Selasa, 02 Juni 2009

Kuliner Nikmat Mengundang Selera Dari Ranah Minang





Dendeng  Balado dari Sumatera Barat
 

Bondan Winarno

Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan akan masih terus melanjutkan pengembaraannya.

Baru saja saya sadari bahwa di daerah Minangkabau, yang disebut dendeng hadir dalam begitu banyak versi. Secara umum, setidaknya ada empat jenis dendeng yang berhasil saya identifikasi, yaitu: dendeng balado, dendeng batokok, dendeng lambok, dan dendeng baracik.

Tetapi, di dalam setiap jenis dendeng juga muncul berbagai varian. Setiap rumah makan di Sumatra Barat memiliki ciri-ciri dendengnya masing-masing. Standarisasi memang merupakan salah satu isu pelik dalam kuliner Indonesia.

Pada umumnya, hanya dendeng balado yang memakai cabe merah. Ketiga jenis dendeng lainnya memakai lado mudo atau cabe muda yang masih berwarna hijau. Cabe muda yang berwarna hijau ini tidak sepedas cabe yang sudah berwarna merah. Aromanya pun berbeda.

Yang disebut dendeng balado biasanya adalah dendeng tipis yang digoreng garing, lalu disiram dengan sambal berwarna merah. Sekalipun “penampakan”-nya mungkin sama, tetapi masing-masing rumah makan di Sumatra Barat ternyata tidak membuat dendeng baladonya dengan “pakem” yang sama.

Pertama, dari sisi dendengnya. Sebagian memakai cara mengiris daging sapi tipis-tipis, dibumbui, dijemur sampai kering, kemudian digoreng. Bumbunya sendiri berbeda-beda. Ada yang memakai ketumbar, ada yang tanpa ketumbar. Versi lain justru tidak dijemur. Dagingnya direbus dengan bumbu-bumbu, lalu diiris tipis-tipis, dan langsung digoreng sampai garing. Ada pula yang tidak dijemur dan tidak direbus, tetapi langsung digoreng.

Kedua, dari sisi sambal yang dipakai sebagai topping-nya. Yang wajib ada dalam bumbu balado ini adalah garam, bawang merah, cabe merah, perasan jeruk nipis. Ada versi lain yang menambahkan bawang putih. Kadang-kadang, ada pula yang menumis sebentar bahan-bahan tadi dengan minyak tanak atau minyak kelapa. Disebut minyak tanak karena dihasilkan dari santan kelapa yang ditanak.

Perbedaan proses itu membuat dendeng balado juga tampil dalam berbagai tingkat kerenyahan. Ada yang renyah sekali, tetapi ada juga yang alot dan keras. Ada yang mak nyuss, ada yang biasa-biasa saja.

Dalam “pencarian” dendeng balado yang paling juara, akhirnya saya harus mengakui keunggulan sajian Restoran “Kembang Goela” – baik yang di jakarta maupun yang di Bali. Harus diakui, proses pembuatannya tidak tradisional. Tetapi, hasil akhirnya sungguh dahsyat. Saya duga, di “Kembang Goela” dimulai dengan pilihan daging yang bagus. Mungkin daging direbus dulu dalam bumbu-bumbu lengkap, lalu dibekukan. Dalam keadaan beku, daging diiris tipis (shaved) dengan mesin yang menghasilkan irisan setipis kertas. Setelah digoreng, hasilnya adalah dendeng renyah yang langsung hancur di mulut – dengan bumbu balado yang mendekati sempurna.

Maaf kalau saya masih memakai istilah “mendekati sempurna”. Soalnya, di “Kembang Goela” tidak dipakai bawang merah yang didatangkan dari Sumatra Barat. Harap dicatat, di ranah Minang, bawang merahnya berbeda dengan bawang merah di Jawa. Di sana bawang merahnya berukuran besar, rasanya pun khas – seimbang antara asam dan pedasnya. Bawang merah khas Minang inilah yang menjadi kunci keistimewaan dendeng balado.

Jenis dendeng lain yang populer di Sumatra Barat adalah dendeng batokok. Secara harafiah, ditokok berarti dipukul dengan palu. Proses pembuatan dendeng yang satu ini memang harus ditokok-tokok.

Karena favorit dendeng batokok saya adalah dari Rumah Makan “Mintuo” di lintasan Padang-Solok, maka saya akan memakai referensi dendeng batokok yang top markotop ini. Daging sapi mentah, direndam selama dua jam dalam bumbu dan rempah yang cukup kaya, yaitu: bawang merah, bawang putih, daun jeruk nipis, kunyit, lengkuas, jahe, dan garam. Semua bumbu dan rempah itu dihaluskan, lalu ditambah asam jawa yang dilarutkan dalam air. 

Daging mentah yang sudah direndam bumbu ini kemudian diiris-iris dengan ketebalan sekitar satu sentimeter, lalu ditokok-tokok dengan batu agar seratnya pecah dan menjadi lebih tipis serta lebar. Ketika menokok-nokok itu, bumbu pun ikut meresap ke dalam serat-serat daging. Lembaran-lembaran daging mentah ini kemudian dibakar di atas bara arang tempurung kelapa. Setelah matang dan sebelum gosong, daging panggang dilumuri dengan minyak tanak.

Topping-nya adalah lado mudo, bawang merah, perasan jeruk nipis, dan garam. Lado mudo dan bawang merahnya tidak digiling halus, sehingga masih tampak lebar-lebar bertaburan di atas dendeng.

Di rumah-rumah makan lain, ada dendeng batokok yang mengalami proses perebusan terlebih dulu. Ada juga yang dagingnya tidak dibakar atau dipanggang, melainkan digoreng – sekalipun tidak sampai garing. Versi dendeng batokok goreng ini biasanya adalah jenis yang direbus sebelumnya.

Di “Mintuo”, cabe muda yang dipakai sangat muda, sehingga tingkat kepedasannya pun masih rendah. Ini membuat rasa bawang merah mencuat dengan indahnya. Secara warna, dendeng batokok “Mintuo” juga tampil lebih cantik.

Versi dendeng yang ketiga adalah dendeng lambok. Dalam bahasa Minang, lambok berarti lembab. Dalam pengembaraan saya di ranah Minang, dendeng lambok inilah yang paling “kacau” atau paling banyak ragamnya. Salah satu elemen pembeda dendeng lambok dari dendeng balado dan dendeng batokok adalah digunakannya tomat hijau sebagai bahan bumbu baladonya. 

Di satu rumah makan, saya melihat dendeng lambok dalam bentuk daging sapi rebus dalam bumbu balado yang agak berkuah, sehingga lebih mirip gulai. Di rumah makan yang lain, dendeng lamboknya tampil mirip dendeng batokok plus tomat hijau. Mungkin karena ragamnya yang tidak jelas, hingga kini saya belum menemukan dendeng lambok yang dapat saya jagokan.

Jenis dendeng terakhir – yaitu dendeng baracik – adalah favorit saya. Dendeng ini diperkenalkan kepada saya oleh JS-er Andrew Mulianto. Sepanjang pengetahuan saya, dendeng baracik hanya dapat dijumpai di satu lepau makan di lintasan Padang-Solok, tepatnya di Desa Talang, dekat Kayu Aro – kawasan penghasil teh terkenal. Menurut pemiliknya, Hajjah Emi, dendeng baracik memang eksklusif merupakan sajian di lepau nasinya. Resepnya diperoleh dari ayah mertuanya. Konon, ketika Emi muda sedang hamil, sang ayah mertua membuatkan dendeng khusus itu. Sensasi kelezatan itu tidak pernah dilupakan Emi, dan memicunya untuk membuat dendeng baracik sebagai sajian juara di kedainya.

Secara harafiah, baracik berarti diracik. Nomenklatur ini baru jelas maknanya bagi saya setelah nyelonong ke dapur untuk melihat bagaimana dendeng baracik itu dibuat. Ternyata, dendengnya dibuat dari potongan tebal daging bagian dada sapi (disebut gajebo di Minang, atau sandung lamur di Jawa). 

Bungkah-bungkah gajebo itu dilumuri bumbu – antara lain ketumbar – dan kemudian dijemur sebentar agar layu, tetapi tidak sampai kering. Daging berbumbu yang sudah layu ini kemudian dibawa ke dapur. Dalam dapur yang panas dan penuh asap, proses pelayuan dendeng berlanjut.

Bila ada tamu yang memesan dendeng baracik, Hajjah Emi akan memotong-motong gajebo layu dengan ketebalan sekitar dua milimeter, besarnya sekitar lima kali lima sentimeter. Anda harus berada di dapur untuk menikmati sensasi aroma dendeng yang digoreng dengan sedikit minyak tanak atau minyak kelapa. Tabiak salero!

Sementara dendengnya digoreng, Hajjah Emi merajang lado mudo, bawang merah, dan tomat. Dendeng yang sudah digoreng setengah kering itu diletakkan di piring, ditaburi semua rajangan, lalu dikucuri dengan perasan asam sundai (mirip jeruk purut, tetapi berukuran besar dan isinya berwarna kuning muda). Langsung diaduk dan dimakan dengan nasi hangat. Tekstur dendengnya garing di luar, lunak di dalam, dengan aroma daging layu dan ketumbar yang sangat khas. Bagian lemaknya juga memberi sensasi rasa yang sulit digambarkan. 

Onde mande, lamaknyo!  

 

Bondan Winarno

Kamis, 19 Maret 2009

Rumah Adat Besemah: Bertahan Dua Abad Dari Gempuran Para Kolektor



 “Pesan diwe kayangan tinggi antakkah lemak nanggung kudai. Empuk dik kah ngilu’i, jangan merusak jadilah”. 

PERINGATAN yang ditulis dalam bahasa Besemah di atas sebuah papan berukuran sekitar 1 meter x 2 meter itu, berdiri kokoh persis di jalan masuk depan deretan rumah tua di Desa Pelang Kenidai, Kecamatan Dempo Tengah, di pinggiran Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan. 

Dalam bahasa sehari-hari, pesan tadi kira-kira bisa diartikan begini: “Pesan dewa di kayangan tinggi, mau enak susah susah dulu. Kalau tidak bisa memperbaiki, jangan merusak jadilah”. Di bawah pesan yang tulisannya sangat mencolok itu, tertulis sebuah nama, Haji Umar.

“Itu, pesan bernada imbauan dengan bahasa yang amat halus. Hakekatnya adalah, dewa di kayangan di atas sana, berpesan kalau seseorang mau enak ya harus bersusah payah dulu. Kalau tidak bisa memperbaiki, jangan merusak jadilah. Dalam konteks ini, pesan dan imbauan yang ditulis Haji Umar, sesepuh Desa Pelang Kenidai tersebut, lebih kepada mengingatkan masyarakat adat di desa itu. Jika belum mampu memperbaiki rumah adat Besemah yang sudah berusia tua, maka anak cucu dan kerabat yang punya rumah tua tersebut diimbau untuk tidak merusaknya,” kata Alfarenzi (35), pemuda asli Besemah yang ditemui di Pagar Alam baru-baru ini.

Dia mengakui, seiring perjalanan waktu dan kadang-kadang terpaksa berdalih karena alasan kesulitan ekonomi, sejak sekitar satu dasawarsa belakangan memang ada ahli waris pemilik rumah adat di Tanah Besemah yang nekat menjual bagian-bagian tertentu dari rumah tua tersebut. Apalagi, iming-iming yang ditawarkan para kolektor barang antik uang jutaan rupiah yang bagi segelintir masyarakat desa yang hidup di tengah belitan ekonomi, nilainya sungguh sangat luar biasa.

“Seringkali yang dilego itu bukan rumah utuh, tetapi bagian-bagian tertentu. Misalnya, daun pintu atau papan dinding rumah adat yang berukir khas. Sadar akan ancaman kelestarian suatu tinggalan yang sangat berharga, maka kini muncul inisiatif dari tetua desa Pelang Kenidai untuk memproteksi upaya penghilangan budaya. Itulah sebetulnya makna dibalik tulisan peringatan berbahasa Besemah tersebut,” ujar Alfarenzi.  

Menurut Haji Mus (70), seorang tetua Desa Pelang Kenidai, hampir sejak satu dasawarsa belakangan ukiran khas Rumah Adat Besemah memang banyak diincar para kolektor barang-barang antik. Mereka tidak saja datang dari dalam negeri, akan tetapi juga ada orang asing yang tujuannya membawa bagian rumah adat tua itu ke negaranya.

Bagian tertentu rumah adat Besemah ini, kata Mus memang sudah sempat berpindah tangan. Ada yang dibawa para kolektor ke Bali dan ada yang dijual ke luar negeri. Para ahli waris rumah adat ini, jelas tergiur karena tawarannya jutaan rupiah. Namun beruntung, melihat ancaman peninggalan budaya Besemah tersebut pemerintah kota (Pemkot) Pagar Alam berinisiatif memproteksi, dengan mengeluarkan larangan bagi para pemilik rumah adat menjual apa saja yang melekat dengan rumah itu. 

Konsekuensi larangan itu, Pemkot Pagar Alam memberi kompensasi berupa bantuan untuk menopang ekonomi keluarga ahli waris atau pemilik rumah adat tersebut. “Proteksi ini sangat jitu dan mangkus. Sejak lima tahun belakangan, kami tidak pernah mendengar lagi ada yang melego bagian rumah adat tersebut untuk dijual. Walaupun beberapa kolektor barang-barang kuna dari luar masih kerap mengincar ke sini,” kata Supratman, pejabat di Kantor Dinas Pariwasata dan Seni Budaya, Kota Pagar Alam.

Menurut Nurwati dan Sabir, dua ahli waris pemilik rumah adat Besemah di Pelang Kenidai mengaku, pada saat ini masih ada orang-orang dari luar yang menawar beberapa bagian bangunan rumah tua itu. Tetapi karena ada imbauan, warga tidak ada lagi yang berani menjual walaupun tawaran uangnya menggiurkan, di atas Rp 5 juta untuk selembar papan atau daun pintu berukir khas Besemah.

“Dulu jangankan tawaran segitu, ditawar ratusan ribu saja sudah ada yang membongkar. Sebetulnya ini karena ketidaktahuan saja dan juga karena terdesak butuh uang. Alasannya sederhana, yang dibeli pendatang cuma selembar papan bukan rumah utuh sehingga pemilik masih bisa berteduh. Namun, setelah diyakini pemerintah daun pintu berukir itu nilainya tidak bisa ditakar uang para ahli waris rumah adat ini akhirnya sadar dan kini tidak ada lagi yang mau jual,” ucapnya.

Tanpa Paku

 Desa Pelang Kenidai di wilayah Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, berhawa sangat sejuk di kaki Gunung Dempo. Salah satu perkampungan tradisional yang terletak sekitar 298 km arah barat Kota Palembang ini, sehari-hari tampak tenang dan damai. Masyarakat adat di sini hidup dari hasil panen tanaman kopi, karet dan kemiri. Di tengah kedamaian dan keramah-tamahan masyarakat adat Besemah inilah sekarang, lebih 100 unit rumah adat yang usianya hampir dua abad bertahan digempur iming-iming para kolektor benda antik. 

 Kenapa jadi incaran? Itu tidak lepas dari berbagai keunikannya. Rumah adat Besemah atau dalam bahasa setempat disebut Baghi tua di Pelang Kenidai, seperti diakui Haji Mus, memang sangat khas tidak saja dari segi usia. Keunikan itu utamanya terletak pada konstruksi dan ukiran.  

 Konstruksi rumah adat Besemah dibangun dengan sistem bongkar pasang (knock down) menggunakan pasak atau disebut Shaco. Antara satu tiang dengan sisi yang lain, disambung tanpa paku dan hanya dengan pasak dari bambu tua atau kayu yang sangat keras. Tidak jelas alasan konstruksi ini dulunya dipakai para tetua setempat. Apakah waktu itu karena paku besi sulit atau alasan lain.

 Namun konstruksi pasak ini punya kelebihan, sangat lentur. Jika terjadi guncangan misalnya karena gempa atau angin, bangunan rumah tidak kaku. Bangunan seperti ini tidak mudah patah atau roboh, karena kelenturan sambungan antara satu bagian dengan bagian lain. “Filosofinya, tetua dahulu kalau membangun rumah harus memanfaatkan yang ada di alam sekitar. Jika dikatakan untuk antisipasi gempa, bisa jadi ada benarnya. Buktinya, berapa pun guncangan gempa bangunan rumah adat Besemah ini sejak dulu tidak ada yang bergeser sedikit pun,” cerita Haji Mus.

Ukiran Bebulan

 Dari segi ukiran, rumah adat Besemah juga unik. Mirip dengan ukiran rumah adat Minangkabau di Sumatera Barat, ukiran rumah Baghi Besemah juga mengambil tema dari alam. Hanya saja, kalau di Minangkabau pola ukirnya lebih rumit dan ramai terdapat di semua bagian rumah, ukiran rumah adat Besemah tampak lebih simpel, sederhana dan hanya di bagian tertentu saja.

 Menurut Supratman, ukiran rumah adat Besemah ada di sudut dan dinding depan, sebelah kanan rumah. Ukiran berbentuk bulat yang disebut masyarakat Besemah “bebulan” yang terdapat di dinding depan atau bagian daun pintu, dimaknai sebagai simbol bulan yang mencerminkan kehidupan rumah tangga pemilik rumah yang tenteram dan damai. Ukiran “bebulan” berupa bunga teratai yang sedang mekar, memiliki diameter sekitar 50 centimeter. Di tengah “bebulan” ada sebuah lobang yang bermakna satu tujuan.

 “Tetapi, lobang ini sebetulnya juga berarti lain. Karena rumah adat Besemah tidak berjendela di bagian depan, lobang ini digunakan penghuni rumah untuk mengintip tamu yang datang. Ya, kegunaannya mirip lobang kecil di pintu kamar hotel,” kata dia.

 Sedangkan ukiran di sudut dinding rumah adat Besemah, berupa tumpal-tumpal serta ukiran tanaman bersulur. Ukiran yang memanjang ke atas dan meliuk-liuk melintang membelah dinding rumah, merupakan simbol keunikan dan kecerdasan pengukir masa lalu dalam bidang seni pahat. 

 “Ukiran rumah adat Besemah benar-benar unik. Konon pengukirnya dulu tidak menggunakan alat ukir canggih seperti sekarang. Hanya dipahat dengan pisau kecil yang disebut Gubang,” ujar Supratman menambahkan.

 Makna ukiran rumah adat Besemah, kata Supratman, juga menunjukkan sebuah simbol status dalam masyarakat adat setempat. Sebab, rumah ini terdiri dua versi yakni berukir dan tidak berukir.

 Rumah adat berukir disebut rumah Tatahan, lazimnya milik orang yang dituakan atau sesepuh adat. Misalnya, “Juarai Tue” atau mirip Kepala Desa sekarang. Sedangkan rumah adat tidak berukir disebut rumah Gilapan, pemiliknya masyarakat umum.

  Nilai-nilai budaya dan peninggalan tradisi masyarakat adat di Indonesia sepertinya, kini memang harus diproteksi. Jika tidak, satu persatu bakal hilang karena masyarakat adat yang dibelit kesulitan ekonomi, akan gampang terbujuk untuk melego apa saja yang mereka miliki. 

Buktinya, daun pintu rumah adat Besemah di Pagar Alam yang berusia 200 tahun pun kini masih diincar dan digempur para kolektor.

O ahmad zulkani

(dimuat di Harian Berita Pagi, Palembang, Rabu 18 Maret 2009)

Kamis, 12 Februari 2009

Tak Sebanding Nama Besar 'Si Bung'

RUMAH dengan halaman luas itu masih berdiri kokoh. Gedung tua di kawasan Anggut Atas, persis di jantung Kota Bengkulu itu, pernah menjadi tempat tinggal Bung Karno ketika Proklamator dan Presiden Pertama RI itu diasingkan Belanda ke Bumi Rafflesia tahun 1938-1942. 

Warga Bengkulu teramat bangga memiliki peninggalan monumental sejarah ini. Hanya saja, sejauh ini tampaknya baru sebatas kebanggaan. Tengoklah lebih jauh ke dalam rumah tua itu. Semua barang-barang koleksi Bung Karno yang tersimpan di sini hanya dirawat ala kadarnya oleh Darwis Andrian, juru kunci rumah tersebut. 

"Hingga saat ini, belum ada pemeliharaan serius, dalam hal perawatan barang-barang tua peninggalan sejarah. Saya khawatir jika tidak ada langkah-langkah penyelamatan yang profesional, berbagai peninggalan Bung Karno, terutama buku-buku koleksi Presiden Pertama Indonesia itu, semakin rusak dan hancur. Apalah daya dan keterampilan saya sebagai seorang PNS (pegawai negeri sipil) rendahan yang memelihara ini sejak 25 tahun lalu," ujar Darwis, ketika ditemui di Bengkulu belum lama ini. 

Darwis menyebutkan, sebanyak 225 judul buku koleksi Bung Karno kini masih tersimpan rapi dalam lemari di salah kamar. Buku-buku bernilai historis tinggi yang sebagian besar berbahasa Belanda, Jerman, dan Inggris itu tampak sudah lapuk dan rapuh dimakan usia. Lembaran buku itu pun makin merana karena rayap ikut menggerogoti. 

"Agar buku-buku kuno ini tidak makin hancur, saya terpaksa melarang orang memegang dan membacanya. Sudah beberapa tahun ini, pengunjung hanya diizinkan sekadar melihat dari balik kaca," kata Darwis. 

Di ruang depan rumah ini, disimpan pula satu sepeda tua yang diyakini menjadi kendaraan sehari-hari Bung Karno ketika di Bengkulu. Di ruangan ini ada pula delapan foto Bung Karno, baik dengan koleganya maupun dengan Ibu Inggit, istri pertamanya. 

Sementara itu, di ruang tengah terlihat seperangkat kursi tamu tua, yang digunakan Bung Karno menerima tamu-tamunya. Di ruang lain ada dua tempat tidur besi model lama, tempat tidur Proklamator tersebut. 

Semua barang-barang inilah yang dilihat-lihat pengunjung kalau mereka mampir ke rumah Bung Karno tersebut. Namun di balik nama besar yang disandang "Si Bung", keberadaan rumah pengasingan ini nyaris sepi dari kunjungan tamu. "Dalam sehari, paling ada tujuh hingga sepuluh pengunjung yang datang ke sini. Itu pun tamu dari luar yang kebetulan sedang berlibur atau bertugas di Bengkulu. Pada hari-hari libur, sama saja," tutur Darwis. 

Oleh karena itu, Darwis berharap Pemerintah Provinsi Bengkulu dapat mengelola lebih serius aset sejarah ini. Apalagi, sekarang sudah berdiri sebuah bangunan baru yang diberi nama Persada Bung Karno secara permanen di kompleks rumah pengasingan itu sehingga dapat berdampak positif. "Mudah-mudahan ke depan tidak lagi sepi dan terabaikan," kata Darwis berharap. (ahmad zulkani) 

Guru Honor di Merangin: Rela Digaji 3 Keping Kerupuk




 JIKA ditelusuri lebih jauh persoalan pendidikan di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, barangkali yang ke luar sebagian hanya potret buram. Ada dua persoalan krusial yang pantas diungkap permukaan. Yakni kehidupan para guru honorer dan hancurnya sarana dan prasarana pendidikan khususnya di tingkat Sekolah Dasar (SD) di Merangin. Dua-duanya sungguh memilukan.

 “Saya sudah dua tahun lebih mengabdi sebagai guru honor Ah... saya malu menceritakan berapa besar honor yang diterima karena kalau diukur dari kebutuhan, jelas sangat tidak pantas. Tetapi, bagaimana lagi karena mengajar sudah saya pilih sebagai jalan hidup,” kata Siti, guru honorer di SD Negeri 278 Bangko Tinggi, persis di kota Bangko ibu kota Kabupaten Merangin.

 Berapa honor yang diterima Siti sebulan, sampai ia malu mengungkapkannya? Ternyata wanita lulusan D.2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Jambi, hanya menerima honor dari Komite Sekolah sebesar Rp 100.000 per bulan. Jika dibagi per hari, honor sebanyak itu barangkali hanya cukup untuk membeli tiga keping kerupuk udang. 

Padahal, kehidupan sebagai guru honor sudah dilakoni Siti selama dua tahun. Parahnya lagi, wanita lajang ini mengaku mengajar selama 24 jam sehari. “Kalau dianggap tidak pantas, ya itu terserah penilaian orang luar saja. Yang jelas, saya sudah mengajar dua tahun lebih dan gaji yang saya terima hanya segitu,” ujar Siti.

Lihat pula kehidupan Yadi, seorang guru honor di Desa Ujung Bumi, Kecamatan Sei Manau, sebuah daerah pedalaman di Merangin. Sama dengan Siti, juga menerima honor komite sebesar Rp 100.000 sebulan. Untuk menyambung hidup dan menambah penghasilan, Yadi tiap pagi buta sebelum mengajar di SD terpaksa menyadap karet. Beruntung, ia kebagian jatah satu kaplingan kebun karet dari orang tuanya.

“Dengan harga karet mentah sebesar Rp 8.000 per kilogram, hidup saya sedikit bisa lebih nyaman. Saya bisa jual karet ke pedagang pengumpul sekitar 30 kg per minggu. Paling tidak dari menyadap karet ini penghasilan bersih sebagai tambahan rata-rata Rp 200.000 per minggu. Honor komite itu hanya sekedar untuk pemacu semangat saja karena, ada penghasilan tetap yang saya harap dan tunggu tiap awal bulan,” kata Yadi. 

Bagi yang kurang perduli pendidikan, nasib seperti yang dialami Siti dan Yadi, mungkin hanya dianggap lumrah. Paling tidak hanya akan ke luar komentar; “salah sendiri, ngapaian mau mengajar”. Akan tetapi itu barangkali sangat tepat untuk menggambarkan betapa persoalan pendidikan di Kabupaten Merangin dan juga sebagian besar daerah pedalaman di Indonesia, sangat-amat memprihatinkan.

Guru-guru, terutama yang masih honor dan golongan rendah yang sangat dibebani tugas untuk mencerdaskan putera-puteri kita, ternyata masih dibelit persoalan krusial. Yakni, menerima imbalan sangat tidak layak. Padahal, di satu sisi para orang tua siswa selalu menuntut lebih. Jika siswa tinggal kelas atau tidak lulus ujian nasional (UN), gurulah yang disalahkan. Memang sangat tidak manusiawi, jika dikaitkan dengan imbalan yang diterima para guru.

Tetapi, itulah sebuah fakta nyata dunia pendidikan di Merangin. Dalam kasus Siti misalnya, wanita ini saban pagi terpaksa harus naik ojek sekolah dengan sewa Rp 3.000 sekali jalan. Untuk transportasi pulang mengajar, ia masih sedikit lega karena biasanya ada guru lain yang mau membonceng. Namun, kalau sehari Siti harus naik ojek sekali, berarti ia harus mengeluarkan ongkos ojek paling sedikit Rp 75.000 sebulan. Artinya, honor komite yang diterimanya hanya tersisa Rp 25.000, itu pun dengan perhitungan ia harus “puasa” tidak jajan dan makan siang, kendati harus mengajar sampai pukul 13.30 tiap hari.

Jika dihitung benar-benar, kata para guru, para guru honor di Merangin mungkin lebih banyak nombok ke sekolah. Karena agar bisa mengajar tepat waktu selama enam hari seminggu, mereka harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri untuk transportasi. Sebab, rata-rata sekolah tempat mengajar jauh dari tempat tinggal. 

“Barangkali, sangat masuk akal kalau beberapa waktu lalu kami guru-guru di Merangin memprotes anggaran pendidikan ke DPRD. Sudah seyogianya para wakil rakyat sedikit menolah ke dunia pendidikan karena, memang banyak hal yang perlu mendapat alokasi anggaran memadai. Jika anggaran pendidikan dinaikkan, kami beraharap agar DPRD dan Pemerintah Kabupaten Merangin mau mengalokasikan anggaran untuk menambah honor para guru honorer di daerah ini,” kata Siti.  

Data Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kabupaten Merangin, pada saat ini jumlah guru honor di daerah ini tercatat 809 orang. Mereka adalah para guru honor yang dibiayai komite dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Padahal, selain guru honor komite, di Merangin juga masih banyak guru honor yang dibiayai sendiri dengan iuran orang tua murid. 

Agar beban para orang tua lebih ringan, sepantasnya ada insentif untuk tambahan honor dari Pemkab Merangin. Akan tetapi, dalam praktik keuangan daerah pemkab tidak bisa mengucurkan begitu saja untuk honor para guru. Sebab, pihak DPRD lah yang dari awal bisa mengetok palu untuk pengalokasian anggaran insentif para guru tersebut.

“Guru honor yang digaji swadaya oleh orang tua di Merangin masih banyak. Jumlah mereka mungkin mencapai ratusan orang,” kata Muslim, pejabat yang menangani bidang kepegawaian di Dinas Diknas Merangin.

Sekolah rusak

 Tidak hanya persoalan guru honorer yang dibelit honor rendah, problem pendidikan di Merangin juga menyangkut rusaknya sarana dan prasarana khususnya di tingkat SD. Gedung SD yang sebagian merupakan SD Inpres itu, nyaris tidak tersentuh perbaikan sejak era tahun 1980-an. Akibatnya, banyak ruang kelas SD yang tidak layak pakai, atap dan plafond bocor, dinding rubuh, lantai semen yang sudah berubah lantai tanah, sehingga mirip kandang sapi.

 Tengoklah ruang kelas SD Negeri 278 di kota Bangko. Menurut Harun, Kepala SD setempat, semua atap dan plafond kelas bocor sehingga waktu hujan air mengucur ke ruang kelas. Jendela nako sekolah itu, kini hanya menyisakan rangka besi yang sudah karatan. “Kalau hujan deras, murid-murid terpaksa menyeret bangku ke sudut kelas yang masih kering. Jika genangan air sudah parah, pilihannya terpaksa belajar ditunda atau diliburkan,” katanya.

 Beruntung, kata Harun, tahun 2008 ini Pemkab Merangin mengalokasikan dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 250 juta. Ironisnya, DAK ini yang dialokasikan untuk rehabilitasi fisik bangunan sekolah hanya Rp 110 juta. Sisanya, untuk mebel, perbaikan WC dan dana operasional. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena, alokasi DAK sepenuhnya wewenang kabupaten. Sekolah hanya menerima kendati alokasinya kurang tepat sasaran,” kata Harun.

 Jika ditelusuri sebagian besar ruang kelas SD di Merangin, yang muncul ke permukaan tentu kondisi memprihatinkan. Sebab, SD Negeri 278 yang berada di ibu kota kabupaten dan hanya beberapa ratus meter di belakang Kantor Bupati, Kantor DPRD dan Kantor Dinas Diknas setempat saja sudah begitu parah. Apalagi, SD-SD di pedalaman Merangin yang jauh dari “mata” para pejabat kabupaten setempat.  

 “Gedung dan ruang kelas SMP, SMA dan SMK di Merangin, mungkin jauh lebih baik. Sebab, hampir tiap tahun mendapat alokasi anggaran perbaikan yang lumayan. Tetapi, khusus SD memang sebagiann besar belum tersentuh,” kata M Saman, Kepala Sub Dinas Pendidikan Menengah, Dinas Diknas Merangin.

 Kalau dibedah lebih dalam, persoalan pendidikan di Merangin memang seperti mengurai benang kusut. Lalu kapan kusut dunia pendidikan Merangin ini bisa diselesaikan? Aksi protes, unjuk rasa dan aksi mogok mengajar sekitar 6.200 guru di Merangin mungkin cukup tepat untuk menjawab potret buram pendidikan di daerah itu. (AHMAD ZULKANI)

Ke Bangko, Mampirlah di Restoran Kereta Api Koim




 ANDA suka berwisata dan bertualang kuliner? Mungkin tidak ada salahnya, datanglah ke kota Bangko, ibu kota Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Di kota kecil yang terletak di pinggir jalan nasional lintas tengah (Jalinteng) Sumatera, sekitar 300 km barat Kota Jambi ini, ada sebuah restoran unik. Namanya, restoran Kereta Api Koim. Petualang wisata kuliner, akan terkagum-kagum dengan suasana yang kami suguhkan,” kata A Rohim, pemilik restoran itu dengan nada promosi.

 Apanya yang unik di restoran ini? Barangkali belum banyak yang tahu. Sesuai namanya, restoran Kereta Api Koim ini memang dirancang persis layaknya sebuah tempat makan di sebuah stasiun kereta api. 

 Ada “loko uap” tua, seperti lokomotif uap era abad ke 18 yang bertengger di rel sepanjang sekitar 50 meter. Satu rangkaian dengan loko ini, ada dua “kereta restorasi” yang di dalamnya ditata meja makan pesis di restorasi kereta api. Uniknya lagi, ruang masinis kereta ini memang bukan tempat duduk masinis, tetapi disulap menjadi ruang kasir. Di sisi rangkaian “kereta” ini, di bawah bangunan tertutup layaknya sebuah stasiun kereta api, juga ada deretan meja makan.

 Nama restoran Kereta Api Koim, seperti diakui A Rohim sang pemilik, diambil dari nama panggilannya sehari-hari. Koim mengakui, keunikan restoran ini sebetulnya hanya sebuah rekayasa saja. Loko uap tua ini dibuat mirip asli, begitu pula kereta restorasi yang dibuat khusus seperti sungguhan.

 Menurut Koim, pengunjung restoran Kereta Api ini dipersilahkan mau makan di restorasi, di pelataran stasiun atau mau santai di luar peron stasiun yang suasananya cukup nyaman. Apalagi di depan mata sembari menikmati makanan dan minuman, dengan panorama alam aliran dua sungai besar yakni Muara Mesumai dan Sungai Merangin. Dari restoran, juga bisa dinikmati pemandangan dua jembatan gantung yang membentang Muara Mesumai dan Sungai Merangin.

Paling tidak, suasana yang disuguhkan restoran Kereta Api Koim ini akan membuat anda sedikit santai melepas kepenatan, setelah mengemudi jarak jauh misalnya dari Jakarta, Lampung atau pun dari Padang, Medan dan kota lain. Letak restoran ini cukup strategis di kawasan Ujung Tanjung, persis di pinggiran pertemuan dua sungai, yaitu Muara Mesumai dan Sungai Merangin. Posisi restoran hanya sekitar 300 meter di sisi barat jalinteng yang membelah kota Bangko. Restoran ini dibuka mulai pukul 07.00 pagi hingga pukul 23.00 malam. 

Menu restoran Kereta Api Koim ini, sangat beragam. Mulai dari hidangan khas Jambi dan Palembang seperti sambal tempoyak, pempek, pindang patin dan belida. Juga ada menu umum lain seperti nasi goreng, makanan laut misalnya cumi, udang lobster, kerang yang bisa disuguhkan sesuai pesanan. Ada pula berbagai masakan ikan mulai bakar laut, ikan sungai dan ikan budi daya lainnya. 

“Ada 28 jenis makanan dan 32 jenis minuman yang kita siapkan setiap hari. Semuanya tergantung pesanan karena, juru masak restoran Kereta Api sudah cukup berpengalaman,” tutur Koim yang mengaku semua masakan di restoran khas itu ia awasi langsung bersama Dian Fitriana, isterinya.

“Agar menu tidak monoton supaya ada variasi, saya selalu mengunjungi tempat-tempat makan dan restoran yang ramai pengunjung. Petualangan mencari menu baru ini kerap kali saya lakukan ke Jambi, Palembang dan kota-kota lain. Saya sangat memahami, pengunjung ke sini pasti mereka yang sudah pengalaman jajan dan makan di mana-mana. Oleh karena itu, menunya sedapat mungkin komplit,” katanya menambahkan.

Koim mengakui, harga makanan dan minuman di restoran Kereta Api ini dijamin terjangkau siapa saja. Mulai dari anak sekolah, sopir, sampai para pegawai dan orang-orang yang terbiasa makan di tempat mahal. Harga makanan bervariasi, mulai dari Rp 5.000 sampai Rp 20.000 per porsi tergantung jenis pesanan. Nasi goreng, kata dia hanya Rp 5.000 per porsi. Padahal, di kaki lima yang dijual pedagang keliling dengan gerobak di Bangko, satu porsi nasi goreng sekarang malah Rp 7.000. 

Pedagang gerobak keliling

 Terjun mengelola restoran, Koim mengaku hanya terbawa nasib baik saja. Awalnya, lelaki kelahiran Palembang 17 November 1965 itu sudah malang melintang bekerja di mana-mana. Setelah jadi sopir truk pengangkut bahan baku sepatu di Cibinong tahun 1990 selama dua tahun, Koim sempat menganggur beberapa lama. Ia bahkan, terpaksa menumpang hidup dengan kakaknya di Bangko yang kebetulan membuka sebuah warung menjual makanan khas Palembang.

 Ayah tiga putera ini mengaku, selama membantu kakaknya jualan ia kerap “mencuri-curi” lihat cara membuat pempek, tek wan, model, memasak pindang dan lain-lain. Dari mengintip cara memasak pempek itulah, ia coba-coba membuat sendiri dengan modal seadanya. Menanggur dan menumpang lama-lama, tentu tidaklah enak. Apalagi, Koim sudah punya tanggungan isteri dan anak-anak. 

“Setelah mendapat bantuan modal, saya pun nekad jualan pempek kaki lima dengan gerobak keliling persis di pinggir jalan lintas sumatera di kota Bangko. Mungkin karena nasib baik, pempeknya lumayan laku. Kerja sebagai pedagang gerobak ini saya lakoni bersama isteri dan anak-anak. Saya bukanlah type orang bak pepatah lupa kacang dengan kulitnya. Basis saya adalah pedagang kaki lima. Karena itu walaupun saya kini sudah dianggap orang Bangko pengusaha restoran, saya masih tetap mengelola gerobak pempek di kaki lima. Tetapi, sekarang menjalankan sehari-hari anak buah,” ujarnya.

Koim pun mengakui, bahwa ia tidak bisa melupakan jasa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Merangin yang memberi peluang untuk maju seperti sekarang. Sebab, kata dia, restoran Kereta Api di Ujung Tanjung yang dikelola saat ini, sebetulnya dibuat pemkab setempat. Hanya saja, “Kereta Api” tua ini sempat beberapa tahun menganggur, ditelantarkan karena waktu itu pengunjungnya sepi. 

Pada bulan Mei 2004, ia ditawari Pemkab Merangin mengelola restoran itu dan Koim pun lantas mengganti nama dengan restoran Kereta Api Koim. Tahun-tahun pertama, ia mengaku hampir saja frustasi karena restoran tetap sepi pengunjung. Waktu itu, yang datang hanya satu-dua orang, itu pun tidak tiap hari. 

Kata Koim, ternyata memang ada yang salah. Rupanya, menu yang dibuat dengan istilah keren bahasa asing membuat image mewah, sehingga masyarakat takut mampir ke sini. “Logikanya sederhana sekali. Saya ganti semua nama menu, tidak ada lagi istilah sea food, burger, juice. Yang ada, udang goreng, cumi goreng tepung, tempoyak, nasi goreng, kerang rebus, pindang, roti bakar, jeruk peras. Ternyata kiat itu mengena, buktinya sekarang restoran Kereta Api dikunjungi semua kalangan mulai anak sekolah, sopir, hingga pejabat dan pengusaha”.

Ditanya omsetnya dalam sehari, Koim hanya diam. Sambil menghela nafas, ia hanya menjawab: “pokoknya saya sekarang bisa makan dan hidup dengan isteri dan anak-anak,” ujarnya.

Dianggap warga Bangko ia salah satu pengelola restoran yang sukses, ternyata tidak mengubah penampilan keseharian Koim. Ia tetap bersandal karet, dengan baju kaus sederhana dan naik motor ke mana-mana. “Saya ini bukan pengusaha restoran, tetapi masih pedagang kaki lima dengan gerobak keliling,” kata Koim. Padahal, untuk mengelola restoran Kereta Api Koim ini, ia sudah mempekerjakan 15 karyawan tetap.

Anda mau menikmati makan di atas kereta dengan loko uap tua? Tentu restoran Kereta Api Koim di Ujung Tanjung, Muara Mesumai, Bangko tempatnya… (AHMAD ZULKANI) 

Jumat, 30 Januari 2009

LEBIH SETAHUN DI TENDA BERSAMA TEROR TSUNAMI




NYONYA MARDUANI (38), dengan penuh kasih sayang tampak terus saja menggerakkan ayunan bayi yang terbuat dari selembar kain jarit. Bayi perempuan yang baru berusia sebulan dan belum punya nama itu, terlihat tertidur pulas.
Panas terik dan sumpek di dapur sempit tempat ayunan bayi tradisional lazimnya yang dibuat keluarga di kampung-kampung itu, makin terasa sesak karena dinding dan atap rumah warga Desa Pauh Terenja, Kabupaten Mukomuko itu, terbuat dari seng bekas. Sesekali, Marduani tampak mengipas bayi mungilnya yang masih merah dan mulai berkeringat. Seolah tidak perduli dengan lingkungan yang sumpek panas itu, si bayi tetap tak bergerak, tidur dengan nyenyak.
Desa Pauh Terenja, Kabupaten Mukomuko, terletak sekitar 265 km utara Kota Bengkulu, ibukota Provinsi Bengkulu. Desa ini bersama puluhan desa lain di Mukomuko, dikategorikan paling parah terkena dampak gempa tektonik akhir-akhir ini, termasuk gempa berkekuatan 7,3 SR pada tahun 2007. Ratusan rumah warga dan fasilitas publik seperti gedung sekolah di Desa Pauh Terenja dikategorikan rusak berat dan hancur pascagempa.
“Sudah lebih setahun saya, suami dan empat anak hidup di bedengan ini. Bayi perempuan saya ini pun lahir di lantai tanah beralaskan selembar plastik di bedengan ini. Kalau kami punya uang, mungkin sudah lama bisa mendirikan rumah kembali walaupun hanya rumah kayu. Tetapi karena tidak punya apa-apa dan hanya mengandalkan hidup dari panen jagung dan buruh tani, kami terpaksa menikmati saja walaupun sudah sangat tersiksa,” tutur Marduani dengan nada terbata-bata.
Ia mengakui, selama menunggu panen jagung, suaminya kini terpaksa memburuh di kebun orang. Kalau beruntung dapat kerjaan, suaminya bisa membawa pulang upah paling banter Rp 15.000 sehari. “Inilah penyambung hidup sekeluarga, sejak gempa merubuhkan rumah semi permanent milik kami pada 12 September 2007. Dua bulan pertama pascagempa tahun lalu, kami memang sempat menerima bantuan bahan makanan, beras 20 kg dan jatah hidup sebanyak Rp 400.000. Kini, setelah lebih setahun rasanya hidup ini semakin kabur. Esok pagi, entah makan apa anak-anak saya lagi,” kata Marduani, sembari menatap bayinya yang lelap di ayunan kain jarit.
Marduani memang tidak sendirian. Di deretan rumahnya di Desa Pauh Terenja, sekitar 3 km dari Kantor Bupati Mukomuko, juga ada Basril (48), Dasminah (50), dan puluhan warga lain yang mengalami nasib sama. Hidup di bawah tenda plastic, di bedeng sumpek berdinding terpal bekas yang bolong-bolong dengan semburan angin pantai yang menusuk tulang di malam hari berbulan-bulan, sepertinya sudah menjadi santapan sehari-hari sejak gempa meluluh luntakkan ribuan rumah warga Mukomuko.
Bahkan, jika merujuk data posko Satuan pelaksana (Satlak) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Kabupaten Mukomuko, tercatat 1.430 unit rumah warga yang rusak berat – sebagian besar dalam kondisi roboh rata tanah – akibat guncangan gempa tahun 2007. Itu artinya, ada sekitar 1.430 keluarga pula yang kini hidup sebagai pengungsi di puing-puing reruntuhan rumah sendiri walaupun pascagempa sudah berlalu lebih setahun.
Menurut Basril, derita warga memang tidak pernah hilang. Bayangkan saja, kendati sudah hampir menginjak dua tahun sampai sekarang derita, trauma dan ketakutan warga setempat masih saja sulit dienyahkan. Harap maklum, gempa bumi memang selalu menggoyang tanah dan daratan Mukomuko seolah tanpa henti.
Karena itu, warga Mukomuko terutama mereka yang bermukim di bibir pantai selalu hidup di tenda bersama teror gempa dan tsunami. Hidup di daerah bencana, seperti memang sebuahg nasib yang terlalu sulit dielakkan. Walaupun demikian, beruntung mereka tinggal di bawah tenda plastic, sehingga tidak ada reruntuhan bangunan baru yang menimpa.
“Hidup di bawah terpal plastik ketika musim gempa yang terus mengguncang bumi Mukomuko seperti sekarang, ternyata ada hikmahnya. Saya sekeluarga tidak perlu lagi lari ke luar karena, tidak bakal ada yang roboh. Buktinya ketika gempa mengguncang dua hari lalu, kami tenang-tenang saja di sini,” kata Basril.
Kondisi yang juga teramat menyiksa pun dialami Dasminah. Pasangan petani ini mengakui, rumah semi permanen dengan tiga kamar miliknya, memang sudah rata tanah karena diguncang gempa tahun lalu. “Semuanya rata dan lenyap seketika. Yang tersisa itu hanya sebuah wc dan sumur di bagian belakang,” ujarnya menambahkan.
Dia pun mengakui, sekarang jangankan untuk membangun kembali pengganti rumah yang roboh, untuk makan saja harus ngutang dulu sambil menunggu panen jagung. Tidak itu saja, agar anak-anaknya tidak sakit Dasminah sudah enam bulan ini terpaksa menitip tidur di rumah tetangga.
“Kalau kami ya, harus bisa menikmati hidup di bawah terpal ini berbulan-bulan karena kalau ikut menumpang di rumah tetangga sudah pasti memberatkan. Namun kalau hujan deras karena atap plastic bocor, dengan berat hari kami pun ikut mengungsi tidur di rumah sebelah yang masih utuh,” kata Dasminah.
Menunggu janji pemerintah
TETAPI, betahkah Basril, Dasminah, Marduani dan ribuan korban gempa di Mukomuko untuk terus bertahan di bawah terpal plastic dan bangunan darurat? Kalau dibilang tidak betah, buktinya mereka ternyata masih bertahan di situ sampai sekarang. Tetapi, setelah ditelusuri persoalannya bukan karena kerasan, namun semata-mata akibat keterpaksaan. Mereka memang tidak punya uang lebih dan kemampuan untuk membangun kembali rumah mereka karena, sebagian besar warga yang jadi korban gempa di Mukomuko adalah keluarga miskin yang selama ini hidup pas-pasan.
Oleh karena itulah, ketika gempa masih terus mengguncang Mukomuko, satu-satunya harapan warga adalah dikucurkannya segera dana perbaikan dan pembangunan kembali (dana recovery) seperti yang dijanjikan pemerintah pusat sejak pascagempa. Dana itu besarnya bervariasi, mulai dari Rp 5 juta untuk yang rusak ringan hingga Rp 15 juta bagi bangunan yang roboh.
“Nasib kami sekarang mungkin mirip pungguk merindukan bulan. Entah kapan dana bantuan yang dijanjikan pemerintah itu cair. Padahal, sudah sejak lama warga korban gempa disuruh membuka rekening di bank. Kami tidak habis pikir, koq tega-teganya mengumbar janji dan kemudian malah membiarkan rakyat hidup menderita di bawah-bawah tenda plastic yang sudah bocor,” tutur Basril.
Menurut Basril dan Dasminah, seandainya warga mampu dan punya uang untuk mendirikan rumah yang roboh, sudah pasti mereka tidak akan mengemis seperti sekarang. “Dan lagi, yang kami tagih itu sesuatu yang pernah dijanjikan. Barangkali, jika dana perbaikan dikucurkan mungkin trauma gempa dan tsunami sedikit demi sedikit akan hilang dari ingatan. Tidak seperti sekarang, mimpi buruk itu masih terlihat di depan mata karena puing reruntuhan rumah masih bertebaran. Dalam situasi seperti itu, gempa pun kini terus mengguncang bertubi-tubi,” ujarnya.
Bupati Mukomuko Ichwan Yunus yang ditemui di Mukomuko beberapa waktu lalu, menyatakan, Satlak PBP daerah ini memang telah menerima kucuran dana perbaikan rumah warga sebesar Rp 21,7 miliar. Bantuan tahap pertama untuk pembangunan kembali rumah para korban gempa itu memang terlambat sampai di kabupaten karena, sempat mengendap beberapa lama di Pemprov Bengkulu.
“Secepatnya, bantuan pusat itu akan segera dibagikan. Apalagi, para korban gempa yang berhak semuanya memang sudah memiliki rekening di bank,” katanya.
Ketika setiap kali bencana terjadi di Tanah Air kita, termasuk pascagempa di Mukomuko, soal bantuan memang selalu menuai masalah. Padahal, itu semua sebetulnya terkait erat dengan rasa, empati dan nurani. Bagaimana pun juga, kucuran bantuan kemanusiaan tersebut paling tidak bisa sedikit mengobati trauma warga Mukomuko yang hingga masih saja dihantui teror gempa dan tsunami.
AHMAD ZULKANI

Kamis, 29 Januari 2009

Bengkulu Ternyata Masih 'Tidur Nyenyak'

BAGAIMANA kondisi Provinsi Bengkulu setelah lebih setengah abad Merdeka? Benarkah provinsi yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera itu masih 'tidur nyenyak', ketika provinsi lain di Tanah Air menggeliat maju?

Jawabannya, bisa ya dan juga bisa tidak, tergantung dari kaca mata mana melihat. Kalau tidak percaya, tengok dan datanglah langsung ke Provinsi Bengkulu. Dari segi pembangunan fisik dan ekonomi, Bengkulu memang masih tidur lelap.

Lihatlah Kota Bengkulu, sebagai ibu kota Provinsi Bengkulu dan juga sebagai sebuah etalase terdepan provinsi di pesisir barat Sumatera itu. Dari dulu, deretan pertokoan yang berkembang dan masih bertahan hanya ada di kawasan Jalan Soeprapto. Memang beberapa pertokoan baru, tampak muncul di kawasan Panorama, Lingkar Barat, Pagar Dewa dan Rawa Makmur. Tetapi, kendati sudah tuntas dibangun sejak bertahun-tahun pertokoan ini justru banyak yang kosong. Tidak ada pelaku bisnis, usaha dan perdagangan yang melirik untuk memanfaatkan.

Kondisi Bengkulu sejak berakhirnya era kepemimpinan Gubernur Bengkulu Soeprapto, wong jowo yang dianggap sebagai gubernur fenomenal karena mampu mengangkat eksistensi keterpurukan Bengkulu pada tahun 1980-an, sampai sekarang tampak tidak banyak berubah. Sejak setahun belakangan di Kota Bengkulu memang muncul dua mall sebagai perlambang kota moderen, namun itu ternyata tetap tidak bisa membuat perekonomian dan kemajuan Bengkulu menggeliat dinamis.

Lalu apakah ada yang salah di Bengkulu?Jika ditelusuri sejarah masa lalu Bengkulu, sebetulnya siapa pun warga daerah ini tidak perlu berkecil hati. Sejarah memang sulit diingkari. Buktinya, dari dulu pun Bengkulu sudah terang-terangan sengaja diabaikan oleh penguasa. Aba-aba betapa Bengkulu sengaja ditinggalkan memang sudah tersirat sejak Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles yang bercokol di Bengkulu antara tahun 1818-1824 hengkang dari sini, menukarkan daerah penghasil kopi dan lada tersebut dengan Malaka.

Tidak jelas betul alasannya, apakah karena kurang potensial atau membaca isyarat Bengkulu memang tidak memiliki prospek di masa depan. Sehingga Raffles berketetapan hati dan bersedia menukar daerah ini dengan Malaka. Apa pun alasannya, fakta sejarah secara tegas mengungkapkan bahwa berdasarkan Traktat London (1824), Bengkulu akhirnya diserahkan kolonial Inggris kepada Belanda. Sebagai gantinya, Inggris mendapat wilayah jajahan baru yakni kawasan semenanjung Malaka, antara lain Singapura sekarang.

Apakah sejarah masa lalu itu terus terulang dan Bengkulu tetap dikucilkan? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak pula. Hanya saja dari segi "kepedulian" pemerintah pusat, Bengkulu memang tetap merasa ditinggalkan. Akan tetapi, di era otonomi ini ketergantungan yang berlebihan kepada Jakarta jelas adalah kebijakan yang tidak bisa dibenarkan. Karenanya, Bengkulu harus mampu berdiri dan membangun dengan potensi yang ada dalam dirinya sendiri.

Kalau ditelusuri lebih cermat lagi, sebetulnya Bengkulu sama sekali tidak ditinggalkan Jakarta. Buktinya, meski minim Sumber Daya Alam (SDA) Provinsi Bengkulu tetap kebagian Dana Alokasi Umum (DAU) mencapai sekitar Rp 300 milyar lebih atau sekitar tiga Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya yang hanya sekitar Rp 100 milyar pertahun.

Jumlah DAU yang diperoleh Bengkulu tersebut belum termasuk DAU yang diterima kabupaten dan satu kota yang kalau ditotal justru bernilai . Dalam hal perolehan DAU dan juga hasil perimbangan keuangan pusat dan daerah, Bengkulu memang tidak selayaknya membandingkan dengan Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan atau Aceh yang memang kaya. Namun, kalkulasi angka-angka tersebut jelas sangat fantastis bagi daerah yang nyaris nol kontribusinya di sektor minyak dan gas serta bahan tambang lain.

Sektor pertanian memang tulang-punggung perekonomian Bengkulu. Sebagai basis, sektor ini memiliki kontribusi paling besar dalam pertumbuhan ekonomi. Tahun 1999 misalnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bengkulu mencapai Rp 3,94 trilyun, sedangkan pendapatan bruto per kapita tahun yang sama Rp 2,5 juta. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB ini paling tinggi mencapai 30,69 persen. Sedangkan sektor lain jauh di bawah itu seperti jasa-jasa (18,48 persen), perdagangan, hotel dan restoran (16,77 persen) dan angkutan dan komunikasi (16,54 persen).

Pembangunan pertanian Bengkulu, jangan terlalu berorientasi pada pertanian skala besar yang membutuhkan lahan luas. Sebab, ketersediaan lahan yang terbatas justru bakal menimbulkan persoalan baru. Misalnya, konflik pertanahan dan juga terjadinya benturan peruntukkan lahan. Jika itu tidak dicermati, sudah jelas akan memunculkan persoalan baru di Bengkulu. Karena , dari 19,7 juta hektar luas lahan/hutan Bengkulu, sekitar 30 persennya merupakan kawasan nonbudidaya yakni terdiri dari kawasan konservasi dan kawasan lindung.

Luas kawasan budi daya di Bengkulu, di atas kertas memang mencapai 1,2 juta hektar. Akan tetapi itu nyaris ludes dibagi dan dikantungi para pemodal melalui legalisasi berbagai HGU (Hak Guna Usaha). "Usaha pertanian Bengkulu terkendala akibat terbatasnya lahan yang pantas dibudi daya. Sebab, jika melangkah sedikit lebih ke dalam kita justru sudah berhadapan dengan para pemegang HGU, berbagai kawasan lindung, serta dua taman na-sional yakni Kerinci Sebelat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNB BS)," ungkap Chairuddin, seorang tokoh masyarakat Bengkulu.

DARI kacamata pengamat, ekonomi Bengkulu dewasa ini merupakan ekonomi "gurem". Sebab, hampir sejak 10 tahun terakhir dirasakan sekali lambannya pertumbuhan Bengkulu. Tidak perlu diungkap angka-angka statistik tentang pertumbuhan ekonomi daerah berjuluk: Bumi Rafflesia ini.

Liriklah pembangunan fisik di Bengkulu. Selama enam tahun terakhir misalnya, cuma ada satu beberapa proyek besar yang bisa dihitung jari. Selebihnya, seperti jalan provinsi dan kabupaten rata-rata dibangun di bawah tahun 1990-an.

Siapa pun orang luar yang pernah pada tahun 1980-an ke Bengkulu pasti punya kesan sama. Pembangunan daerah ini sejak tiga dasawarsa belakangan, sama sekali tidak jelas arahnya. Jika titik beratnya pertanian, seyogianya dalam 10-15 tahun terakhir sudah terlihat hasilnya. Namun, ini justru seperti jalan di tempat. Soal sektor unggulan misalnya hingga kini pun dinilai masih mengambang, belum jelas ke mana larinya.

"Bayangkan saja, dari dulu telor, beras dan hampir semua kebutuhan pokok didatangkan dari luar Bengkulu. Barangkali yang tidak "diimpor" hanya ikan dan sayuran. Itu pun ditangkap oleh nelayan tradisional dengan peralatan seadanya. Sedangkan sayuran dari dulu sentranya tidak pernah beralih dari Curup, Rejanglebong.

Diingatkan, guna meningkatkan perekonomian Bengkulu jalan ke luar terbaik adalah menciptakan simpul-simpul ekonomi baru di pedesaan. Itu artinya yang diperkuat dan diberdayakan adalah rakyat bawah melalui sektor-sektor produktif. Misalnya, membangun berbagai industri hilir yang langsung bersentuhan dengan masyarakat setempat.

"Solusi yang tepat membangun Bengkulu, bukan penduduknya yang harus ditambah melalui transmigrasi. Akan tetapi harus memperkuat keberadaan SDM yang sudah ada sekarang. Jika jumlah penduduk banyak, tanahnya tak ada, penghasilannya juga kurang, percuma. Buat apa penduduk padat, tapi kere hanya makan pisang goreng doang," tambah Zulkifli Hosein, ekonom yang juga mantan Rektor Universitas Bengkulu.

Dari segi angka-angka statistik, di atas kertas ekonomi Bengkulu memang tumbuh melangkah ke depan. Keterpurukan justru mulai dirasakan sejak tahun 1997, ketika daerah itu diterpa kemarau panjang. Hal yang sama pun terulang, persis setelah daerah ini dihantam gempa tektonik berkekuatan 7,3 skala Richter Juni 2000, disusul gempa dahsyat berturut tahun 2007 dan 2008. Gempa beruntun ini tidak saja membuat rumah penduduk hancur dan merusak fisik daerah Bengkulu, gempa juga memporak-porandakan tatanan ekonomi masyarakat setempat.

APAKAH sebetulnya yang kini terjadi di Bengkulu? Bekas keresidenan Sumatera Selatan yang disahkan sebagai provinsi pada 18 November 1968 itu, sekarang tampaknya menghadapi persoalan serius. Tidak saja karena pembangunan di sana tanpa konsep dan arah yang jelas, Bengkulu beberapa tahun terakhir ternyata mengalami degradasi mutu SDM yang memprihatinkan.

Menurut Zulkifli Hosen, degradasi SDM ini nyaris di semua sisi. Tidak saja di sektor-sektor produksi dalam kelompok masyarakat dan petani, namun juga terjadinya degradasi pada penyelenggaraan pemerintahan. Semua ini terjadi karena kebijakan Bengkulu yang kurang bersahabat dan tidak terbuka dengan SDM-SDM yang berkualitas.

Contoh konkret berlangsungnya degradasi SDM di bidang pemerintahan yakni dengan "diusirnya" sejumlah pemikir dan konseptor ke luar daerah. Sejumlah putera daerah Bengkulu yang sempat mengenyam pendidikan dan memiliki pola pikir lebih maju, ternyata sengaja dimutasi ke luar atau sengaja diparkir tanpa jabatan. Akibatnya, jajaran pemerintahan di Bengkulu kini nyaris diisi oleh SDM yang berpikiran sempit.

"Idealnya yang harus dikembangkan adalah persaingan sehat. Yang diambil haruslah terbaik, kalau perlu "ditender". Sehingga betul-betul SDM berkualitas yang harus muncul, bukan yang baik dibuang. Selama ini orang-orang pandai di Bengkulu tak laku. Sehingga yang bagus-bagus, tamat S2 dan S3 misalnya, dibuang ke luar Bengkulu," tegas Zulkifli lagi.

Saking terabaikannya pembangunan SDM tergambar dari kecilnya minat orang Bengkulu untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S2). Di Unib, dari 65 mahasiswa yang mengambil program S2 (MM) tahun 2001, justru 90 persennya diisi oleh para pejabat dan putra terbaik dari Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Padahal, Unib ada di Bengkulu dan biaya kuliah di sini pun sangat murah.

Lalu, akankah Provinsi Bengkulu masih akan tetap 'tidur panjang' di tengah globalisasi ini? Jawabannya, tentu berpulang kepada warga, tokoh masyarakat, generasi muda, kaum intelektual dan para pengambil kebijakan di jajaran pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Bengkulu.

Ungkapan: "bre segantang, ikan sejirek..madar" - yang secara harfiah mungkin berarti: Kalau sudah punya beras seliter, ikan satu jinjing lantas tidur - untuk menggambarkan kebiasaan malas dan tidak produktif segelintir orang Bengkulu, memang sudah layaknya ditinggalkan. Bagaimana pun juga, di era globalisasi, era otonomi daerah untuk percepatan pembangunan, jelas tidak bisa dicapai hanya dengan tidur panjang setelah makan dengan ikan sejinjing...
Bengkulu, 290109
Ahmad Zulkani

Rabu, 28 Januari 2009

Rafflesia Arnoldi, Kebanggaan 'Tobo Kito' Bengkulu




SEOLAH sebuah tradisi, setiap menjelang akhir tahun, bunga langka Rafflesia Arnoldi mulai memasuki musim mekar di sejumlah kawasan hutan di Provinsi Bengkulu. Bunga langka nan unik ini, merupakan sebuah kebanggaan ‘Tobo Kito’ (bisa diartikan: masyarakat) Bengkulu sejak dulu.

Walaupun Bunga Rafflesia kerap juga ditemukan di kawasan hutan seperti di hutan Bengkulu Selatan, namun Rafflesia mekar justru kerap kali ditemukan di kawasan hutan lindung Register 5 Bukit Daun, Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah, sekitar 52 km sebelah timur Kota Bengkulu.

Lokasi mekarnya bunga Rafflesia ini, terpencar di sejumlah tempat di hutan lindung Bukit Daun. Menariknya, tempat mekar bunga ini ternyata berada persis di pinggir jalan nasional Bengkulu – Kepahiang – Curup - Lubuk Linggau. Sejumlah wisatawan lokal baik asal Bengkulu, maupun dari Lubuk Linggau dan Pagar Alam, Sumatera Selatan secara rutin sengaja dating untuk menyaksikan mekarnya ‘kawanan’ bunga-bunga langka itu.

Bahkan, tak jarang beberapa kelompok peneliti botani dari berbagai perguruan tinggi di luar Bengkulu seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), peneliti LIPI dan ilmuwan dari luar negeri, sengaja ‘berburu’ bunga Rafflesia mekar ke hutan Bengkulu.

Menurut Rizal dan Antoni, dua warga Taba Penanjung pecinta Rafflesia yang seringkali secara sukarela menjaga bunga-bunga Rafflesia mekar tersebut, masa puncak mekarnya bunga langka ini memang berlangsung pada bulan Desember. Pada bulan itu, bonggol bunga yang mirip dengan kol ini akan muncul dari inangnya dan mekar dalam tujuh hari. Setelahnya, bunga yang menjadikan serangga kecil sebagai santapan itu akan layu.

“Hutan Lindung Bukit Daun yang dibelah jalan nasional Bengkulu – Curup – Lubuk Linggau menuju Lintas Tengah Sumatera ini, memang menjadi tempat tumbuh alami sejak lama," kata Rizal.

"Jika ditelusuri sampai ke bagian dalam kawasan hutan lindung, pasti banyak ditemukan bunga yang tengah mekar. Namun, agar masyarakat bisa menyaksikan keindahannya maka kami berupaya mencari lokasi mekar yang dekat dengan jalan raya,” tutur Rizal.

Padma raksasa Rafflesia Arnoldi, pertama kali ditemukan oleh Thomas Stanford Raffles dan ahli botani Arnol pada tahun 1818 di kawasan hutan di Manna, wilayah Bengkulu Selatan sekarang. Belakangan sejumlah kawasan hutan di Provinsi Bengkulu menjadi habitat alami tempat tumbuhnya bunga Rafflesia tersebut.

Bunga yang berukuran besar itu kini menjadi maskot pengembangan ekowisata di Provinsi Bengkulu. Oleh karena itu, jika ingin menyaksikan sebuah keajaiban dan kekhasan bunga hutan nan langka, barangkali tidak ada salahnya untuk datang ke Bengkulu. Terutama ketika kuntum Rafflesia sedang musim mekar..
Ahmad Zulkani

Masyarakat Pasemah, 'Sindang Merdike' Itu Kini Tenggelam...


MASYARAKAT Pasemah? Barangkali tidak semua orang mengenalnya. Secara historis, suku Pasemah dulunya hanya merupakan suatu kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah pedalaman di Sumatera Selatan (Sumsel).

Suku Pasemah ini diidentikkan dengan masyarakat yang bermukim di daerah perbatasan Provinsi Sumsel saat ini dengan Provinsi Bengkulu.Secara administratif pemerintahan saat ini, wilayah Pasemah diakui meliputi daerah sekitar Kota Pagar Alam, wilayah Kecamatan Jarai, Kecamatan Tanjung Sakti, yang berbatasan dengan wilayah Bengkulu, dan daerah sekitar Kota Agung, Kabupaten Lahat (Sumsel). Menurut berbagai literatur, semua wilayah itu pada masa kolonial Belanda memang termasuk bagian dari Kewedanaan Pasemah. Sedangkan secara geografis, bisa disebut adalah mereka yang bermukim di sekitar kaki dan lembah Gunung Dempo sekarang.

Penyebutan Pasemah itu sendiri, seperti diakui Mohammad Saman (70), budayawan dan salah seorang sesepuh di sana, berawal dari kesalahan pengucapan (lidah) orang Belanda. Padahal, pengucapan yang tepat untuk menyebut kelompok masyarakat ini sebetulnya adalah Besemah. Hanya saja, karena lidah Belanda tidak bisa mengucap awalan “Be” dari Besemah dan yang terucap hanya “Pa”, maka mereka akhirnya menyebut dengan Pasemah.

Belakangan, bahkan hingga lebih setengah abad Indonesia merdeka, yang paling populer di tengah masyarakat justru sebutan: Pasemah. “Keseleo lidah (pengucapan) orang Belanda yang menyebut Pasemah itu, ternyata yang paling populer di luar. Padahal, bagi kami orang-orang yang masih bertahan di sini, dari dulu tetap menyebut Besemah,” ungkap Saman, yang mengaku secara otodidak menguasai dan mengikuti perjalanan panjang sejarah Pasemah.

Kata Besemah itu sendiri, konon berawal dari “kekagetan” Atong Bungsu, puyang (nenek moyang) mereka ketika melihat banyaknya ikan “Semah” di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo. Menyaksikan ikan itu, tiba-tiba terucap dari mulut Atong Bungsu kalimat; Besemah…, Besemah…! yang artinya di sungai itu ada (banyak) ikan semahnya.

***

PASEMAH adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi, dan budaya yang sangat khas. Seperti yang dijelaskan Mohammad Saman, masyarakat di tanah Pasemah sedari dulu sudah mempunyai tatanan dan aturan-aturan masyarakat yang bernama “Lampik Empat, Merdike Due” yakni, perwujudan demokrasi murni yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen masyarakat setempat.

Menurut Kamil Mahruf, Nanang Soetadji, dan Djohan Hanafiah dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika , asal usul orang Pasemah dimulai dengan kedatangan Atong Bungsu, yaitu nenek moyang orang Pasemah Lampik Empat dari Hindia Muka untuk menetap di daerah ini. Saat kedatangan Atong Bungsu tersebut, ternyata sudah ada berdiam dua suku yang menempati daerah itu. Yakni, suku Penjalang dan suku Semidang. Untuk menjaga ketenteraman dan melindungi kepentingan mereka, pendatang dan kedua suku itu menyepakati perjanjian bersama. Intinya, di antara mereka sampai anak keturunannya, tidak akan mengganggu dalam segala hal.

Sejauh ini memang tidak diketahui sejak kapan keberadaan suku-suku Lampik Empat di tanah Pasemah. Namun, seperti dijelaskan Kamil Mahruf, jika perkataan Pasemah yang terdapat dalam prasasti yang dibuat oleh balatentara raja Yayanasa dari Kedatuan Sriwijaya setelah penaklukan Lampung tahun 680 Masehi yaitu “Prasasti Palas Pasemah” ada hubungannya dengan tanah Pasemah, maka berarti suku-suku ini telah ada pada awal abad ke-7 M.

Keberadaan suku Pasemah itu sendiri tampaknya memang tidak bisa lepas dari perjalanan panjang sejarah Kesultanan Palembang. Dari berbagai referensi yang dimiliki, menurut Kamil Mahruf, keterkaitan antara tanah Pasemah dan Sultan Palembang dilatarbelakangi oleh hubungan historis dan moral menyangkut ketidakmampuan untuk mengatur diri sendiri.

Disebutkan, setelah puyang Pasemah yakni Atong Bungsu berkembang biak, keturunannya menyebar dan terbagi ke dalam empat suku. Yaitu, Sumbai Besar, Sumbai Pangkal Lurah, Sumbai Ulu Lurah, dan Sumbai Mangku Anom. Karena keempat suku itu tidak mampu mengatur kerukunan di antara mereka, maka dikirimlah utusan masing-masing suku menemui Raja Palembang untuk meminta petunjuk. Khusus dua suku sebelumnya, suku Penjalang dan Semidang tidak turut serta sesuai perjanjian terdahulu.

Lantas, Raja Palembang memberi hadiah kepada keempat ketua suku, berupa satu lampik atau tikar untuk tempat duduk bersama. Arti pemberian itu sangat dalam, yaitu arahan agar keempat suku tersebut harus duduk bersama dalam mengatasi berbagai masalah di lingkungan mereka. Segala sesuatu yang timbul di antara kelompok itu, harus diselesaikan secara musyawarah.

Menurut Saman, Lampik Empat (empat suku turunan Atong Bungsu) dan Merdike Due (dua suku yang sudah lebih dulu ada), merupakan potensi besar masyarakat yang ada di tanah Pasemah. Mereka menyatu, membentuk suatu kelompok masyarakat yang memang sudah sejak lama memiliki tatanan demokrasi modern.

“Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pasemah sudah punya sebuah tata pemerintahan yang amat demokratis. Pada saat itu yang dikedepankan adalah, kekuatan rakyat dengan dasar-dasar musyawarah dan mufakat. Lampik Empat, Merdike Due adalah, suatu tatanan demokrasi murni yang betul-betul sangat menjunjung tinggi pendapat dan aspirasi orang banyak. Itu artinya, jauh sebelum kalangan anggota parlemen dan para pemikir di Indonesia sekarang berbicara soal demokrasi, ternyata di tanah Pasemah sudah diterapkan hal itu lengkap dengan etika-etika berdemokrasi layaknya pemerintahan modern sekarang,” tegas Saman penuh bangga.

Hanya saja, pengingkaran terhadap tatanan demokrasi ternyata dari dulu sudah terbukti akan berdampak buruk. Tidak saja sekarang, sejak dari dulu pun pengingkaran demokrasi ini membawa implikasi yang tidak sehat di tengah
masyarakat. Bahkan, bisa menjurus perpecahan dengan beragam persoalan serius. Buktinya, bisa dilihat dalam perjalanan panjang sejarah Pasemah menghadapi Belanda antara tahun 1821 sampai 1866.

Dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika, Kamil Mahruf dan kawan-kawan secara gamblang menggambarkan betapa kejayaan Pasemah bertahun-tahun, bisa hancur hanya gara-gara pengingkaran terhadap nilai-nilai yang ada pada Lampik Empat, Merdike Due tadi. Bahkan, sekitar tahun 1866 ketika Pasemah Sindang Merdike (julukan membanggakan bagi orang-orang Pasemah sebagai penjaga perbatasan) berakhir, disebut-sebut dipicu oleh ketidaksenangan sebagian kepala dan orang-orang berpengaruh di wilayah Lampik Empat bersama-sama orang Semidang untuk membatalkan perjanjian “Sindang Merdike” dengan Belanda.

Berbagai ambisi dan kedengkian itu pula akhirnya yang menyebabkan runtuhnya kejayaan Lampik Empat, terhitung sejak 22 Juli 1867. Sudah bisa ditebak, begitu Lampik Empat “terkubur”, lenyap sudah sebuah hakikat demokrasi dalam sekejap. Artinya, kebijakan tanpa didasarkan pada musyawarah dan mufakat ternyata telah meruntuhkan sebuah pilar demokratis yang dibangun di tanah Pasemah.

***

MAKIN tenggelamkah “Sindang Merdike” saat ini? Menurut budayawan Pasemah, Mohammad Saman, begitu kekuatan Belanda merambah ke sini, mulailah terjadi pergeseran nilai-nilai adat, budaya, dan sistem pemerintahan di tanah Pasemah. Dampak berikut juga menyentuh berbagai peran dan fungsi lembaga-lembaga lama yang ada di masyarakat ke lembaga baru yang sesuai dengan keinginan penguasa.

Lembaga-lembaga lama misalnya hukum adat dan tradisi lain, semakin tidak berfungsi. Bahkan, puncaknya memasuki abad XIX, berbagai lembaga tradisional di tanah Pasemah terasa mulai keropos dan pada akhirnya hilang digerogoti kolonial. Barangkali ini terkait pula dengan strategi perang yang tujuan akhirnya adalah agar kekuasaan mereka bisa langgeng.

Era sekitar tahun 1940-an, bisa disebut sebagai titik awal pudarnya kejayaan Pasemah. Sebab, pada saat itu sistem pemerintahan marga sebagai sebuah sistem pemerintahan tradisional yang mapan di tanah Pasemah, ternyata dihapus oleh kolonial. Jabatan strategis seperti, Kepala Sumbai, Pesirah, dan lain-lain lantas dilikuidasi.

Dilukiskan, cobaan bagi tanah Pasemah tidak semata lahir pada zaman kolonial. Setelah merdeka, bahkan di era orde baru pun tanah Pasemah juga menjadi korban. Sistem pemerintahan marga, misalnya lembaga Sumbai yang mulai bertunas kembali saat itu, sengaja dienyahkan.

“Dengan diterapkannya Undang-Undang Pemerintahan Desa yang seragam dari Aceh sampai Irian sekitar tahun 1979, membuat pemerintahan marga di tanah Pasemah kembali terkubur. Padahal, saat itu reinkarnasi sistem pemerintahan marga sudah mulai muncul kembali. Ini jelas petaka kedua yang melanda Pasemah,” tutur Saman.

Imbalan dari pemerintah Orde Baru, untuk menghargai rasa keterpaksaan masyarakat Pasemah dalam menghapus marga dan diganti desa kala itu, hanya berupa sebuah stasiun relay televisi, satu masjid, dan memberi status kota administratif bagi Pagar Alam. Imbal beli yang teramat murah ini memang ironis. Akan tetapi, para tetua Pasemah tidak berdaya karena jika mereka menentang, jargon yang paling pas adalah akan dicap sebagai antipembangunan.

“Ketika itu pilihan kami memang serba sulit. Daripada timbul konflik dan dianggap macam-macam, dengan rasa berat hati kami akhirnya menerima tawaran itu. Kita betul-betul sedih, karena sudah diramalkan bahwa Pasemah akan dikubur tanpa bisa bangkit kembali,” ia menambahkan.

Tentang keinginan menghidupkan kembali pemerintahan marga, diakui Saman, bukan dimaksudkan untuk sekadar menghibur diri. Karena dengan sistem pemerintahan marga, diyakini semua institusi akan memiliki basis sampai ke tingkat yang paling dasar. Ini memberi banyak keuntungan, salah satunya adalah gampang menarik masyarakat untuk berpartisipasi dalam menggerakkan roda pembangunan. Sudah dari dulu diketahui bahwa Kepala Sumbai atau Pesirah memiliki ikatan moral dan berpengaruh luas ke bawah.

“Terus terang, kami iri dengan Sumatera Barat (Sumbar) yang saat ini sudah kembali ke pemerintahan Nagari. Jika di Sumbar sistem pemerintahan tradisional bisa dihidupkan kembali, kenapa di tanah Pasemah ini tidak dilakukan. Jadi, inilah yang perlu digugah untuk membangkitkan kembali kejayaan Pasemah dalam konteks pemerintahan modern di era otonomi daerah,” ujarnya.

Akankah “Sindang Merdike” itu akan terkubur sepanjang masa ? Jawabannya, tentu tergantung dari keinginan bersama masyarakat di tanah Pasemah itu sendiri.

Sebab, sebagai kelompok masyarakat yang mendapat gelar kehormatan “Penjaga Perbatasan”, idealnya memang harus mampu bangkit karena mereka memiliki rasa patriotisme tinggi. Sikap mental seperti itu memang sudah terbukti dan teruji dari dulu. Hanya saja, tenggelam dengan nostalgia masa lalu, jelas bukan sebuah jawaban yang tepat….

Ahmad Zulkani