Rabu, 03 Desember 2008

Smong...Warga Simeulue pun Luput dari Tsunami

"SMONG..., smong..., smong," teriakan itu terdengar bersahut-sahutan di tengah kegelapan, Senin (28/3) sekitar pukul 23.10 di Pulau Simeulue. Mendengar kata "smong" itu semua penduduk Simeulue, terutama mereka yang tinggal di daratan dekat pantai, berlari ke perbukitan yang jauh dari bibir pantai.

MEREKA memang harus lari dan menghindar dari pantai sebab "smong" merupakan kata-kata "mukjizat" yang membuat warga Simeulue bisa selamat dari amukan gelombang dahsyat, tsunami, yang biasanya terjadi menyusul gempa dahsyat. Oleh karena itu, begitu gempa berkekuatan 8,7 pada skala Richter membuat tanah Pulau Simeulue terasa diayun- ayun di tengah kedalaman Samudra Hindia Senin tengah malam itu, teriakan "smong" pun bergema kembali di seantero daratan Simeulue.

Bagi warga Simeulue, teriakan "smong" tidak perlu dijawab dan juga tidak perlu diperdebatkan siapa yang berhak menyuarakannya. Namun, begitu mendengar teriakan "smong", lazimnya semua warga Simeulue seolah dikomando harus berlari ke luar rumah menuju satu titik, yakni perbukitan.Kearifan lokal yang sudah diwariskan turun-temurun oleh tetua Simeulue sejak ratusan tahun lalu itu ternyata bisa membuat warga Simeulue selamat dan terhindar dari bahaya tsunami sejak dulu sampai sekarang.

"Smong" memang menakutkan sebab bagi warga Simeulue kata itu berarti tsunami.Sejak teriakan "smong" Senin itu sampai sekarang ribuan warga Simeulue bertahan di pengungsian, yakni di kawasan di perbukitan. "Bisa dibayangkan, betapa panik dan hiruk- pikuknya warga Simeulue menjelang tengah malam itu," ungkap Bupati Simeulue Darmili yang dihubungi Kompas melalui telepon kemarin.

Bersyukur, tsunami tidak terjadi. Namun, seperti diakui Bupati Darmili, setidaknya lebih dari 20.000 warga Pulau Simeulue yang hingga tiga hari pascagempa masih terus bertahan hidup dengan bekal seadanya di berbagai lereng perbukitan.

Mengapa warga Simeulue tetap mengungsi di bukit? Menurut Darmili, ada dua alasan pokok. Pertama, umumnya ribuan warga mengungsi akibat rumah-rumah mereka tidak bisa dihuni lagi karena roboh diguncang gempa. Kedua, warga trauma dan takut akan terjadi tsunami, seperti tanggal 26 Desember 2004.Gempa susulan yang terus terjadi dan isu bakal munculnya "smong" dahsyat memang telah memaksa warga setempat untuk terus mengungsi di tenda-tenda plastik di perbukitan.

Meski data konkret belum ada, Bupati Simeulue memastikan, sekitar 80 persen bangunan permanen terutama di kota Sinabang kini hancur. Pertokoan, rumah bertingkat, dan bangunan perkantoran di ibu kota Kabupaten Simeulue itu ambruk dan rata.Jumlah korban tewas-dalam bencana kali ini-yang sudah diangkat dari reruntuhan sebanyak 17 orang dan puluhan korban lain yang luka-luka dirawat seadanya. Sebab, bangunan vital rumah sakit daerah kabupaten setempat juga rusak parah.

"Dibandingkan dengan tsunami akhir tahun 2004, kerusakan fisik dan jumlah korban jiwa akibat gempa 28 Maret lalu saya pastikan jauh lebih parah. Korban jiwa diprediksi akan bertambah karena sekitar 90 persen bangunan yang roboh sama sekali belum disentuh," ujar Darmili.Ketika gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004, di Simeulue tercatat tujuh orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Bangunan yang rusak berat 3.793 unit dan rumah penduduk yang hilang diterjang tsunami 1.625 unit.

KENDATI dalam bencana kali ini terjadi kerusakan fisik (bangunan) yang cukup parah dan ada korban jiwa, hingga Kamis kemarin lokasi bencana di Pulau Simeulue masih belum tersentuh, terutama dalam hal evakuasi para korban dan pasokan bantuan.
Menurut Darmili, kondisi geografis Kabupaten Simeulue yang berada di Samudra Hindia membuat wilayah ini sulit dijangkau. Akses transportasi ke Pulau Simeulue selama ini terbatas. Wilayah seluas 198.021 hektar yang dihuni 78.128 jiwa itu sejak dulu hanya bisa ditembus melalui laut atau via udara dengan menggunakan pesawat ukuran kecil, seperti jenis Cassa. Frekuensi penerbangan dan kedatangan kapal feri ke sana dua kali seminggu. Itu pun kerap tak pasti karena tergantung cuaca.

"Di saat normal saja Simeulue sudah begitu sukar dicapai. Apalagi sekarang setelah Bandar Udara Lasikin dan dermaga Pelabuhan Sinabang rusak akibat gempa, sudah pasti pulau ini makin terisolasi. Faktor inilah kini yang membuat proses evakuasi para korban gempa dan pendistribusian bantuan ke Simeulue masih tersendat," tutur Darmili.

Di tengah kesulitan akses transportasi, masyarakat Simeulue makin tidak berdaya karena pasokan bahan bakar minyak (BBM) sudah terhenti sejak hari Selasa lalu. Alat transportasi tidak bisa jalan karena tidak ada yang menjual BBM. Alat berat untuk evakuasi korban yang tertimbun reruntuhan bangunan dan menyingkirkan reruntuhan tersebut pun tidak bisa dioperasikan karena tidak ada BBM.

"Kami punya ekskavator, truk, ambulans, dan lain-lain yang bisa dikerahkan untuk mengevakuasi, tetapi karena tidak ada BBM, semua peralatan itu jadi lumpuh," ujar Darmili memaparkan.

Ia mengakui, sudah sejak dua tahun ini harga BBM di Simeulue jauh di atas harga patokan pemerintah. Bensin, misalnya, jika di daratan Sumatera harganya Rp 2.400 per liter, di Simeulue Rp 6.500-Rp 7.000 per liter. Harga solar pun mencekik, rata-rata dijual eceran dengan harga Rp 4.500-Rp 5.000 per liter.

Gempa bumi dan tsunami membuat kehidupan warga di Simeulue kian terpuruk. Setelah masa kejayaan cengkeh, yang menjadi primadona kehidupan 95 persen penduduk, Simeulue terpuruk pada era 1990-an. Sejak itu pula ekonomi di kabupaten pulau itu mulai lambat berdenyut.

Memang tidak sekarat, tetapi roda perekonomian Simeulue bergerak lamban.Jika penanganan Simeulue pascabencana kali ini tidak serius dilakukan, pulau ini dengan sendirinya akan terus tersisih.Simeuleu, pulau terluar Indonesia, memang harus segera disentuh. Sebab, daerah itu kini sangat membutuhkan pertolongan, terutama bantuan untuk evakuasi para korban gempa.

Pulau Simeulue memang tidak separah Nias pascagempa atau tidak sehancur kota Banda Aceh pascatsunami, tetapi bagaimanapun Simeulue itu wilayah Indonesia....(Ahmad Zulkani, Kompas/Jumat 1 April 2005)