"SMONG..., smong..., smong," teriakan itu terdengar bersahut-sahutan di tengah kegelapan, Senin (28/3) sekitar pukul 23.10 di Pulau Simeulue. Mendengar kata "smong" itu semua penduduk Simeulue, terutama mereka yang tinggal di daratan dekat pantai, berlari ke perbukitan yang jauh dari bibir pantai.
MEREKA memang harus lari dan menghindar dari pantai sebab "smong" merupakan kata-kata "mukjizat" yang membuat warga Simeulue bisa selamat dari amukan gelombang dahsyat, tsunami, yang biasanya terjadi menyusul gempa dahsyat. Oleh karena itu, begitu gempa berkekuatan 8,7 pada skala Richter membuat tanah Pulau Simeulue terasa diayun- ayun di tengah kedalaman Samudra Hindia Senin tengah malam itu, teriakan "smong" pun bergema kembali di seantero daratan Simeulue.
Bagi warga Simeulue, teriakan "smong" tidak perlu dijawab dan juga tidak perlu diperdebatkan siapa yang berhak menyuarakannya. Namun, begitu mendengar teriakan "smong", lazimnya semua warga Simeulue seolah dikomando harus berlari ke luar rumah menuju satu titik, yakni perbukitan.Kearifan lokal yang sudah diwariskan turun-temurun oleh tetua Simeulue sejak ratusan tahun lalu itu ternyata bisa membuat warga Simeulue selamat dan terhindar dari bahaya tsunami sejak dulu sampai sekarang.
"Smong" memang menakutkan sebab bagi warga Simeulue kata itu berarti tsunami.Sejak teriakan "smong" Senin itu sampai sekarang ribuan warga Simeulue bertahan di pengungsian, yakni di kawasan di perbukitan. "Bisa dibayangkan, betapa panik dan hiruk- pikuknya warga Simeulue menjelang tengah malam itu," ungkap Bupati Simeulue Darmili yang dihubungi Kompas melalui telepon kemarin.
Bersyukur, tsunami tidak terjadi. Namun, seperti diakui Bupati Darmili, setidaknya lebih dari 20.000 warga Pulau Simeulue yang hingga tiga hari pascagempa masih terus bertahan hidup dengan bekal seadanya di berbagai lereng perbukitan.
Mengapa warga Simeulue tetap mengungsi di bukit? Menurut Darmili, ada dua alasan pokok. Pertama, umumnya ribuan warga mengungsi akibat rumah-rumah mereka tidak bisa dihuni lagi karena roboh diguncang gempa. Kedua, warga trauma dan takut akan terjadi tsunami, seperti tanggal 26 Desember 2004.Gempa susulan yang terus terjadi dan isu bakal munculnya "smong" dahsyat memang telah memaksa warga setempat untuk terus mengungsi di tenda-tenda plastik di perbukitan.
Meski data konkret belum ada, Bupati Simeulue memastikan, sekitar 80 persen bangunan permanen terutama di kota Sinabang kini hancur. Pertokoan, rumah bertingkat, dan bangunan perkantoran di ibu kota Kabupaten Simeulue itu ambruk dan rata.Jumlah korban tewas-dalam bencana kali ini-yang sudah diangkat dari reruntuhan sebanyak 17 orang dan puluhan korban lain yang luka-luka dirawat seadanya. Sebab, bangunan vital rumah sakit daerah kabupaten setempat juga rusak parah.
"Dibandingkan dengan tsunami akhir tahun 2004, kerusakan fisik dan jumlah korban jiwa akibat gempa 28 Maret lalu saya pastikan jauh lebih parah. Korban jiwa diprediksi akan bertambah karena sekitar 90 persen bangunan yang roboh sama sekali belum disentuh," ujar Darmili.Ketika gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004, di Simeulue tercatat tujuh orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Bangunan yang rusak berat 3.793 unit dan rumah penduduk yang hilang diterjang tsunami 1.625 unit.
KENDATI dalam bencana kali ini terjadi kerusakan fisik (bangunan) yang cukup parah dan ada korban jiwa, hingga Kamis kemarin lokasi bencana di Pulau Simeulue masih belum tersentuh, terutama dalam hal evakuasi para korban dan pasokan bantuan.
Menurut Darmili, kondisi geografis Kabupaten Simeulue yang berada di Samudra Hindia membuat wilayah ini sulit dijangkau. Akses transportasi ke Pulau Simeulue selama ini terbatas. Wilayah seluas 198.021 hektar yang dihuni 78.128 jiwa itu sejak dulu hanya bisa ditembus melalui laut atau via udara dengan menggunakan pesawat ukuran kecil, seperti jenis Cassa. Frekuensi penerbangan dan kedatangan kapal feri ke sana dua kali seminggu. Itu pun kerap tak pasti karena tergantung cuaca.
"Di saat normal saja Simeulue sudah begitu sukar dicapai. Apalagi sekarang setelah Bandar Udara Lasikin dan dermaga Pelabuhan Sinabang rusak akibat gempa, sudah pasti pulau ini makin terisolasi. Faktor inilah kini yang membuat proses evakuasi para korban gempa dan pendistribusian bantuan ke Simeulue masih tersendat," tutur Darmili.
Di tengah kesulitan akses transportasi, masyarakat Simeulue makin tidak berdaya karena pasokan bahan bakar minyak (BBM) sudah terhenti sejak hari Selasa lalu. Alat transportasi tidak bisa jalan karena tidak ada yang menjual BBM. Alat berat untuk evakuasi korban yang tertimbun reruntuhan bangunan dan menyingkirkan reruntuhan tersebut pun tidak bisa dioperasikan karena tidak ada BBM.
"Kami punya ekskavator, truk, ambulans, dan lain-lain yang bisa dikerahkan untuk mengevakuasi, tetapi karena tidak ada BBM, semua peralatan itu jadi lumpuh," ujar Darmili memaparkan.
Ia mengakui, sudah sejak dua tahun ini harga BBM di Simeulue jauh di atas harga patokan pemerintah. Bensin, misalnya, jika di daratan Sumatera harganya Rp 2.400 per liter, di Simeulue Rp 6.500-Rp 7.000 per liter. Harga solar pun mencekik, rata-rata dijual eceran dengan harga Rp 4.500-Rp 5.000 per liter.
Gempa bumi dan tsunami membuat kehidupan warga di Simeulue kian terpuruk. Setelah masa kejayaan cengkeh, yang menjadi primadona kehidupan 95 persen penduduk, Simeulue terpuruk pada era 1990-an. Sejak itu pula ekonomi di kabupaten pulau itu mulai lambat berdenyut.
Memang tidak sekarat, tetapi roda perekonomian Simeulue bergerak lamban.Jika penanganan Simeulue pascabencana kali ini tidak serius dilakukan, pulau ini dengan sendirinya akan terus tersisih.Simeuleu, pulau terluar Indonesia, memang harus segera disentuh. Sebab, daerah itu kini sangat membutuhkan pertolongan, terutama bantuan untuk evakuasi para korban gempa.
Pulau Simeulue memang tidak separah Nias pascagempa atau tidak sehancur kota Banda Aceh pascatsunami, tetapi bagaimanapun Simeulue itu wilayah Indonesia....(Ahmad Zulkani, Kompas/Jumat 1 April 2005)
Rabu, 03 Desember 2008
Sabtu, 22 November 2008
Enam Bulan Bersama Teror Tsunami
NYONYA Marduani (38) dengan penuh kasih sayang menggerakkan ayunan bayi yangterbuat dari selembar kain jarit. Bayi perempuan yang baru berusia sebulan danbelum punya nama itu tengah tertidur pulas.Marduani dan keluarganya adalah salah satu keluarga di Kabupaten Mukomuko,Bengkulu, yang masih tinggal di bedeng dan tenda plastik karena rumahnya robohakibat gempa 12 September 2007.
Berkali-kali mereka dikejutkan guncangan gempadan pengumuman ancaman tsunami yang meneror karena muncul tak kenal waktu.Dapur yang sempit dan sumpek tempat ayunan bayi tradisional itu tergantung makinterasa sesak karena dinding dan atap rumah warga Desa Pauh Terenja, KabupatenMukomuko, itu terbuat dari seng bekas.
Sesekali, Marduani mengipasi bayimungilnya yang masih merah dan mulai berkeringat. ”Sudah enam bulan lebih saya,suami, dan empat anak hidup di bedengan ini. Bayi perempuan saya ini pun lahirdi lantai tanah beralaskan selembar plastik. Seandainya punya uang, mungkinsudah lama bisa mendirikan rumah kembali walaupun hanya rumah kayu. Tetapi,karena tidak punya apa-apa dan hanya mengandalkan hidup dari panen jagung danburuh tani, kami terpaksa menikmati saja walaupun sudah sangat tersiksa,” tuturMarduani dengan nada terbata-bata.
Ia mengakui, selama menunggu panen jagung, suaminya kini terpaksa memburuh dikebun orang. Jika beruntung, suaminya bisa membawa pulang upah paling banter Rp15.000 sehari. ”Inilah penyambung hidup sekeluarga. Dua bulan pertama pascagempatahun lalu, kami memang sempat menerima bantuan beras 20 kg dan jatah hidup Rp400.000. Kini, setelah enam bulan rasanya hidupnya semakin kabur. Esok pagi,entah makan apa anak-anak saya lagi,” kata Marduani.
Marduani tidak sendirian. Di deretan rumahnya di Desa Pauh Terenja, hanyasekitar 3 kilometer dari Kantor Bupati Mukomuko, juga ada Basril (48), Dasminah(50), dan puluhan warga lain yang mengalami nasib sama: hidup di bawah tendaplastik, di bedeng sumpek berdinding terpal bekas yang bolong-bolong.
Jika datang semburan angin pantai di malam hari, penghuninya akan tersiksakarena angin seperti menusuk tulang. Bahkan, jika merujuk data posko SatuanPelaksana (Satlak) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Kabupaten Mukomuko, tercatat 1.430 rumah warga rusak berat—sebagian besar dalam kondisiroboh rata tanah—akibat gempa tahun lalu. Itu artinya, ada sekitar 1.430keluarga pula yang kini hidup sebagai pengungsi di reruntuhan rumah sendiri.
Menurut Basril, belum hilang derita, trauma, dan ketakutan akibat gempa yangterjadi enam bulan lalu, hari Senin petang lalu daratan Mukomuko kembalidiguncang gempa berkekuatan 7,2 skala Richter. ”Hidup di bawah terpal plastikketika musim gempa seperti sekarang ternyata ada hikmahnya. Saya sekeluargatidak perlu lagi lari ke luar karena tidak bakal ada yang roboh. Buktinya ketikagempa mengguncang dua hari lalu, kami tenang-tenang saja di sini,” kata Basril.
Kondisi yang amat menyiksa juga dialami Dasminah. Pasangan petani ini mengakui,rumah semipermanen dengan tiga kamar miliknya rata tanah akibat diguncang gempatahun lalu. ”Yang tersisa hanya WC dan sumur,” ujarnya.
Untuk makan saja, ia harus mengutang dulu sambil menunggu panen jagung sehinggahampir tak mungkin membangun rumah baru. Tidak itu saja, agar anak-anaknya tidaksakit, Dasminah sudah enam bulan ini terpaksa menitipkan anaknya tidur di rumahtetangga.
”Kalau kami, ya, harus bisa menikmati hidup di bawah terpal iniberbulan-bulan karena kalau ikut menumpang pasti memberatkan. Namun, kalau hujanderas karena atap plastik bocor, kami pun terpaksa mengungsi tidur di rumahsebelah yang masih utuh,” kata Dasminah.
Tidak kerasan.
Betahkah Basril, Dasminah, Marduani, dan ribuan korban gempa di Mukomuko terusbertahan di bawah terpal plastik dan bangunan darurat? Kalau dibilang tak betah,buktinya mereka bertahan di sana sampai sekarang.
Setelah ditelusuri, sebenarnya mereka tidak kerasan. Semua karena keterpaksaan.Mereka mengaku tidak punya uang lebih dan tidak mampu membangun kembali rumahkarena sebagian besar korban gempa di Mukomuko adalah keluarga miskin.Ketika gempa terus mengguncang Mukomuko, satu-satunya harapan warga hanyalah segera dikucurkan dana perbaikan dan pembangunan kembali (dana recovery) sepertiyang dijanjikan pemerintah pusat sejak pascagempa. Dana itu besarnya bervariasi,mulai dari Rp 5 juta untuk rusak ringan hingga Rp 15 juta bagi bangunan yangroboh.
”Nasib kami sekarang mungkin mirip pungguk merindukan bulan. Entah kapan danabantuan yang dijanjikan pemerintah itu cair. Padahal, sudah sebulan lalu wargadisuruh membuka rekening di bank. Kami tidak habis pikir, tega-teganya mengumbarjanji dan kemudian membiarkan rakyat hidup menderita di bawah tenda plastik yangsudah bocor,” tutur Basril.
Menurut Basril dan Dasminah, seandainya warga mampu dan punya uang untukmendirikan rumah yang roboh, sudah pasti mereka tidak akan mengemis sepertisekarang. ”Dan lagi, yang kami tagih itu sesuatu yang pernah dijanjikan,”ujarnya.
Bupati Mukomuko Ichwan Yunus yang ditemui di Mukomuko, Selasa lalu, menyatakan,Satlak PBP dua hari lalu baru menerima kucuran dana perbaikan rumah bagi wargasebesar Rp 21,7 miliar. Bantuan tahap pertama untuk membangun kembali rumah parakorban gempa terlambat sampai di kabupaten karena mengendap tiga bulan di KantorPemprov Bengkulu.
”Dalam minggu ini, bantuan pusat itu akan segera dibagikan.Apalagi, para korban gempa yang berhak semuanya memang sudah memiliki rekening di bank,” katanya.
Bagaimana pun kucuran bantuan kemanusiaan paling tidak bisa sedikit mengobatitrauma warga Mukomuko, yang sejak beberapa hari belakangan masih diteror gempadan tsunami. (Ahmad Zulkani/Kompas, 28 Februari 2008)
Berkali-kali mereka dikejutkan guncangan gempadan pengumuman ancaman tsunami yang meneror karena muncul tak kenal waktu.Dapur yang sempit dan sumpek tempat ayunan bayi tradisional itu tergantung makinterasa sesak karena dinding dan atap rumah warga Desa Pauh Terenja, KabupatenMukomuko, itu terbuat dari seng bekas.
Sesekali, Marduani mengipasi bayimungilnya yang masih merah dan mulai berkeringat. ”Sudah enam bulan lebih saya,suami, dan empat anak hidup di bedengan ini. Bayi perempuan saya ini pun lahirdi lantai tanah beralaskan selembar plastik. Seandainya punya uang, mungkinsudah lama bisa mendirikan rumah kembali walaupun hanya rumah kayu. Tetapi,karena tidak punya apa-apa dan hanya mengandalkan hidup dari panen jagung danburuh tani, kami terpaksa menikmati saja walaupun sudah sangat tersiksa,” tuturMarduani dengan nada terbata-bata.
Ia mengakui, selama menunggu panen jagung, suaminya kini terpaksa memburuh dikebun orang. Jika beruntung, suaminya bisa membawa pulang upah paling banter Rp15.000 sehari. ”Inilah penyambung hidup sekeluarga. Dua bulan pertama pascagempatahun lalu, kami memang sempat menerima bantuan beras 20 kg dan jatah hidup Rp400.000. Kini, setelah enam bulan rasanya hidupnya semakin kabur. Esok pagi,entah makan apa anak-anak saya lagi,” kata Marduani.
Marduani tidak sendirian. Di deretan rumahnya di Desa Pauh Terenja, hanyasekitar 3 kilometer dari Kantor Bupati Mukomuko, juga ada Basril (48), Dasminah(50), dan puluhan warga lain yang mengalami nasib sama: hidup di bawah tendaplastik, di bedeng sumpek berdinding terpal bekas yang bolong-bolong.
Jika datang semburan angin pantai di malam hari, penghuninya akan tersiksakarena angin seperti menusuk tulang. Bahkan, jika merujuk data posko SatuanPelaksana (Satlak) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Kabupaten Mukomuko, tercatat 1.430 rumah warga rusak berat—sebagian besar dalam kondisiroboh rata tanah—akibat gempa tahun lalu. Itu artinya, ada sekitar 1.430keluarga pula yang kini hidup sebagai pengungsi di reruntuhan rumah sendiri.
Menurut Basril, belum hilang derita, trauma, dan ketakutan akibat gempa yangterjadi enam bulan lalu, hari Senin petang lalu daratan Mukomuko kembalidiguncang gempa berkekuatan 7,2 skala Richter. ”Hidup di bawah terpal plastikketika musim gempa seperti sekarang ternyata ada hikmahnya. Saya sekeluargatidak perlu lagi lari ke luar karena tidak bakal ada yang roboh. Buktinya ketikagempa mengguncang dua hari lalu, kami tenang-tenang saja di sini,” kata Basril.
Kondisi yang amat menyiksa juga dialami Dasminah. Pasangan petani ini mengakui,rumah semipermanen dengan tiga kamar miliknya rata tanah akibat diguncang gempatahun lalu. ”Yang tersisa hanya WC dan sumur,” ujarnya.
Untuk makan saja, ia harus mengutang dulu sambil menunggu panen jagung sehinggahampir tak mungkin membangun rumah baru. Tidak itu saja, agar anak-anaknya tidaksakit, Dasminah sudah enam bulan ini terpaksa menitipkan anaknya tidur di rumahtetangga.
”Kalau kami, ya, harus bisa menikmati hidup di bawah terpal iniberbulan-bulan karena kalau ikut menumpang pasti memberatkan. Namun, kalau hujanderas karena atap plastik bocor, kami pun terpaksa mengungsi tidur di rumahsebelah yang masih utuh,” kata Dasminah.
Tidak kerasan.
Betahkah Basril, Dasminah, Marduani, dan ribuan korban gempa di Mukomuko terusbertahan di bawah terpal plastik dan bangunan darurat? Kalau dibilang tak betah,buktinya mereka bertahan di sana sampai sekarang.
Setelah ditelusuri, sebenarnya mereka tidak kerasan. Semua karena keterpaksaan.Mereka mengaku tidak punya uang lebih dan tidak mampu membangun kembali rumahkarena sebagian besar korban gempa di Mukomuko adalah keluarga miskin.Ketika gempa terus mengguncang Mukomuko, satu-satunya harapan warga hanyalah segera dikucurkan dana perbaikan dan pembangunan kembali (dana recovery) sepertiyang dijanjikan pemerintah pusat sejak pascagempa. Dana itu besarnya bervariasi,mulai dari Rp 5 juta untuk rusak ringan hingga Rp 15 juta bagi bangunan yangroboh.
”Nasib kami sekarang mungkin mirip pungguk merindukan bulan. Entah kapan danabantuan yang dijanjikan pemerintah itu cair. Padahal, sudah sebulan lalu wargadisuruh membuka rekening di bank. Kami tidak habis pikir, tega-teganya mengumbarjanji dan kemudian membiarkan rakyat hidup menderita di bawah tenda plastik yangsudah bocor,” tutur Basril.
Menurut Basril dan Dasminah, seandainya warga mampu dan punya uang untukmendirikan rumah yang roboh, sudah pasti mereka tidak akan mengemis sepertisekarang. ”Dan lagi, yang kami tagih itu sesuatu yang pernah dijanjikan,”ujarnya.
Bupati Mukomuko Ichwan Yunus yang ditemui di Mukomuko, Selasa lalu, menyatakan,Satlak PBP dua hari lalu baru menerima kucuran dana perbaikan rumah bagi wargasebesar Rp 21,7 miliar. Bantuan tahap pertama untuk membangun kembali rumah parakorban gempa terlambat sampai di kabupaten karena mengendap tiga bulan di KantorPemprov Bengkulu.
”Dalam minggu ini, bantuan pusat itu akan segera dibagikan.Apalagi, para korban gempa yang berhak semuanya memang sudah memiliki rekening di bank,” katanya.
Bagaimana pun kucuran bantuan kemanusiaan paling tidak bisa sedikit mengobatitrauma warga Mukomuko, yang sejak beberapa hari belakangan masih diteror gempadan tsunami. (Ahmad Zulkani/Kompas, 28 Februari 2008)
Pilkada, Ambil Uangnya Anggap Sedekah, Jangan Pilih...
SALAH satu isu yang selalu mencuat setiap pemilihan kepala daerah atau pilkada langsung selama ini adalah politik uang (money politics). Bentuk kemasannya beragam, misalnya yang samar-samar, berupa pemberian bahan makanan seperti beras, gula, dan minyak goreng yang dibungkus khusus dan di dalamnya diselipkan amplop berisi uang dan gambar pasangan calon kepala daerah.
Sedangkan yang lebih vulgar dan terang-terangan, misalnya, pemberian amplop berisi uang secara langsung disertai pesan agar nanti memilih calon tertentu karena uang tersebut oleh yang menyerahkan disebut berasal dari sang calon yang bersangkutan.
Tidak bisa dimungkiri, isu politik uang sepertinya sudah menjadi bumbu penyedap setiap pilkada di Indonesia. Satu istilah paling populer untuk menunjukkan betapa politik uang dan iming-iming sudah lumrah ketika setiap kali pilkada adalah adanya "serangan fajar".Sebab, biasanya pemberian bingkisan atau amplop untuk para pemilih tersebut memang dilakukan pada saat fajar atau menjelang pagi, hanya dua atau tiga jam sebelum saat-saat pencoblosan.
Kenapa harus dilakukan pagi hari atau saat fajar pada hari H pencoblosan? Alasannya barangkali sangat masuk akal karena ketika seorang pemilih masuk ke bilik suara "otaknya" masih menyimpan pesan yang diterimanya dua tiga jam sebelumnya.
Bagaimana isu politik uang dalam Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Lubuk Linggau? Sama dengan situasi dan kondisi menjelang pilkada di daerah lain, isu ini pun berembus sepoi-sepoi. Meskipun demikian, sejumlah pihak, termasuk warga yang terdaftar sebagai pemilih yang ingin pilkada bersih, sepertinya sudah siap menghadapi "serangan fajar" tersebut.
Spanduk imbauan.
Buktinya, di berbagai sudut permukiman, terutama di pinggiran Kota Lubuk Linggau yang warganya dinilai rentan terpengaruh iming-iming, kini banyak disebarkan spanduk, pamflet, dan stiker. Isinya berupa imbauan agar warga dan pemilih di Lubuk Linggau tidak terpengaruh bujukan.
Kalimatnya pun disajikan menarik, menggelitik, dan mudah dicerna masyarakat, terutama pemilih awam."Ambil duitnya, anggap saja sedekah. Jangan pilih orangnya", tulis Front Tolak Money Politik (FTMP) dalam sebuah spanduk besar yang membentang di kawasan Kelurahan Taba Jemekeh, Kota Lubuk Linggau.
FTMP adalah sebuah lembaga yang menginginkan pilkada bersih, jujur, dan demokratis di Lubuk Linggau sehingga mereka konsisten mendidik, mengingatkan, dan mengajak masyarakat untuk dapat menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk memilih Wali Kota dan Wakil Wali Kota Lubuk Linggau periode 2008-2013 mendatang.
Simak pula sebuah spanduk yang sengaja ditancapkan persis di tengah kebun di kawasan Kelurahan Rahmah, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan I. "Kasih duit, ambil aja. Kalau kurang, minta tambah. Kalau nyoblos, sesuai dengan hati nurani", kata sebuah lembaga yang mengatasnamakan Masyarakat Peduli Pemilukada Bersih (Maspuber).
Sejumlah warga Kota Lubuk Linggau pun mengaku siap menghadapi "serangan fajar" dan kedatangan "para dermawan" pilkada. "Jika ada yang memberi uang, kami akan menerima secara terbuka. Namun, kalau mencoblos di bilik suara nanti, kami akan gunakan hati nurani. Kami semua di sini masing-masing sudah punya pilihan sejak awal. Siapa calonnya, itu masih rahasia," kata Hendrajit (35), warga Kelurahan Air Temam, Lubuk Linggau Selatan.
Pilkada damai, bersih, jujur, demokratis, dan tanpa iming-iming uang jadi dambaan semua orang, termasuk 129.718 pemilih terdaftar yang akan menggunakan hak pilih dalam Pilwakot Lubuk Linggau.
Kalau begitu, jika ada yang mau mengimingi warga atau pemilih di Lubuk Linggau dengan sesuatu, sepertinya memang harus berpikir dua kali. Sebab, bisa jadi mirip pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga, uang habis, kalah pula dalam pilkada.... (Ahmad Zulkani, dimuat Harian Kompas 14 Januari 2008)
Sedangkan yang lebih vulgar dan terang-terangan, misalnya, pemberian amplop berisi uang secara langsung disertai pesan agar nanti memilih calon tertentu karena uang tersebut oleh yang menyerahkan disebut berasal dari sang calon yang bersangkutan.
Tidak bisa dimungkiri, isu politik uang sepertinya sudah menjadi bumbu penyedap setiap pilkada di Indonesia. Satu istilah paling populer untuk menunjukkan betapa politik uang dan iming-iming sudah lumrah ketika setiap kali pilkada adalah adanya "serangan fajar".Sebab, biasanya pemberian bingkisan atau amplop untuk para pemilih tersebut memang dilakukan pada saat fajar atau menjelang pagi, hanya dua atau tiga jam sebelum saat-saat pencoblosan.
Kenapa harus dilakukan pagi hari atau saat fajar pada hari H pencoblosan? Alasannya barangkali sangat masuk akal karena ketika seorang pemilih masuk ke bilik suara "otaknya" masih menyimpan pesan yang diterimanya dua tiga jam sebelumnya.
Bagaimana isu politik uang dalam Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Lubuk Linggau? Sama dengan situasi dan kondisi menjelang pilkada di daerah lain, isu ini pun berembus sepoi-sepoi. Meskipun demikian, sejumlah pihak, termasuk warga yang terdaftar sebagai pemilih yang ingin pilkada bersih, sepertinya sudah siap menghadapi "serangan fajar" tersebut.
Spanduk imbauan.
Buktinya, di berbagai sudut permukiman, terutama di pinggiran Kota Lubuk Linggau yang warganya dinilai rentan terpengaruh iming-iming, kini banyak disebarkan spanduk, pamflet, dan stiker. Isinya berupa imbauan agar warga dan pemilih di Lubuk Linggau tidak terpengaruh bujukan.
Kalimatnya pun disajikan menarik, menggelitik, dan mudah dicerna masyarakat, terutama pemilih awam."Ambil duitnya, anggap saja sedekah. Jangan pilih orangnya", tulis Front Tolak Money Politik (FTMP) dalam sebuah spanduk besar yang membentang di kawasan Kelurahan Taba Jemekeh, Kota Lubuk Linggau.
FTMP adalah sebuah lembaga yang menginginkan pilkada bersih, jujur, dan demokratis di Lubuk Linggau sehingga mereka konsisten mendidik, mengingatkan, dan mengajak masyarakat untuk dapat menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk memilih Wali Kota dan Wakil Wali Kota Lubuk Linggau periode 2008-2013 mendatang.
Simak pula sebuah spanduk yang sengaja ditancapkan persis di tengah kebun di kawasan Kelurahan Rahmah, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan I. "Kasih duit, ambil aja. Kalau kurang, minta tambah. Kalau nyoblos, sesuai dengan hati nurani", kata sebuah lembaga yang mengatasnamakan Masyarakat Peduli Pemilukada Bersih (Maspuber).
Sejumlah warga Kota Lubuk Linggau pun mengaku siap menghadapi "serangan fajar" dan kedatangan "para dermawan" pilkada. "Jika ada yang memberi uang, kami akan menerima secara terbuka. Namun, kalau mencoblos di bilik suara nanti, kami akan gunakan hati nurani. Kami semua di sini masing-masing sudah punya pilihan sejak awal. Siapa calonnya, itu masih rahasia," kata Hendrajit (35), warga Kelurahan Air Temam, Lubuk Linggau Selatan.
Pilkada damai, bersih, jujur, demokratis, dan tanpa iming-iming uang jadi dambaan semua orang, termasuk 129.718 pemilih terdaftar yang akan menggunakan hak pilih dalam Pilwakot Lubuk Linggau.
Kalau begitu, jika ada yang mau mengimingi warga atau pemilih di Lubuk Linggau dengan sesuatu, sepertinya memang harus berpikir dua kali. Sebab, bisa jadi mirip pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga, uang habis, kalah pula dalam pilkada.... (Ahmad Zulkani, dimuat Harian Kompas 14 Januari 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)