Jumat, 21 November 2008

Bali Ternyata Juga Ada di Lampung...

APAKAH yang membanggakan umat Hindu di Lampung saat ini? Kemungkinan
salah satu jawaban adalah: daerahnya terpilih sebagai pusat peringatan
hari raya Nyepi (Tahun Baru Saka 1919) tahun ini.

Jika tidak ada halangan pada hari Sabtu 12 April 1997, Presiden
Soeharto direncanakan datang ke Lampung guna menghadiri puncak
peringatan nasional Tahun Baru Saka tersebut. Upacara itu sendiri
dipusatkan di Stadion Tejosari, Metro (Lampung Tengah), sekitar 80 km
utara Bandarlampung.

"Bagi kami, ini bermakna sangat mendasar. Karena inilah untuk pertama
kalinya upacara nasional Tahun Baru Saka dipusatkan di luar Jawa dan
Bali. Dan yang diberi kehormatan pertama itu justru kota Metro, kota
kecil yang jauh dari Bali dan Jakarta," ungkap Nyoman Suryana, seorang
tokoh pendidik di Seputih Raman.

Guna menyambut kehadiran Kepala Negara dan juga untuk mensukseskan
peringatan nasional Tahun Baru Saka tersebut, maka seluruh desa yang
dihuni warga Lampung asal Bali tampak semarak dihiasi umbul-umbul.

Setiap desa misalnya yang berada di Kecamatan Seputih Raman, Seputih
Mataram, Raman Utara, dan lain-lain bersolek secara apik. Kota Metro
sendiri terlihat sangat anggun. Di sepanjang jalan utama sampai
pelosok kota terpajang umbul-umbul warna-warni. Keadaannya makin
bertambah segar karena semua pagar dikapuri.

Stadion Tejosari Metro yang terletak di pinggiran kota persis di
tengah hamparan sawah yang luas, memang tampil agung. Guna mendukung
upacara nasional itu, di tengah stadion dibangun panggung raksasa
dengan ornamen khas pura Bali.

Kehadiran Presiden Soeharto di sini akan disambut dengan pleganjuran,
yakni gong untuk menyambut tamu agung. Setelah itu baru dimulai
rangkaian peringatan Tahun Baru Saka, antara lain berupa pidato Kepala
Negara dan khotbah pemuka agama Hindu. Sekitar 160 penari yang
didatangkan khusus dari Bali akan mengakhiri prosesi agung itu dengan
pergelaran sendra tari berjudul Sabda Sang Rama.

* * *
LATAR belakang ditetapkannya Lampung Tengah sebagai pusat peringatan
nasional Hari Raya Nyepi bermakna cukup dalam.

"Agar diketahui, daerah ini mungkin tepat disebut sebagai miniaturnya
Indonesia dalam hal keagamaan. Penduduk di sini menganut agama yang
beragam, ada Islam, Hindu, dan Kristen. Walaupun berbeda agama, namun
selalu hidup berdampingan rukun dan damai. Setahu saya, sejak dulu
antar-sesama kita selalu hidup begini," ucap Gusti Made Sukantra (56),
Ketua Parisada Hindu Kecamatan Seputih Raman.

Betapa sejuknya kehidupan beragama di Lampung dapat dilihat di Desa
Ramadewa (Seputih Raman), satu desa berpenduduk sekitar 3.000 jiwa
yang mayoritas beragama Hindu. Persis pada saat Nyepi, 9 April lalu,
ketenangan warga desa ini tidak sedikitpun terusik. Bahkan, umat agama
lain sangat "melindungi" kekhusukan Nyepi tetangganya.

"Mohon maaf, hari Rabu (9/4) ini jangan melintas di desa Ramadewa.
Saudara kita di sana sedang Nyepi. Jadi, kalau mau lewat silakan
memutar ke jalan raya yang satu lagi," saran Rohidin, seorang pedagang
di pinggiran Desa Ramadewa mengingatkan pengendara bermotor yang
kebetulan bermaksud masuk desa itu.

Gambaran konkret kehidupan antar umat beragama di Lampung saat ini
memang sangat tenang, jauh dari gejolak.

Di Propinsi Lampung yang berpenduduk sekitar 6,5 juta jiwa, sekarang
tercatat sekitar 756.000 umat Hindu. Sementara khusus di Kabupaten
Lampung Tengah yang penduduknya dua juta lebih, umat Hindu tercatat
76.000 jiwa. Tempat tinggal mereka tersebar pada 10 kecamatan, antara
lain di Kecamatan Seputih Raman, Seputih Mataram, Jabung, Padang Ratu,
Kalirejo dan lain-lain.

MENILIK sejarah kehadiran masyarakat asal Bali di Lampung memang
menarik. Dari sini kita bisa memetik banyak hikmah betapa kerja keras
merupakan titik awal kesuksesan. Pada mulanya kehadiran mereka mungkin
hanya bermodal tekad dan juga nekat. Ini berawal tahun 1955, ketika
sekitar 20 kepala keluarga (KK) asal Tabanan secara sukarela berangkat
ke Sumatera dengan tujuan mencari lahan garapan baru.

"Sebelum berangkat kami sudah mendengar nama Metro. Karenanya, yang
dituju hanya itu dan bukan Lampung. Belakangan baru tahu, Metro
ternyata bagian kecil dari Lampung," kenang I Wayan Jigah (68),
sesepuh Desa Ramadewa, yang juga Ketua rombongan pertama transmigran
spontan asal Bali.

"Dulunya ini berupa hutan lebat, habitat kawanan gajah liar.
Kondisinya betul-betul dibangun dari nol. Tidak seperti transmigran
sekarang yang fasilitasnya terbilang lengkap, maka kami justru hanya
bermodal semangat saja. Tapi, atas kesungguhan akhirnya bisa dibangun
satu pemukiman yang belakangan diberi nama Ramadewa, desa tertua dan
yang pertama dibangun warga asal Bali," tambah Jigah.

Mendengar sukses kerabatnya di Lampung, sejak 1956 mulailah mengalir
besar-besaran transmigran spontan lain dari Bali. Dari hanya puluhan
KK terus bertambah, sehingga akhirnya tercatat sekitar 550 KK yang
berasal dari Tabanan, Karangasem, Gianyar, Singaraja, dan lain-lain.
Dari desa Ramadewa, mereka lantas membangun dua-tiga dan banyak
pemukiman lagi seiring pertambahan jumlah kepala keluarga.
* * *
Kawasan hunian baru ini, pada gilirannya berkembang pesat dan akhirnya
menjadi wilayah Kecamatan Seputih Raman. Atas kesungguhan mereka, tiga
dasawarsa kemudian hutan lebat itu berubah menjadi daerah makmur,
gudang beras dan ternak. Seputih Raman tidak lagi habitat gajah, namun
kini salah satu sentra pangan di Lampung Tengah. Tercatat sekitar
5.200 ha sawah irigasi teknis di sini berproduksi rata-rata 5-6 ton
per ha.

Meletusnya Gunung Agung (1963) di Bali, makin menambah kehadiran warga
asal Bali di Lampung. Mereka tidak lagi datang spontan namun
disalurkan melalui program nasional transmigrasi umum.

Kendati 42 tahun meninggalkan kampung halaman, berkembang dua-tiga
turunan, warga asal Bali di Lampung tetap eksis dengan identitas
aslinya. Di sini masih ada pura, ngaben, nyepi, melasti, dan sekian
bentuk tradisi lain. Bali ternyata ada juga di Lampung. (Ahmad
Zulkani)

Tidak ada komentar: