Rabu, 28 April 2010
Selasa, 02 Juni 2009
Kuliner Nikmat Mengundang Selera Dari Ranah Minang




Dendeng Balado dari Sumatera Barat
Bondan Winarno
Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan akan masih terus melanjutkan pengembaraannya.
Baru saja saya sadari bahwa di daerah Minangkabau, yang disebut dendeng hadir dalam begitu banyak versi. Secara umum, setidaknya ada empat jenis dendeng yang berhasil saya identifikasi, yaitu: dendeng balado, dendeng batokok, dendeng lambok, dan dendeng baracik.Tetapi, di dalam setiap jenis dendeng juga muncul berbagai varian. Setiap rumah makan di Sumatra Barat memiliki ciri-ciri dendengnya masing-masing. Standarisasi memang merupakan salah satu isu pelik dalam kuliner Indonesia.
Pada umumnya, hanya dendeng balado yang memakai cabe merah. Ketiga jenis dendeng lainnya memakai lado mudo atau cabe muda yang masih berwarna hijau. Cabe muda yang berwarna hijau ini tidak sepedas cabe yang sudah berwarna merah. Aromanya pun berbeda.
Yang disebut dendeng balado biasanya adalah dendeng tipis yang digoreng garing, lalu disiram dengan sambal berwarna merah. Sekalipun “penampakan”-nya mungkin sama, tetapi masing-masing rumah makan di Sumatra Barat ternyata tidak membuat dendeng baladonya dengan “pakem” yang sama.
Pertama, dari sisi dendengnya. Sebagian memakai cara mengiris daging sapi tipis-tipis, dibumbui, dijemur sampai kering, kemudian digoreng. Bumbunya sendiri berbeda-beda. Ada yang memakai ketumbar, ada yang tanpa ketumbar. Versi lain justru tidak dijemur. Dagingnya direbus dengan bumbu-bumbu, lalu diiris tipis-tipis, dan langsung digoreng sampai garing. Ada pula yang tidak dijemur dan tidak direbus, tetapi langsung digoreng.
Kedua, dari sisi sambal yang dipakai sebagai topping-nya. Yang wajib ada dalam bumbu balado ini adalah garam, bawang merah, cabe merah, perasan jeruk nipis. Ada versi lain yang menambahkan bawang putih. Kadang-kadang, ada pula yang menumis sebentar bahan-bahan tadi dengan minyak tanak atau minyak kelapa. Disebut minyak tanak karena dihasilkan dari santan kelapa yang ditanak.
Perbedaan proses itu membuat dendeng balado juga tampil dalam berbagai tingkat kerenyahan. Ada yang renyah sekali, tetapi ada juga yang alot dan keras. Ada yang mak nyuss, ada yang biasa-biasa saja.
Dalam “pencarian” dendeng balado yang paling juara, akhirnya saya harus mengakui keunggulan sajian Restoran “Kembang Goela” – baik yang di jakarta maupun yang di Bali. Harus diakui, proses pembuatannya tidak tradisional. Tetapi, hasil akhirnya sungguh dahsyat. Saya duga, di “Kembang Goela” dimulai dengan pilihan daging yang bagus. Mungkin daging direbus dulu dalam bumbu-bumbu lengkap, lalu dibekukan. Dalam keadaan beku, daging diiris tipis (shaved) dengan mesin yang menghasilkan irisan setipis kertas. Setelah digoreng, hasilnya adalah dendeng renyah yang langsung hancur di mulut – dengan bumbu balado yang mendekati sempurna.
Maaf kalau saya masih memakai istilah “mendekati sempurna”. Soalnya, di “Kembang Goela” tidak dipakai bawang merah yang didatangkan dari Sumatra Barat. Harap dicatat, di ranah Minang, bawang merahnya berbeda dengan bawang merah di Jawa. Di sana bawang merahnya berukuran besar, rasanya pun khas – seimbang antara asam dan pedasnya. Bawang merah khas Minang inilah yang menjadi kunci keistimewaan dendeng balado.
Jenis dendeng lain yang populer di Sumatra Barat adalah dendeng batokok. Secara harafiah, ditokok berarti dipukul dengan palu. Proses pembuatan dendeng yang satu ini memang harus ditokok-tokok.
Karena favorit dendeng batokok saya adalah dari Rumah Makan “Mintuo” di lintasan Padang-Solok, maka saya akan memakai referensi dendeng batokok yang top markotop ini. Daging sapi mentah, direndam selama dua jam dalam bumbu dan rempah yang cukup kaya, yaitu: bawang merah, bawang putih, daun jeruk nipis, kunyit, lengkuas, jahe, dan garam. Semua bumbu dan rempah itu dihaluskan, lalu ditambah asam jawa yang dilarutkan dalam air.
Daging mentah yang sudah direndam bumbu ini kemudian diiris-iris dengan ketebalan sekitar satu sentimeter, lalu ditokok-tokok dengan batu agar seratnya pecah dan menjadi lebih tipis serta lebar. Ketika menokok-nokok itu, bumbu pun ikut meresap ke dalam serat-serat daging. Lembaran-lembaran daging mentah ini kemudian dibakar di atas bara arang tempurung kelapa. Setelah matang dan sebelum gosong, daging panggang dilumuri dengan minyak tanak.
Topping-nya adalah lado mudo, bawang merah, perasan jeruk nipis, dan garam. Lado mudo dan bawang merahnya tidak digiling halus, sehingga masih tampak lebar-lebar bertaburan di atas dendeng.
Di rumah-rumah makan lain, ada dendeng batokok yang mengalami proses perebusan terlebih dulu. Ada juga yang dagingnya tidak dibakar atau dipanggang, melainkan digoreng – sekalipun tidak sampai garing. Versi dendeng batokok goreng ini biasanya adalah jenis yang direbus sebelumnya.
Di “Mintuo”, cabe muda yang dipakai sangat muda, sehingga tingkat kepedasannya pun masih rendah. Ini membuat rasa bawang merah mencuat dengan indahnya. Secara warna, dendeng batokok “Mintuo” juga tampil lebih cantik.
Versi dendeng yang ketiga adalah dendeng lambok. Dalam bahasa Minang, lambok berarti lembab. Dalam pengembaraan saya di ranah Minang, dendeng lambok inilah yang paling “kacau” atau paling banyak ragamnya. Salah satu elemen pembeda dendeng lambok dari dendeng balado dan dendeng batokok adalah digunakannya tomat hijau sebagai bahan bumbu baladonya.
Di satu rumah makan, saya melihat dendeng lambok dalam bentuk daging sapi rebus dalam bumbu balado yang agak berkuah, sehingga lebih mirip gulai. Di rumah makan yang lain, dendeng lamboknya tampil mirip dendeng batokok plus tomat hijau. Mungkin karena ragamnya yang tidak jelas, hingga kini saya belum menemukan dendeng lambok yang dapat saya jagokan.
Jenis dendeng terakhir – yaitu dendeng baracik – adalah favorit saya. Dendeng ini diperkenalkan kepada saya oleh JS-er Andrew Mulianto. Sepanjang pengetahuan saya, dendeng baracik hanya dapat dijumpai di satu lepau makan di lintasan Padang-Solok, tepatnya di Desa Talang, dekat Kayu Aro – kawasan penghasil teh terkenal. Menurut pemiliknya, Hajjah Emi, dendeng baracik memang eksklusif merupakan sajian di lepau nasinya. Resepnya diperoleh dari ayah mertuanya. Konon, ketika Emi muda sedang hamil, sang ayah mertua membuatkan dendeng khusus itu. Sensasi kelezatan itu tidak pernah dilupakan Emi, dan memicunya untuk membuat dendeng baracik sebagai sajian juara di kedainya.
Secara harafiah, baracik berarti diracik. Nomenklatur ini baru jelas maknanya bagi saya setelah nyelonong ke dapur untuk melihat bagaimana dendeng baracik itu dibuat. Ternyata, dendengnya dibuat dari potongan tebal daging bagian dada sapi (disebut gajebo di Minang, atau sandung lamur di Jawa).
Bungkah-bungkah gajebo itu dilumuri bumbu – antara lain ketumbar – dan kemudian dijemur sebentar agar layu, tetapi tidak sampai kering. Daging berbumbu yang sudah layu ini kemudian dibawa ke dapur. Dalam dapur yang panas dan penuh asap, proses pelayuan dendeng berlanjut.
Bila ada tamu yang memesan dendeng baracik, Hajjah Emi akan memotong-motong gajebo layu dengan ketebalan sekitar dua milimeter, besarnya sekitar lima kali lima sentimeter. Anda harus berada di dapur untuk menikmati sensasi aroma dendeng yang digoreng dengan sedikit minyak tanak atau minyak kelapa. Tabiak salero!
Sementara dendengnya digoreng, Hajjah Emi merajang lado mudo, bawang merah, dan tomat. Dendeng yang sudah digoreng setengah kering itu diletakkan di piring, ditaburi semua rajangan, lalu dikucuri dengan perasan asam sundai (mirip jeruk purut, tetapi berukuran besar dan isinya berwarna kuning muda). Langsung diaduk dan dimakan dengan nasi hangat. Tekstur dendengnya garing di luar, lunak di dalam, dengan aroma daging layu dan ketumbar yang sangat khas. Bagian lemaknya juga memberi sensasi rasa yang sulit digambarkan.
Onde mande, lamaknyo!
Bondan Winarno
Kamis, 19 Maret 2009
Rumah Adat Besemah: Bertahan Dua Abad Dari Gempuran Para Kolektor

“Pesan diwe kayangan tinggi antakkah lemak nanggung kudai. Empuk dik kah ngilu’i, jangan merusak jadilah”.
PERINGATAN yang ditulis dalam bahasa Besemah di atas sebuah papan berukuran sekitar 1 meter x 2 meter itu, berdiri kokoh persis di jalan masuk depan deretan rumah tua di Desa Pelang Kenidai, Kecamatan Dempo Tengah, di pinggiran Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan.
Dalam bahasa sehari-hari, pesan tadi kira-kira bisa diartikan begini: “Pesan dewa di kayangan tinggi, mau enak susah susah dulu. Kalau tidak bisa memperbaiki, jangan merusak jadilah”. Di bawah pesan yang tulisannya sangat mencolok itu, tertulis sebuah nama, Haji Umar.
“Itu, pesan bernada imbauan dengan bahasa yang amat halus. Hakekatnya adalah, dewa di kayangan di atas sana, berpesan kalau seseorang mau enak ya harus bersusah payah dulu. Kalau tidak bisa memperbaiki, jangan merusak jadilah. Dalam konteks ini, pesan dan imbauan yang ditulis Haji Umar, sesepuh Desa Pelang Kenidai tersebut, lebih kepada mengingatkan masyarakat adat di desa itu. Jika belum mampu memperbaiki rumah adat Besemah yang sudah berusia tua, maka anak cucu dan kerabat yang punya rumah tua tersebut diimbau untuk tidak merusaknya,” kata Alfarenzi (35), pemuda asli Besemah yang ditemui di Pagar Alam baru-baru ini.
Dia mengakui, seiring perjalanan waktu dan kadang-kadang terpaksa berdalih karena alasan kesulitan ekonomi, sejak sekitar satu dasawarsa belakangan memang ada ahli waris pemilik rumah adat di Tanah Besemah yang nekat menjual bagian-bagian tertentu dari rumah tua tersebut. Apalagi, iming-iming yang ditawarkan para kolektor barang antik uang jutaan rupiah yang bagi segelintir masyarakat desa yang hidup di tengah belitan ekonomi, nilainya sungguh sangat luar biasa.
“Seringkali yang dilego itu bukan rumah utuh, tetapi bagian-bagian tertentu. Misalnya, daun pintu atau papan dinding rumah adat yang berukir khas. Sadar akan ancaman kelestarian suatu tinggalan yang sangat berharga, maka kini muncul inisiatif dari tetua desa Pelang Kenidai untuk memproteksi upaya penghilangan budaya. Itulah sebetulnya makna dibalik tulisan peringatan berbahasa Besemah tersebut,” ujar Alfarenzi.
Menurut Haji Mus (70), seorang tetua Desa Pelang Kenidai, hampir sejak satu dasawarsa belakangan ukiran khas Rumah Adat Besemah memang banyak diincar para kolektor barang-barang antik. Mereka tidak saja datang dari dalam negeri, akan tetapi juga ada orang asing yang tujuannya membawa bagian rumah adat tua itu ke negaranya.
Bagian tertentu rumah adat Besemah ini, kata Mus memang sudah sempat berpindah tangan. Ada yang dibawa para kolektor ke Bali dan ada yang dijual ke luar negeri. Para ahli waris rumah adat ini, jelas tergiur karena tawarannya jutaan rupiah. Namun beruntung, melihat ancaman peninggalan budaya Besemah tersebut pemerintah kota (Pemkot) Pagar Alam berinisiatif memproteksi, dengan mengeluarkan larangan bagi para pemilik rumah adat menjual apa saja yang melekat dengan rumah itu.
Konsekuensi larangan itu, Pemkot Pagar Alam memberi kompensasi berupa bantuan untuk menopang ekonomi keluarga ahli waris atau pemilik rumah adat tersebut. “Proteksi ini sangat jitu dan mangkus. Sejak lima tahun belakangan, kami tidak pernah mendengar lagi ada yang melego bagian rumah adat tersebut untuk dijual. Walaupun beberapa kolektor barang-barang kuna dari luar masih kerap mengincar ke sini,” kata Supratman, pejabat di Kantor Dinas Pariwasata dan Seni Budaya, Kota Pagar Alam.
Menurut Nurwati dan Sabir, dua ahli waris pemilik rumah adat Besemah di Pelang Kenidai mengaku, pada saat ini masih ada orang-orang dari luar yang menawar beberapa bagian bangunan rumah tua itu. Tetapi karena ada imbauan, warga tidak ada lagi yang berani menjual walaupun tawaran uangnya menggiurkan, di atas Rp 5 juta untuk selembar papan atau daun pintu berukir khas Besemah.
“Dulu jangankan tawaran segitu, ditawar ratusan ribu saja sudah ada yang membongkar. Sebetulnya ini karena ketidaktahuan saja dan juga karena terdesak butuh uang. Alasannya sederhana, yang dibeli pendatang cuma selembar papan bukan rumah utuh sehingga pemilik masih bisa berteduh. Namun, setelah diyakini pemerintah daun pintu berukir itu nilainya tidak bisa ditakar uang para ahli waris rumah adat ini akhirnya sadar dan kini tidak ada lagi yang mau jual,” ucapnya.
Desa Pelang Kenidai di wilayah Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, berhawa sangat sejuk di kaki Gunung Dempo. Salah satu perkampungan tradisional yang terletak sekitar 298 km arah barat Kota Palembang ini, sehari-hari tampak tenang dan damai. Masyarakat adat di sini hidup dari hasil panen tanaman kopi, karet dan kemiri. Di tengah kedamaian dan keramah-tamahan masyarakat adat Besemah inilah sekarang, lebih 100 unit rumah adat yang usianya hampir dua abad bertahan digempur iming-iming para kolektor benda antik.
Kenapa jadi incaran? Itu tidak lepas dari berbagai keunikannya. Rumah adat Besemah atau dalam bahasa setempat disebut Baghi tua di Pelang Kenidai, seperti diakui Haji Mus, memang sangat khas tidak saja dari segi usia. Keunikan itu utamanya terletak pada konstruksi dan ukiran.
Konstruksi rumah adat Besemah dibangun dengan sistem bongkar pasang (knock down) menggunakan pasak atau disebut Shaco. Antara satu tiang dengan sisi yang lain, disambung tanpa paku dan hanya dengan pasak dari bambu tua atau kayu yang sangat keras. Tidak jelas alasan konstruksi ini dulunya dipakai para tetua setempat. Apakah waktu itu karena paku besi sulit atau alasan lain.
Namun konstruksi pasak ini punya kelebihan, sangat lentur. Jika terjadi guncangan misalnya karena gempa atau angin, bangunan rumah tidak kaku. Bangunan seperti ini tidak mudah patah atau roboh, karena kelenturan sambungan antara satu bagian dengan bagian lain. “Filosofinya, tetua dahulu kalau membangun rumah harus memanfaatkan yang ada di alam sekitar. Jika dikatakan untuk antisipasi gempa, bisa jadi ada benarnya. Buktinya, berapa pun guncangan gempa bangunan rumah adat Besemah ini sejak dulu tidak ada yang bergeser sedikit pun,” cerita Haji Mus.
Dari segi ukiran, rumah adat Besemah juga unik. Mirip dengan ukiran rumah adat Minangkabau di Sumatera Barat, ukiran rumah Baghi Besemah juga mengambil tema dari alam. Hanya saja, kalau di Minangkabau pola ukirnya lebih rumit dan ramai terdapat di semua bagian rumah, ukiran rumah adat Besemah tampak lebih simpel, sederhana dan hanya di bagian tertentu saja.
Menurut Supratman, ukiran rumah adat Besemah ada di sudut dan dinding depan, sebelah kanan rumah. Ukiran berbentuk bulat yang disebut masyarakat Besemah “bebulan” yang terdapat di dinding depan atau bagian daun pintu, dimaknai sebagai simbol bulan yang mencerminkan kehidupan rumah tangga pemilik rumah yang tenteram dan damai. Ukiran “bebulan” berupa bunga teratai yang sedang mekar, memiliki diameter sekitar 50 centimeter. Di tengah “bebulan” ada sebuah lobang yang bermakna satu tujuan.
“Tetapi, lobang ini sebetulnya juga berarti lain. Karena rumah adat Besemah tidak berjendela di bagian depan, lobang ini digunakan penghuni rumah untuk mengintip tamu yang datang. Ya, kegunaannya mirip lobang kecil di pintu kamar hotel,” kata dia.
Sedangkan ukiran di sudut dinding rumah adat Besemah, berupa tumpal-tumpal serta ukiran tanaman bersulur. Ukiran yang memanjang ke atas dan meliuk-liuk melintang membelah dinding rumah, merupakan simbol keunikan dan kecerdasan pengukir masa lalu dalam bidang seni pahat.
“Ukiran rumah adat Besemah benar-benar unik. Konon pengukirnya dulu tidak menggunakan alat ukir canggih seperti sekarang. Hanya dipahat dengan pisau kecil yang disebut Gubang,” ujar Supratman menambahkan.
Makna ukiran rumah adat Besemah, kata Supratman, juga menunjukkan sebuah simbol status dalam masyarakat adat setempat. Sebab, rumah ini terdiri dua versi yakni berukir dan tidak berukir.
Rumah adat berukir disebut rumah Tatahan, lazimnya milik orang yang dituakan atau sesepuh adat. Misalnya, “Juarai Tue” atau mirip Kepala Desa sekarang. Sedangkan rumah adat tidak berukir disebut rumah Gilapan, pemiliknya masyarakat umum.
Nilai-nilai budaya dan peninggalan tradisi masyarakat adat di Indonesia sepertinya, kini memang harus diproteksi. Jika tidak, satu persatu bakal hilang karena masyarakat adat yang dibelit kesulitan ekonomi, akan gampang terbujuk untuk melego apa saja yang mereka miliki.
Buktinya, daun pintu rumah adat Besemah di Pagar Alam yang berusia 200 tahun pun kini masih diincar dan digempur para kolektor.
O ahmad zulkani
(dimuat di Harian Berita Pagi, Palembang, Rabu 18 Maret 2009)