Sabtu, 22 November 2008

Enam Bulan Bersama Teror Tsunami

NYONYA Marduani (38) dengan penuh kasih sayang menggerakkan ayunan bayi yangterbuat dari selembar kain jarit. Bayi perempuan yang baru berusia sebulan danbelum punya nama itu tengah tertidur pulas.Marduani dan keluarganya adalah salah satu keluarga di Kabupaten Mukomuko,Bengkulu, yang masih tinggal di bedeng dan tenda plastik karena rumahnya robohakibat gempa 12 September 2007.

Berkali-kali mereka dikejutkan guncangan gempadan pengumuman ancaman tsunami yang meneror karena muncul tak kenal waktu.Dapur yang sempit dan sumpek tempat ayunan bayi tradisional itu tergantung makinterasa sesak karena dinding dan atap rumah warga Desa Pauh Terenja, KabupatenMukomuko, itu terbuat dari seng bekas.

Sesekali, Marduani mengipasi bayimungilnya yang masih merah dan mulai berkeringat. ”Sudah enam bulan lebih saya,suami, dan empat anak hidup di bedengan ini. Bayi perempuan saya ini pun lahirdi lantai tanah beralaskan selembar plastik. Seandainya punya uang, mungkinsudah lama bisa mendirikan rumah kembali walaupun hanya rumah kayu. Tetapi,karena tidak punya apa-apa dan hanya mengandalkan hidup dari panen jagung danburuh tani, kami terpaksa menikmati saja walaupun sudah sangat tersiksa,” tuturMarduani dengan nada terbata-bata.

Ia mengakui, selama menunggu panen jagung, suaminya kini terpaksa memburuh dikebun orang. Jika beruntung, suaminya bisa membawa pulang upah paling banter Rp15.000 sehari. ”Inilah penyambung hidup sekeluarga. Dua bulan pertama pascagempatahun lalu, kami memang sempat menerima bantuan beras 20 kg dan jatah hidup Rp400.000. Kini, setelah enam bulan rasanya hidupnya semakin kabur. Esok pagi,entah makan apa anak-anak saya lagi,” kata Marduani.

Marduani tidak sendirian. Di deretan rumahnya di Desa Pauh Terenja, hanyasekitar 3 kilometer dari Kantor Bupati Mukomuko, juga ada Basril (48), Dasminah(50), dan puluhan warga lain yang mengalami nasib sama: hidup di bawah tendaplastik, di bedeng sumpek berdinding terpal bekas yang bolong-bolong.

Jika datang semburan angin pantai di malam hari, penghuninya akan tersiksakarena angin seperti menusuk tulang. Bahkan, jika merujuk data posko SatuanPelaksana (Satlak) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Kabupaten Mukomuko, tercatat 1.430 rumah warga rusak berat—sebagian besar dalam kondisiroboh rata tanah—akibat gempa tahun lalu. Itu artinya, ada sekitar 1.430keluarga pula yang kini hidup sebagai pengungsi di reruntuhan rumah sendiri.

Menurut Basril, belum hilang derita, trauma, dan ketakutan akibat gempa yangterjadi enam bulan lalu, hari Senin petang lalu daratan Mukomuko kembalidiguncang gempa berkekuatan 7,2 skala Richter. ”Hidup di bawah terpal plastikketika musim gempa seperti sekarang ternyata ada hikmahnya. Saya sekeluargatidak perlu lagi lari ke luar karena tidak bakal ada yang roboh. Buktinya ketikagempa mengguncang dua hari lalu, kami tenang-tenang saja di sini,” kata Basril.

Kondisi yang amat menyiksa juga dialami Dasminah. Pasangan petani ini mengakui,rumah semipermanen dengan tiga kamar miliknya rata tanah akibat diguncang gempatahun lalu. ”Yang tersisa hanya WC dan sumur,” ujarnya.

Untuk makan saja, ia harus mengutang dulu sambil menunggu panen jagung sehinggahampir tak mungkin membangun rumah baru. Tidak itu saja, agar anak-anaknya tidaksakit, Dasminah sudah enam bulan ini terpaksa menitipkan anaknya tidur di rumahtetangga.

”Kalau kami, ya, harus bisa menikmati hidup di bawah terpal iniberbulan-bulan karena kalau ikut menumpang pasti memberatkan. Namun, kalau hujanderas karena atap plastik bocor, kami pun terpaksa mengungsi tidur di rumahsebelah yang masih utuh,” kata Dasminah.

Tidak kerasan.

Betahkah Basril, Dasminah, Marduani, dan ribuan korban gempa di Mukomuko terusbertahan di bawah terpal plastik dan bangunan darurat? Kalau dibilang tak betah,buktinya mereka bertahan di sana sampai sekarang.

Setelah ditelusuri, sebenarnya mereka tidak kerasan. Semua karena keterpaksaan.Mereka mengaku tidak punya uang lebih dan tidak mampu membangun kembali rumahkarena sebagian besar korban gempa di Mukomuko adalah keluarga miskin.Ketika gempa terus mengguncang Mukomuko, satu-satunya harapan warga hanyalah segera dikucurkan dana perbaikan dan pembangunan kembali (dana recovery) sepertiyang dijanjikan pemerintah pusat sejak pascagempa. Dana itu besarnya bervariasi,mulai dari Rp 5 juta untuk rusak ringan hingga Rp 15 juta bagi bangunan yangroboh.

”Nasib kami sekarang mungkin mirip pungguk merindukan bulan. Entah kapan danabantuan yang dijanjikan pemerintah itu cair. Padahal, sudah sebulan lalu wargadisuruh membuka rekening di bank. Kami tidak habis pikir, tega-teganya mengumbarjanji dan kemudian membiarkan rakyat hidup menderita di bawah tenda plastik yangsudah bocor,” tutur Basril.

Menurut Basril dan Dasminah, seandainya warga mampu dan punya uang untukmendirikan rumah yang roboh, sudah pasti mereka tidak akan mengemis sepertisekarang. ”Dan lagi, yang kami tagih itu sesuatu yang pernah dijanjikan,”ujarnya.

Bupati Mukomuko Ichwan Yunus yang ditemui di Mukomuko, Selasa lalu, menyatakan,Satlak PBP dua hari lalu baru menerima kucuran dana perbaikan rumah bagi wargasebesar Rp 21,7 miliar. Bantuan tahap pertama untuk membangun kembali rumah parakorban gempa terlambat sampai di kabupaten karena mengendap tiga bulan di KantorPemprov Bengkulu.

”Dalam minggu ini, bantuan pusat itu akan segera dibagikan.Apalagi, para korban gempa yang berhak semuanya memang sudah memiliki rekening di bank,” katanya.

Bagaimana pun kucuran bantuan kemanusiaan paling tidak bisa sedikit mengobatitrauma warga Mukomuko, yang sejak beberapa hari belakangan masih diteror gempadan tsunami. (Ahmad Zulkani/Kompas, 28 Februari 2008)

Tidak ada komentar: