Kamis, 29 Januari 2009

Bengkulu Ternyata Masih 'Tidur Nyenyak'

BAGAIMANA kondisi Provinsi Bengkulu setelah lebih setengah abad Merdeka? Benarkah provinsi yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera itu masih 'tidur nyenyak', ketika provinsi lain di Tanah Air menggeliat maju?

Jawabannya, bisa ya dan juga bisa tidak, tergantung dari kaca mata mana melihat. Kalau tidak percaya, tengok dan datanglah langsung ke Provinsi Bengkulu. Dari segi pembangunan fisik dan ekonomi, Bengkulu memang masih tidur lelap.

Lihatlah Kota Bengkulu, sebagai ibu kota Provinsi Bengkulu dan juga sebagai sebuah etalase terdepan provinsi di pesisir barat Sumatera itu. Dari dulu, deretan pertokoan yang berkembang dan masih bertahan hanya ada di kawasan Jalan Soeprapto. Memang beberapa pertokoan baru, tampak muncul di kawasan Panorama, Lingkar Barat, Pagar Dewa dan Rawa Makmur. Tetapi, kendati sudah tuntas dibangun sejak bertahun-tahun pertokoan ini justru banyak yang kosong. Tidak ada pelaku bisnis, usaha dan perdagangan yang melirik untuk memanfaatkan.

Kondisi Bengkulu sejak berakhirnya era kepemimpinan Gubernur Bengkulu Soeprapto, wong jowo yang dianggap sebagai gubernur fenomenal karena mampu mengangkat eksistensi keterpurukan Bengkulu pada tahun 1980-an, sampai sekarang tampak tidak banyak berubah. Sejak setahun belakangan di Kota Bengkulu memang muncul dua mall sebagai perlambang kota moderen, namun itu ternyata tetap tidak bisa membuat perekonomian dan kemajuan Bengkulu menggeliat dinamis.

Lalu apakah ada yang salah di Bengkulu?Jika ditelusuri sejarah masa lalu Bengkulu, sebetulnya siapa pun warga daerah ini tidak perlu berkecil hati. Sejarah memang sulit diingkari. Buktinya, dari dulu pun Bengkulu sudah terang-terangan sengaja diabaikan oleh penguasa. Aba-aba betapa Bengkulu sengaja ditinggalkan memang sudah tersirat sejak Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles yang bercokol di Bengkulu antara tahun 1818-1824 hengkang dari sini, menukarkan daerah penghasil kopi dan lada tersebut dengan Malaka.

Tidak jelas betul alasannya, apakah karena kurang potensial atau membaca isyarat Bengkulu memang tidak memiliki prospek di masa depan. Sehingga Raffles berketetapan hati dan bersedia menukar daerah ini dengan Malaka. Apa pun alasannya, fakta sejarah secara tegas mengungkapkan bahwa berdasarkan Traktat London (1824), Bengkulu akhirnya diserahkan kolonial Inggris kepada Belanda. Sebagai gantinya, Inggris mendapat wilayah jajahan baru yakni kawasan semenanjung Malaka, antara lain Singapura sekarang.

Apakah sejarah masa lalu itu terus terulang dan Bengkulu tetap dikucilkan? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak pula. Hanya saja dari segi "kepedulian" pemerintah pusat, Bengkulu memang tetap merasa ditinggalkan. Akan tetapi, di era otonomi ini ketergantungan yang berlebihan kepada Jakarta jelas adalah kebijakan yang tidak bisa dibenarkan. Karenanya, Bengkulu harus mampu berdiri dan membangun dengan potensi yang ada dalam dirinya sendiri.

Kalau ditelusuri lebih cermat lagi, sebetulnya Bengkulu sama sekali tidak ditinggalkan Jakarta. Buktinya, meski minim Sumber Daya Alam (SDA) Provinsi Bengkulu tetap kebagian Dana Alokasi Umum (DAU) mencapai sekitar Rp 300 milyar lebih atau sekitar tiga Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya yang hanya sekitar Rp 100 milyar pertahun.

Jumlah DAU yang diperoleh Bengkulu tersebut belum termasuk DAU yang diterima kabupaten dan satu kota yang kalau ditotal justru bernilai . Dalam hal perolehan DAU dan juga hasil perimbangan keuangan pusat dan daerah, Bengkulu memang tidak selayaknya membandingkan dengan Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan atau Aceh yang memang kaya. Namun, kalkulasi angka-angka tersebut jelas sangat fantastis bagi daerah yang nyaris nol kontribusinya di sektor minyak dan gas serta bahan tambang lain.

Sektor pertanian memang tulang-punggung perekonomian Bengkulu. Sebagai basis, sektor ini memiliki kontribusi paling besar dalam pertumbuhan ekonomi. Tahun 1999 misalnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bengkulu mencapai Rp 3,94 trilyun, sedangkan pendapatan bruto per kapita tahun yang sama Rp 2,5 juta. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB ini paling tinggi mencapai 30,69 persen. Sedangkan sektor lain jauh di bawah itu seperti jasa-jasa (18,48 persen), perdagangan, hotel dan restoran (16,77 persen) dan angkutan dan komunikasi (16,54 persen).

Pembangunan pertanian Bengkulu, jangan terlalu berorientasi pada pertanian skala besar yang membutuhkan lahan luas. Sebab, ketersediaan lahan yang terbatas justru bakal menimbulkan persoalan baru. Misalnya, konflik pertanahan dan juga terjadinya benturan peruntukkan lahan. Jika itu tidak dicermati, sudah jelas akan memunculkan persoalan baru di Bengkulu. Karena , dari 19,7 juta hektar luas lahan/hutan Bengkulu, sekitar 30 persennya merupakan kawasan nonbudidaya yakni terdiri dari kawasan konservasi dan kawasan lindung.

Luas kawasan budi daya di Bengkulu, di atas kertas memang mencapai 1,2 juta hektar. Akan tetapi itu nyaris ludes dibagi dan dikantungi para pemodal melalui legalisasi berbagai HGU (Hak Guna Usaha). "Usaha pertanian Bengkulu terkendala akibat terbatasnya lahan yang pantas dibudi daya. Sebab, jika melangkah sedikit lebih ke dalam kita justru sudah berhadapan dengan para pemegang HGU, berbagai kawasan lindung, serta dua taman na-sional yakni Kerinci Sebelat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNB BS)," ungkap Chairuddin, seorang tokoh masyarakat Bengkulu.

DARI kacamata pengamat, ekonomi Bengkulu dewasa ini merupakan ekonomi "gurem". Sebab, hampir sejak 10 tahun terakhir dirasakan sekali lambannya pertumbuhan Bengkulu. Tidak perlu diungkap angka-angka statistik tentang pertumbuhan ekonomi daerah berjuluk: Bumi Rafflesia ini.

Liriklah pembangunan fisik di Bengkulu. Selama enam tahun terakhir misalnya, cuma ada satu beberapa proyek besar yang bisa dihitung jari. Selebihnya, seperti jalan provinsi dan kabupaten rata-rata dibangun di bawah tahun 1990-an.

Siapa pun orang luar yang pernah pada tahun 1980-an ke Bengkulu pasti punya kesan sama. Pembangunan daerah ini sejak tiga dasawarsa belakangan, sama sekali tidak jelas arahnya. Jika titik beratnya pertanian, seyogianya dalam 10-15 tahun terakhir sudah terlihat hasilnya. Namun, ini justru seperti jalan di tempat. Soal sektor unggulan misalnya hingga kini pun dinilai masih mengambang, belum jelas ke mana larinya.

"Bayangkan saja, dari dulu telor, beras dan hampir semua kebutuhan pokok didatangkan dari luar Bengkulu. Barangkali yang tidak "diimpor" hanya ikan dan sayuran. Itu pun ditangkap oleh nelayan tradisional dengan peralatan seadanya. Sedangkan sayuran dari dulu sentranya tidak pernah beralih dari Curup, Rejanglebong.

Diingatkan, guna meningkatkan perekonomian Bengkulu jalan ke luar terbaik adalah menciptakan simpul-simpul ekonomi baru di pedesaan. Itu artinya yang diperkuat dan diberdayakan adalah rakyat bawah melalui sektor-sektor produktif. Misalnya, membangun berbagai industri hilir yang langsung bersentuhan dengan masyarakat setempat.

"Solusi yang tepat membangun Bengkulu, bukan penduduknya yang harus ditambah melalui transmigrasi. Akan tetapi harus memperkuat keberadaan SDM yang sudah ada sekarang. Jika jumlah penduduk banyak, tanahnya tak ada, penghasilannya juga kurang, percuma. Buat apa penduduk padat, tapi kere hanya makan pisang goreng doang," tambah Zulkifli Hosein, ekonom yang juga mantan Rektor Universitas Bengkulu.

Dari segi angka-angka statistik, di atas kertas ekonomi Bengkulu memang tumbuh melangkah ke depan. Keterpurukan justru mulai dirasakan sejak tahun 1997, ketika daerah itu diterpa kemarau panjang. Hal yang sama pun terulang, persis setelah daerah ini dihantam gempa tektonik berkekuatan 7,3 skala Richter Juni 2000, disusul gempa dahsyat berturut tahun 2007 dan 2008. Gempa beruntun ini tidak saja membuat rumah penduduk hancur dan merusak fisik daerah Bengkulu, gempa juga memporak-porandakan tatanan ekonomi masyarakat setempat.

APAKAH sebetulnya yang kini terjadi di Bengkulu? Bekas keresidenan Sumatera Selatan yang disahkan sebagai provinsi pada 18 November 1968 itu, sekarang tampaknya menghadapi persoalan serius. Tidak saja karena pembangunan di sana tanpa konsep dan arah yang jelas, Bengkulu beberapa tahun terakhir ternyata mengalami degradasi mutu SDM yang memprihatinkan.

Menurut Zulkifli Hosen, degradasi SDM ini nyaris di semua sisi. Tidak saja di sektor-sektor produksi dalam kelompok masyarakat dan petani, namun juga terjadinya degradasi pada penyelenggaraan pemerintahan. Semua ini terjadi karena kebijakan Bengkulu yang kurang bersahabat dan tidak terbuka dengan SDM-SDM yang berkualitas.

Contoh konkret berlangsungnya degradasi SDM di bidang pemerintahan yakni dengan "diusirnya" sejumlah pemikir dan konseptor ke luar daerah. Sejumlah putera daerah Bengkulu yang sempat mengenyam pendidikan dan memiliki pola pikir lebih maju, ternyata sengaja dimutasi ke luar atau sengaja diparkir tanpa jabatan. Akibatnya, jajaran pemerintahan di Bengkulu kini nyaris diisi oleh SDM yang berpikiran sempit.

"Idealnya yang harus dikembangkan adalah persaingan sehat. Yang diambil haruslah terbaik, kalau perlu "ditender". Sehingga betul-betul SDM berkualitas yang harus muncul, bukan yang baik dibuang. Selama ini orang-orang pandai di Bengkulu tak laku. Sehingga yang bagus-bagus, tamat S2 dan S3 misalnya, dibuang ke luar Bengkulu," tegas Zulkifli lagi.

Saking terabaikannya pembangunan SDM tergambar dari kecilnya minat orang Bengkulu untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S2). Di Unib, dari 65 mahasiswa yang mengambil program S2 (MM) tahun 2001, justru 90 persennya diisi oleh para pejabat dan putra terbaik dari Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Padahal, Unib ada di Bengkulu dan biaya kuliah di sini pun sangat murah.

Lalu, akankah Provinsi Bengkulu masih akan tetap 'tidur panjang' di tengah globalisasi ini? Jawabannya, tentu berpulang kepada warga, tokoh masyarakat, generasi muda, kaum intelektual dan para pengambil kebijakan di jajaran pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Bengkulu.

Ungkapan: "bre segantang, ikan sejirek..madar" - yang secara harfiah mungkin berarti: Kalau sudah punya beras seliter, ikan satu jinjing lantas tidur - untuk menggambarkan kebiasaan malas dan tidak produktif segelintir orang Bengkulu, memang sudah layaknya ditinggalkan. Bagaimana pun juga, di era globalisasi, era otonomi daerah untuk percepatan pembangunan, jelas tidak bisa dicapai hanya dengan tidur panjang setelah makan dengan ikan sejinjing...
Bengkulu, 290109
Ahmad Zulkani

Tidak ada komentar: