pasemah. Dampak berikut juga menyentuh berbagai peran dan fungsi lembaga-lembaga lama yang ada di masyarakat ke lembaga baru yang sesuai dengan keinginan penguasa.
Lembaga-lembaga lama misalnya hukum adat dan tradisi lain, semakin tidak berfungsi. Bahkan, puncaknya memasuki abad XIX, berbagai lembaga tradisional di tanah Pasemah terasa mulai keropos dan pada akhirnya hilang digerogoti kolonial. Barangkali ini terkait pula dengan strategi perang yang tujuan akhirnya adalah agar kekuasaan mereka bisa langgeng.
Era sekitar tahun 1940-an, bisa disebut sebagai titik awal pudarnya kejayaan Pasemah. Sebab, pada saat itu sistem pemerintahan marga sebagai sebuah sistem pemerintahan tradisional yang mapan di tanah Pasemah, ternyata dihapus oleh kolonial. Jabatan strategis seperti, Kepala Sumbai, Pesirah, dan lain-lain lantas dilikuidasi.
Dilukiskan, cobaan bagi tanah Pasemah tidak semata lahir pada zaman kolonial. Setelah merdeka, bahkan di era orde baru pun tanah Pasemah juga menjadi korban. Sistem pemerintahan marga, misalnya lembaga Sumbai yang mulai bertunas kembali saat itu, sengaja dienyahkan.
"Dengan diterapkannya Undang-Undang Pemerintahan Desa yang seragam dari Aceh sampai Irian sekitar tahun 1979, membuat pemerintahan marga di tanah Pasemah kembali terkubur. Padahal, saat itu reinkarnasi sistem pemerintahan marga sudah mulai muncul kembali. Ini jelas petaka kedua yang melanda Pasemah," tutur Saman.
Imbalan dari pemerintah Orde Baru, untuk menghargai rasa keterpaksaan masyarakat Pasemah dalam menghapus marga dan diganti desa kala itu, hanya berupa sebuah stasiun relay televisi, satu masjid, dan memberi status kota administratif bagi Pagar Alam. Imbal beli yang teramat murah ini memang ironis. Akan tetapi, para tetua Pasemah tidak berdaya karena jika mereka menentang, jargon yang paling pas adalah akan dicap sebagai antipembangunan.
"Ketika itu pilihan kami memang serba sulit. Daripada timbul konflik dan dianggap macam-macam, dengan rasa berat hati kami akhirnya menerima tawaran itu. Kita betul-betul sedih, karena sudah diramalkan bahwa Pasemah akan dikubur tanpa bisa bangkit kembali," ia menambahkan.
Tentang keinginan menghidupkan kembali pemerintahan marga, diakui Saman, bukan dimaksudkan untuk sekadar menghibur diri. Karena dengan sistem pemerintahan marga, diyakini semua institusi akan memiliki basis sampai ke tingkat yang paling dasar. Ini memberi banyak keuntungan, salah satunya adalah gampang menarik masyarakat untuk berpartisipasi dalam menggerakkan roda pembangunan. Sudah dari dulu diketahui bahwa Kepala Sumbai atau Pesirah memiliki ikatan moral dan berpengaruh luas ke bawah.
"Terus terang, kami iri dengan Sumatera Barat (Sumbar) yang saat ini sudah kembali ke pemerintahan Nagari. Jika di Sumbar sistem pemerintahan tradisional bisa dihidupkan kembali, kenapa di tanah Pasemah ini tidak dilakukan. Jadi, inilah yang perlu digugah untuk membangkitkan kembali kejayaan Pasemah dalam konteks pemerintahan modern di era otonomi daerah," ujarnya.
Akankah "Sindang Merdike" itu akan terkubur sepanjang masa ? Jawabannya, tentu tergantung dari keinginan bersama masyarakat di tanah Pasemah itu sendiri.
Sebab, sebagai kelompok masyarakat yang mendapat gelar kehormatan "Penjaga Perbatasan", idealnya memang harus mampu bangkit karena mereka memiliki rasa patriotisme tinggi. Sikap mental seperti itu memang sudah terbukti dan teruji dari dulu. Hanya saja, tenggelam dengan nostalgia masa lalu, jelas bukan sebuah jawaban yang tepat....
Ahmad Zulkani (dimuat Harian Kompas, 24 Maret 2006)