Jumat, 30 Januari 2009

LEBIH SETAHUN DI TENDA BERSAMA TEROR TSUNAMI




NYONYA MARDUANI (38), dengan penuh kasih sayang tampak terus saja menggerakkan ayunan bayi yang terbuat dari selembar kain jarit. Bayi perempuan yang baru berusia sebulan dan belum punya nama itu, terlihat tertidur pulas.
Panas terik dan sumpek di dapur sempit tempat ayunan bayi tradisional lazimnya yang dibuat keluarga di kampung-kampung itu, makin terasa sesak karena dinding dan atap rumah warga Desa Pauh Terenja, Kabupaten Mukomuko itu, terbuat dari seng bekas. Sesekali, Marduani tampak mengipas bayi mungilnya yang masih merah dan mulai berkeringat. Seolah tidak perduli dengan lingkungan yang sumpek panas itu, si bayi tetap tak bergerak, tidur dengan nyenyak.
Desa Pauh Terenja, Kabupaten Mukomuko, terletak sekitar 265 km utara Kota Bengkulu, ibukota Provinsi Bengkulu. Desa ini bersama puluhan desa lain di Mukomuko, dikategorikan paling parah terkena dampak gempa tektonik akhir-akhir ini, termasuk gempa berkekuatan 7,3 SR pada tahun 2007. Ratusan rumah warga dan fasilitas publik seperti gedung sekolah di Desa Pauh Terenja dikategorikan rusak berat dan hancur pascagempa.
“Sudah lebih setahun saya, suami dan empat anak hidup di bedengan ini. Bayi perempuan saya ini pun lahir di lantai tanah beralaskan selembar plastik di bedengan ini. Kalau kami punya uang, mungkin sudah lama bisa mendirikan rumah kembali walaupun hanya rumah kayu. Tetapi karena tidak punya apa-apa dan hanya mengandalkan hidup dari panen jagung dan buruh tani, kami terpaksa menikmati saja walaupun sudah sangat tersiksa,” tutur Marduani dengan nada terbata-bata.
Ia mengakui, selama menunggu panen jagung, suaminya kini terpaksa memburuh di kebun orang. Kalau beruntung dapat kerjaan, suaminya bisa membawa pulang upah paling banter Rp 15.000 sehari. “Inilah penyambung hidup sekeluarga, sejak gempa merubuhkan rumah semi permanent milik kami pada 12 September 2007. Dua bulan pertama pascagempa tahun lalu, kami memang sempat menerima bantuan bahan makanan, beras 20 kg dan jatah hidup sebanyak Rp 400.000. Kini, setelah lebih setahun rasanya hidup ini semakin kabur. Esok pagi, entah makan apa anak-anak saya lagi,” kata Marduani, sembari menatap bayinya yang lelap di ayunan kain jarit.
Marduani memang tidak sendirian. Di deretan rumahnya di Desa Pauh Terenja, sekitar 3 km dari Kantor Bupati Mukomuko, juga ada Basril (48), Dasminah (50), dan puluhan warga lain yang mengalami nasib sama. Hidup di bawah tenda plastic, di bedeng sumpek berdinding terpal bekas yang bolong-bolong dengan semburan angin pantai yang menusuk tulang di malam hari berbulan-bulan, sepertinya sudah menjadi santapan sehari-hari sejak gempa meluluh luntakkan ribuan rumah warga Mukomuko.
Bahkan, jika merujuk data posko Satuan pelaksana (Satlak) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Kabupaten Mukomuko, tercatat 1.430 unit rumah warga yang rusak berat – sebagian besar dalam kondisi roboh rata tanah – akibat guncangan gempa tahun 2007. Itu artinya, ada sekitar 1.430 keluarga pula yang kini hidup sebagai pengungsi di puing-puing reruntuhan rumah sendiri walaupun pascagempa sudah berlalu lebih setahun.
Menurut Basril, derita warga memang tidak pernah hilang. Bayangkan saja, kendati sudah hampir menginjak dua tahun sampai sekarang derita, trauma dan ketakutan warga setempat masih saja sulit dienyahkan. Harap maklum, gempa bumi memang selalu menggoyang tanah dan daratan Mukomuko seolah tanpa henti.
Karena itu, warga Mukomuko terutama mereka yang bermukim di bibir pantai selalu hidup di tenda bersama teror gempa dan tsunami. Hidup di daerah bencana, seperti memang sebuahg nasib yang terlalu sulit dielakkan. Walaupun demikian, beruntung mereka tinggal di bawah tenda plastic, sehingga tidak ada reruntuhan bangunan baru yang menimpa.
“Hidup di bawah terpal plastik ketika musim gempa yang terus mengguncang bumi Mukomuko seperti sekarang, ternyata ada hikmahnya. Saya sekeluarga tidak perlu lagi lari ke luar karena, tidak bakal ada yang roboh. Buktinya ketika gempa mengguncang dua hari lalu, kami tenang-tenang saja di sini,” kata Basril.
Kondisi yang juga teramat menyiksa pun dialami Dasminah. Pasangan petani ini mengakui, rumah semi permanen dengan tiga kamar miliknya, memang sudah rata tanah karena diguncang gempa tahun lalu. “Semuanya rata dan lenyap seketika. Yang tersisa itu hanya sebuah wc dan sumur di bagian belakang,” ujarnya menambahkan.
Dia pun mengakui, sekarang jangankan untuk membangun kembali pengganti rumah yang roboh, untuk makan saja harus ngutang dulu sambil menunggu panen jagung. Tidak itu saja, agar anak-anaknya tidak sakit Dasminah sudah enam bulan ini terpaksa menitip tidur di rumah tetangga.
“Kalau kami ya, harus bisa menikmati hidup di bawah terpal ini berbulan-bulan karena kalau ikut menumpang di rumah tetangga sudah pasti memberatkan. Namun kalau hujan deras karena atap plastic bocor, dengan berat hari kami pun ikut mengungsi tidur di rumah sebelah yang masih utuh,” kata Dasminah.
Menunggu janji pemerintah
TETAPI, betahkah Basril, Dasminah, Marduani dan ribuan korban gempa di Mukomuko untuk terus bertahan di bawah terpal plastic dan bangunan darurat? Kalau dibilang tidak betah, buktinya mereka ternyata masih bertahan di situ sampai sekarang. Tetapi, setelah ditelusuri persoalannya bukan karena kerasan, namun semata-mata akibat keterpaksaan. Mereka memang tidak punya uang lebih dan kemampuan untuk membangun kembali rumah mereka karena, sebagian besar warga yang jadi korban gempa di Mukomuko adalah keluarga miskin yang selama ini hidup pas-pasan.
Oleh karena itulah, ketika gempa masih terus mengguncang Mukomuko, satu-satunya harapan warga adalah dikucurkannya segera dana perbaikan dan pembangunan kembali (dana recovery) seperti yang dijanjikan pemerintah pusat sejak pascagempa. Dana itu besarnya bervariasi, mulai dari Rp 5 juta untuk yang rusak ringan hingga Rp 15 juta bagi bangunan yang roboh.
“Nasib kami sekarang mungkin mirip pungguk merindukan bulan. Entah kapan dana bantuan yang dijanjikan pemerintah itu cair. Padahal, sudah sejak lama warga korban gempa disuruh membuka rekening di bank. Kami tidak habis pikir, koq tega-teganya mengumbar janji dan kemudian malah membiarkan rakyat hidup menderita di bawah-bawah tenda plastic yang sudah bocor,” tutur Basril.
Menurut Basril dan Dasminah, seandainya warga mampu dan punya uang untuk mendirikan rumah yang roboh, sudah pasti mereka tidak akan mengemis seperti sekarang. “Dan lagi, yang kami tagih itu sesuatu yang pernah dijanjikan. Barangkali, jika dana perbaikan dikucurkan mungkin trauma gempa dan tsunami sedikit demi sedikit akan hilang dari ingatan. Tidak seperti sekarang, mimpi buruk itu masih terlihat di depan mata karena puing reruntuhan rumah masih bertebaran. Dalam situasi seperti itu, gempa pun kini terus mengguncang bertubi-tubi,” ujarnya.
Bupati Mukomuko Ichwan Yunus yang ditemui di Mukomuko beberapa waktu lalu, menyatakan, Satlak PBP daerah ini memang telah menerima kucuran dana perbaikan rumah warga sebesar Rp 21,7 miliar. Bantuan tahap pertama untuk pembangunan kembali rumah para korban gempa itu memang terlambat sampai di kabupaten karena, sempat mengendap beberapa lama di Pemprov Bengkulu.
“Secepatnya, bantuan pusat itu akan segera dibagikan. Apalagi, para korban gempa yang berhak semuanya memang sudah memiliki rekening di bank,” katanya.
Ketika setiap kali bencana terjadi di Tanah Air kita, termasuk pascagempa di Mukomuko, soal bantuan memang selalu menuai masalah. Padahal, itu semua sebetulnya terkait erat dengan rasa, empati dan nurani. Bagaimana pun juga, kucuran bantuan kemanusiaan tersebut paling tidak bisa sedikit mengobati trauma warga Mukomuko yang hingga masih saja dihantui teror gempa dan tsunami.
AHMAD ZULKANI

Tidak ada komentar: