Kamis, 12 Februari 2009

Guru Honor di Merangin: Rela Digaji 3 Keping Kerupuk




 JIKA ditelusuri lebih jauh persoalan pendidikan di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, barangkali yang ke luar sebagian hanya potret buram. Ada dua persoalan krusial yang pantas diungkap permukaan. Yakni kehidupan para guru honorer dan hancurnya sarana dan prasarana pendidikan khususnya di tingkat Sekolah Dasar (SD) di Merangin. Dua-duanya sungguh memilukan.

 “Saya sudah dua tahun lebih mengabdi sebagai guru honor Ah... saya malu menceritakan berapa besar honor yang diterima karena kalau diukur dari kebutuhan, jelas sangat tidak pantas. Tetapi, bagaimana lagi karena mengajar sudah saya pilih sebagai jalan hidup,” kata Siti, guru honorer di SD Negeri 278 Bangko Tinggi, persis di kota Bangko ibu kota Kabupaten Merangin.

 Berapa honor yang diterima Siti sebulan, sampai ia malu mengungkapkannya? Ternyata wanita lulusan D.2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Jambi, hanya menerima honor dari Komite Sekolah sebesar Rp 100.000 per bulan. Jika dibagi per hari, honor sebanyak itu barangkali hanya cukup untuk membeli tiga keping kerupuk udang. 

Padahal, kehidupan sebagai guru honor sudah dilakoni Siti selama dua tahun. Parahnya lagi, wanita lajang ini mengaku mengajar selama 24 jam sehari. “Kalau dianggap tidak pantas, ya itu terserah penilaian orang luar saja. Yang jelas, saya sudah mengajar dua tahun lebih dan gaji yang saya terima hanya segitu,” ujar Siti.

Lihat pula kehidupan Yadi, seorang guru honor di Desa Ujung Bumi, Kecamatan Sei Manau, sebuah daerah pedalaman di Merangin. Sama dengan Siti, juga menerima honor komite sebesar Rp 100.000 sebulan. Untuk menyambung hidup dan menambah penghasilan, Yadi tiap pagi buta sebelum mengajar di SD terpaksa menyadap karet. Beruntung, ia kebagian jatah satu kaplingan kebun karet dari orang tuanya.

“Dengan harga karet mentah sebesar Rp 8.000 per kilogram, hidup saya sedikit bisa lebih nyaman. Saya bisa jual karet ke pedagang pengumpul sekitar 30 kg per minggu. Paling tidak dari menyadap karet ini penghasilan bersih sebagai tambahan rata-rata Rp 200.000 per minggu. Honor komite itu hanya sekedar untuk pemacu semangat saja karena, ada penghasilan tetap yang saya harap dan tunggu tiap awal bulan,” kata Yadi. 

Bagi yang kurang perduli pendidikan, nasib seperti yang dialami Siti dan Yadi, mungkin hanya dianggap lumrah. Paling tidak hanya akan ke luar komentar; “salah sendiri, ngapaian mau mengajar”. Akan tetapi itu barangkali sangat tepat untuk menggambarkan betapa persoalan pendidikan di Kabupaten Merangin dan juga sebagian besar daerah pedalaman di Indonesia, sangat-amat memprihatinkan.

Guru-guru, terutama yang masih honor dan golongan rendah yang sangat dibebani tugas untuk mencerdaskan putera-puteri kita, ternyata masih dibelit persoalan krusial. Yakni, menerima imbalan sangat tidak layak. Padahal, di satu sisi para orang tua siswa selalu menuntut lebih. Jika siswa tinggal kelas atau tidak lulus ujian nasional (UN), gurulah yang disalahkan. Memang sangat tidak manusiawi, jika dikaitkan dengan imbalan yang diterima para guru.

Tetapi, itulah sebuah fakta nyata dunia pendidikan di Merangin. Dalam kasus Siti misalnya, wanita ini saban pagi terpaksa harus naik ojek sekolah dengan sewa Rp 3.000 sekali jalan. Untuk transportasi pulang mengajar, ia masih sedikit lega karena biasanya ada guru lain yang mau membonceng. Namun, kalau sehari Siti harus naik ojek sekali, berarti ia harus mengeluarkan ongkos ojek paling sedikit Rp 75.000 sebulan. Artinya, honor komite yang diterimanya hanya tersisa Rp 25.000, itu pun dengan perhitungan ia harus “puasa” tidak jajan dan makan siang, kendati harus mengajar sampai pukul 13.30 tiap hari.

Jika dihitung benar-benar, kata para guru, para guru honor di Merangin mungkin lebih banyak nombok ke sekolah. Karena agar bisa mengajar tepat waktu selama enam hari seminggu, mereka harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri untuk transportasi. Sebab, rata-rata sekolah tempat mengajar jauh dari tempat tinggal. 

“Barangkali, sangat masuk akal kalau beberapa waktu lalu kami guru-guru di Merangin memprotes anggaran pendidikan ke DPRD. Sudah seyogianya para wakil rakyat sedikit menolah ke dunia pendidikan karena, memang banyak hal yang perlu mendapat alokasi anggaran memadai. Jika anggaran pendidikan dinaikkan, kami beraharap agar DPRD dan Pemerintah Kabupaten Merangin mau mengalokasikan anggaran untuk menambah honor para guru honorer di daerah ini,” kata Siti.  

Data Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kabupaten Merangin, pada saat ini jumlah guru honor di daerah ini tercatat 809 orang. Mereka adalah para guru honor yang dibiayai komite dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Padahal, selain guru honor komite, di Merangin juga masih banyak guru honor yang dibiayai sendiri dengan iuran orang tua murid. 

Agar beban para orang tua lebih ringan, sepantasnya ada insentif untuk tambahan honor dari Pemkab Merangin. Akan tetapi, dalam praktik keuangan daerah pemkab tidak bisa mengucurkan begitu saja untuk honor para guru. Sebab, pihak DPRD lah yang dari awal bisa mengetok palu untuk pengalokasian anggaran insentif para guru tersebut.

“Guru honor yang digaji swadaya oleh orang tua di Merangin masih banyak. Jumlah mereka mungkin mencapai ratusan orang,” kata Muslim, pejabat yang menangani bidang kepegawaian di Dinas Diknas Merangin.

Sekolah rusak

 Tidak hanya persoalan guru honorer yang dibelit honor rendah, problem pendidikan di Merangin juga menyangkut rusaknya sarana dan prasarana khususnya di tingkat SD. Gedung SD yang sebagian merupakan SD Inpres itu, nyaris tidak tersentuh perbaikan sejak era tahun 1980-an. Akibatnya, banyak ruang kelas SD yang tidak layak pakai, atap dan plafond bocor, dinding rubuh, lantai semen yang sudah berubah lantai tanah, sehingga mirip kandang sapi.

 Tengoklah ruang kelas SD Negeri 278 di kota Bangko. Menurut Harun, Kepala SD setempat, semua atap dan plafond kelas bocor sehingga waktu hujan air mengucur ke ruang kelas. Jendela nako sekolah itu, kini hanya menyisakan rangka besi yang sudah karatan. “Kalau hujan deras, murid-murid terpaksa menyeret bangku ke sudut kelas yang masih kering. Jika genangan air sudah parah, pilihannya terpaksa belajar ditunda atau diliburkan,” katanya.

 Beruntung, kata Harun, tahun 2008 ini Pemkab Merangin mengalokasikan dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 250 juta. Ironisnya, DAK ini yang dialokasikan untuk rehabilitasi fisik bangunan sekolah hanya Rp 110 juta. Sisanya, untuk mebel, perbaikan WC dan dana operasional. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena, alokasi DAK sepenuhnya wewenang kabupaten. Sekolah hanya menerima kendati alokasinya kurang tepat sasaran,” kata Harun.

 Jika ditelusuri sebagian besar ruang kelas SD di Merangin, yang muncul ke permukaan tentu kondisi memprihatinkan. Sebab, SD Negeri 278 yang berada di ibu kota kabupaten dan hanya beberapa ratus meter di belakang Kantor Bupati, Kantor DPRD dan Kantor Dinas Diknas setempat saja sudah begitu parah. Apalagi, SD-SD di pedalaman Merangin yang jauh dari “mata” para pejabat kabupaten setempat.  

 “Gedung dan ruang kelas SMP, SMA dan SMK di Merangin, mungkin jauh lebih baik. Sebab, hampir tiap tahun mendapat alokasi anggaran perbaikan yang lumayan. Tetapi, khusus SD memang sebagiann besar belum tersentuh,” kata M Saman, Kepala Sub Dinas Pendidikan Menengah, Dinas Diknas Merangin.

 Kalau dibedah lebih dalam, persoalan pendidikan di Merangin memang seperti mengurai benang kusut. Lalu kapan kusut dunia pendidikan Merangin ini bisa diselesaikan? Aksi protes, unjuk rasa dan aksi mogok mengajar sekitar 6.200 guru di Merangin mungkin cukup tepat untuk menjawab potret buram pendidikan di daerah itu. (AHMAD ZULKANI)

Tidak ada komentar: