Jumat, 21 November 2008

Gayo Lues, Mencari Celah di Balik Hutan Lindung

TEPAT 10 April 2002, setelah menunggu sekian lama, akhirnya Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2002 "mengukuhkan" Gayo Lues sebagai sebuah daerah otonom baru di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kabupaten yang beribu kota di Blangkejeren ini lahir dari induknya, Kabupaten Aceh Tenggara.

Dari segi potensi wilayah, Gayo Lues memang cukup luas, yakni mencapai sekitar 571.967 hektar atau sekitar 57,48 persen dari luas Aceh Tenggara sebelum dimekarkan. Hanya saja di balik potensi daerah yang begitu luas tersebut Gayo Lues justru hampir-hampir tidak bisa bertindak luwes karena banyaknya tantangan. Ini terutama kalau dikaitkan dengan berbagai isu global, seperti persoalan lingkungan dan kelestarian alam.

"Kondisi alam Gayo Lues penuh tantangan dan sangat dilematis. Dari total luas wilayah Gayo Lues 571.967 hektar itu, sebagian besar, yakni sekitar 441.935 hektar atau 77,27 persen, merupakan kawasan lindung yang sama sekali tidak bisa diutak-atik," ungkap Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Gayo Lues Abubakar Karim.

Barangkali karena berpagar hutan lindung itulah sehingga dirasakan berdampak serius terhadap upaya penggalian potensi alam daerah ini secara maksimal. Keinginan Gayo Lues untuk membangun kewilayahan secara total memang tampak menjadi kurang luwes karena terbatasnya lahan yang bisa dieksploitasi tersebut.

Bupati Gayo Lues Muhammad Alikhasim mengakui, dari total luas daerah ini hanya sekitar 22,73 persen saja yang merupakan kawasan budidaya. Sisanya jangan dijamah karena merupakan kawasan lindung yang kalau tidak dijaga bisa menyulut kemarahan dunia.

Kenyataan itu memang tidak bisa diingkari karena di sekitar daerah Gayo Lues terbentang paru-paru dunia bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Bahkan, berdasarkan penelitian terungkap sebagian besar atau sekitar 60 persen kawasan Kabupaten Gayo Lues ternyata berada dalam bagian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan TNGL itu sendiri.

"Kendati daerah ini dikungkung hutan lindung, Gayo Lues ingin bangkit menjadi daerah yang berkembang dinamis di tenggara NAD. Karena itulah sesuai kebijakan umum daerah kami akan mencari celah di balik hutan lindung," kata Alikhasim.

Salah satu upaya yang menjadi prioritas, kata Bupati, adalah memberdayakan ekonomi petani di pedesaan. Sebab, 90 persen lebih dari sekitar 63.000 jiwa penduduk Gayo Lues sudah sejak lama teruji sebagai petani, khususnya nilam dan serai wangi. Jadi, keterbatasan lahan budidaya akan diimbangi dengan optimalisasi lahan dan peningkatan produktivitas masyarakat Gayo Lues.

MASALAH keterbatasan lahan budidaya tampaknya memang menjadi salah satu persoalan krusial Gayo Lues sebagai sebuah kabupaten yang baru menapak usia dua tahun. Hanya saja memang bukanlah satu-satunya kondisi dilematis yang mesti disiasati Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gayo Lues. Sebab, masih ada hambatan lain yang dirasakan sebagai kendala dalam membangun dan menggerakkan ekonomi daerah itu.

Persoalan itu, seperti diakui Bupati Alikhasim, adalah terbatasnya aksesibilitas jalan ke pedesaan yang menjadi sentra produksi pertanian selama ini. Selain itu, jalur transportasi juga belum mulus ke pusat-pusat pemasaran, misalnya ke kawasan pantai timur seperti ke Sumatera Utara, Langsa, dan Aceh Timur.

Terbatasnya aksesibilitas jalur transportasi dari Gayo Lues ke luar membuat nilai jual produksi pertanian daerah ini sangat rendah. Ini jelas menjadi masalah serius, terutama dikaitkan dengan peningkatan pendapatan para petani setempat.
Contoh konkret betapa kesulitan transportasi sangat menyiksa dapat dibuktikan dengan penuturan Siti Aisyah (35) dan Aman Darussalam (55). Dua warga Kampung Gajah ini mengakui, jalan ke kampung tersebut hanya bisa ditempuh dengan mobil bergardan ganda sejenis hardtop. Sebab, jalannya masih berupa jalan tanah yang ketika hujan berubah jadi lumpur pekat seperti kubangan kerbau.

"Karena transportasi terbatas, ongkos angkut pun melambung. Bayangkan saja, untuk Blangkejeren-Kampung Gajah yang jaraknya cuma 20-an kilometer, kami terpaksa membayar ongkos Rp 15.000 per orang. Belum lagi kalau membawa satu kardus mi instan, juga harus membayar Rp 3.000 per kardus," kata Aisyah dan Darussalam.

Padahal, harga satu kilogram minyak serai wangi di pasar Blangkejeren hanya Rp 30.000 hingga Rp 32.000 per kilogram. "Jika kami ke pasar membawa dua kilogram minyak serai wangi, yang didapat letihnya saja. Sebab, semua uang habis untuk ongkos pergi pulang. Untuk menghemat, kami sering kali memilih jalan kaki saja ke pasar," ujarnya.

PERSOALAN ini jelas sukar diatasi dalam jangka pendek. Sebab, untuk membangun akses jalan ke kantong-kantong produksi pertanian di Gayo Lues selalu terbentur hutan lindung. "Masyarakat Gayo Lues sebetulnya amat berharap proyek jalan Ladia Galaska (Lautan Hindia, Gayo, Alas, dan Selatan Malaka)-poros jalan yang menghubungkan pantai barat dan timur NAD-bisa mulus. Karena hanya dengan cara itu ekonomi warga meningkat. Hanya saja, obsesi warga ini tenggelam oleh isu global ancaman kerusakan TNGL," ujar Alikhasim.

Apa pun persoalan yang dihadapi, Gayo Lues, seperti ditegaskan Alikhasim, sudah bertekad untuk menjadi salah satu daerah otonom yang dinamis. Justru itu, jajaran pemerintah kabupaten berupaya mencari celah di balik hutan lindung, khususnya Taman Nasional Gunung Leuser dan Kawasan Ekosistem Leuser. Apakah celah itu ada? Jawabannya tentu hanya Pemkab Gayo Lues dan penduduk di sana yang paling tahu. (Ahmad Zulkani)

Tidak ada komentar: