Kamis, 12 Februari 2009

Ke Bangko, Mampirlah di Restoran Kereta Api Koim




 ANDA suka berwisata dan bertualang kuliner? Mungkin tidak ada salahnya, datanglah ke kota Bangko, ibu kota Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Di kota kecil yang terletak di pinggir jalan nasional lintas tengah (Jalinteng) Sumatera, sekitar 300 km barat Kota Jambi ini, ada sebuah restoran unik. Namanya, restoran Kereta Api Koim. Petualang wisata kuliner, akan terkagum-kagum dengan suasana yang kami suguhkan,” kata A Rohim, pemilik restoran itu dengan nada promosi.

 Apanya yang unik di restoran ini? Barangkali belum banyak yang tahu. Sesuai namanya, restoran Kereta Api Koim ini memang dirancang persis layaknya sebuah tempat makan di sebuah stasiun kereta api. 

 Ada “loko uap” tua, seperti lokomotif uap era abad ke 18 yang bertengger di rel sepanjang sekitar 50 meter. Satu rangkaian dengan loko ini, ada dua “kereta restorasi” yang di dalamnya ditata meja makan pesis di restorasi kereta api. Uniknya lagi, ruang masinis kereta ini memang bukan tempat duduk masinis, tetapi disulap menjadi ruang kasir. Di sisi rangkaian “kereta” ini, di bawah bangunan tertutup layaknya sebuah stasiun kereta api, juga ada deretan meja makan.

 Nama restoran Kereta Api Koim, seperti diakui A Rohim sang pemilik, diambil dari nama panggilannya sehari-hari. Koim mengakui, keunikan restoran ini sebetulnya hanya sebuah rekayasa saja. Loko uap tua ini dibuat mirip asli, begitu pula kereta restorasi yang dibuat khusus seperti sungguhan.

 Menurut Koim, pengunjung restoran Kereta Api ini dipersilahkan mau makan di restorasi, di pelataran stasiun atau mau santai di luar peron stasiun yang suasananya cukup nyaman. Apalagi di depan mata sembari menikmati makanan dan minuman, dengan panorama alam aliran dua sungai besar yakni Muara Mesumai dan Sungai Merangin. Dari restoran, juga bisa dinikmati pemandangan dua jembatan gantung yang membentang Muara Mesumai dan Sungai Merangin.

Paling tidak, suasana yang disuguhkan restoran Kereta Api Koim ini akan membuat anda sedikit santai melepas kepenatan, setelah mengemudi jarak jauh misalnya dari Jakarta, Lampung atau pun dari Padang, Medan dan kota lain. Letak restoran ini cukup strategis di kawasan Ujung Tanjung, persis di pinggiran pertemuan dua sungai, yaitu Muara Mesumai dan Sungai Merangin. Posisi restoran hanya sekitar 300 meter di sisi barat jalinteng yang membelah kota Bangko. Restoran ini dibuka mulai pukul 07.00 pagi hingga pukul 23.00 malam. 

Menu restoran Kereta Api Koim ini, sangat beragam. Mulai dari hidangan khas Jambi dan Palembang seperti sambal tempoyak, pempek, pindang patin dan belida. Juga ada menu umum lain seperti nasi goreng, makanan laut misalnya cumi, udang lobster, kerang yang bisa disuguhkan sesuai pesanan. Ada pula berbagai masakan ikan mulai bakar laut, ikan sungai dan ikan budi daya lainnya. 

“Ada 28 jenis makanan dan 32 jenis minuman yang kita siapkan setiap hari. Semuanya tergantung pesanan karena, juru masak restoran Kereta Api sudah cukup berpengalaman,” tutur Koim yang mengaku semua masakan di restoran khas itu ia awasi langsung bersama Dian Fitriana, isterinya.

“Agar menu tidak monoton supaya ada variasi, saya selalu mengunjungi tempat-tempat makan dan restoran yang ramai pengunjung. Petualangan mencari menu baru ini kerap kali saya lakukan ke Jambi, Palembang dan kota-kota lain. Saya sangat memahami, pengunjung ke sini pasti mereka yang sudah pengalaman jajan dan makan di mana-mana. Oleh karena itu, menunya sedapat mungkin komplit,” katanya menambahkan.

Koim mengakui, harga makanan dan minuman di restoran Kereta Api ini dijamin terjangkau siapa saja. Mulai dari anak sekolah, sopir, sampai para pegawai dan orang-orang yang terbiasa makan di tempat mahal. Harga makanan bervariasi, mulai dari Rp 5.000 sampai Rp 20.000 per porsi tergantung jenis pesanan. Nasi goreng, kata dia hanya Rp 5.000 per porsi. Padahal, di kaki lima yang dijual pedagang keliling dengan gerobak di Bangko, satu porsi nasi goreng sekarang malah Rp 7.000. 

Pedagang gerobak keliling

 Terjun mengelola restoran, Koim mengaku hanya terbawa nasib baik saja. Awalnya, lelaki kelahiran Palembang 17 November 1965 itu sudah malang melintang bekerja di mana-mana. Setelah jadi sopir truk pengangkut bahan baku sepatu di Cibinong tahun 1990 selama dua tahun, Koim sempat menganggur beberapa lama. Ia bahkan, terpaksa menumpang hidup dengan kakaknya di Bangko yang kebetulan membuka sebuah warung menjual makanan khas Palembang.

 Ayah tiga putera ini mengaku, selama membantu kakaknya jualan ia kerap “mencuri-curi” lihat cara membuat pempek, tek wan, model, memasak pindang dan lain-lain. Dari mengintip cara memasak pempek itulah, ia coba-coba membuat sendiri dengan modal seadanya. Menanggur dan menumpang lama-lama, tentu tidaklah enak. Apalagi, Koim sudah punya tanggungan isteri dan anak-anak. 

“Setelah mendapat bantuan modal, saya pun nekad jualan pempek kaki lima dengan gerobak keliling persis di pinggir jalan lintas sumatera di kota Bangko. Mungkin karena nasib baik, pempeknya lumayan laku. Kerja sebagai pedagang gerobak ini saya lakoni bersama isteri dan anak-anak. Saya bukanlah type orang bak pepatah lupa kacang dengan kulitnya. Basis saya adalah pedagang kaki lima. Karena itu walaupun saya kini sudah dianggap orang Bangko pengusaha restoran, saya masih tetap mengelola gerobak pempek di kaki lima. Tetapi, sekarang menjalankan sehari-hari anak buah,” ujarnya.

Koim pun mengakui, bahwa ia tidak bisa melupakan jasa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Merangin yang memberi peluang untuk maju seperti sekarang. Sebab, kata dia, restoran Kereta Api di Ujung Tanjung yang dikelola saat ini, sebetulnya dibuat pemkab setempat. Hanya saja, “Kereta Api” tua ini sempat beberapa tahun menganggur, ditelantarkan karena waktu itu pengunjungnya sepi. 

Pada bulan Mei 2004, ia ditawari Pemkab Merangin mengelola restoran itu dan Koim pun lantas mengganti nama dengan restoran Kereta Api Koim. Tahun-tahun pertama, ia mengaku hampir saja frustasi karena restoran tetap sepi pengunjung. Waktu itu, yang datang hanya satu-dua orang, itu pun tidak tiap hari. 

Kata Koim, ternyata memang ada yang salah. Rupanya, menu yang dibuat dengan istilah keren bahasa asing membuat image mewah, sehingga masyarakat takut mampir ke sini. “Logikanya sederhana sekali. Saya ganti semua nama menu, tidak ada lagi istilah sea food, burger, juice. Yang ada, udang goreng, cumi goreng tepung, tempoyak, nasi goreng, kerang rebus, pindang, roti bakar, jeruk peras. Ternyata kiat itu mengena, buktinya sekarang restoran Kereta Api dikunjungi semua kalangan mulai anak sekolah, sopir, hingga pejabat dan pengusaha”.

Ditanya omsetnya dalam sehari, Koim hanya diam. Sambil menghela nafas, ia hanya menjawab: “pokoknya saya sekarang bisa makan dan hidup dengan isteri dan anak-anak,” ujarnya.

Dianggap warga Bangko ia salah satu pengelola restoran yang sukses, ternyata tidak mengubah penampilan keseharian Koim. Ia tetap bersandal karet, dengan baju kaus sederhana dan naik motor ke mana-mana. “Saya ini bukan pengusaha restoran, tetapi masih pedagang kaki lima dengan gerobak keliling,” kata Koim. Padahal, untuk mengelola restoran Kereta Api Koim ini, ia sudah mempekerjakan 15 karyawan tetap.

Anda mau menikmati makan di atas kereta dengan loko uap tua? Tentu restoran Kereta Api Koim di Ujung Tanjung, Muara Mesumai, Bangko tempatnya… (AHMAD ZULKANI) 

Tidak ada komentar: