Kamis, 12 Februari 2009

Tak Sebanding Nama Besar 'Si Bung'

RUMAH dengan halaman luas itu masih berdiri kokoh. Gedung tua di kawasan Anggut Atas, persis di jantung Kota Bengkulu itu, pernah menjadi tempat tinggal Bung Karno ketika Proklamator dan Presiden Pertama RI itu diasingkan Belanda ke Bumi Rafflesia tahun 1938-1942. 

Warga Bengkulu teramat bangga memiliki peninggalan monumental sejarah ini. Hanya saja, sejauh ini tampaknya baru sebatas kebanggaan. Tengoklah lebih jauh ke dalam rumah tua itu. Semua barang-barang koleksi Bung Karno yang tersimpan di sini hanya dirawat ala kadarnya oleh Darwis Andrian, juru kunci rumah tersebut. 

"Hingga saat ini, belum ada pemeliharaan serius, dalam hal perawatan barang-barang tua peninggalan sejarah. Saya khawatir jika tidak ada langkah-langkah penyelamatan yang profesional, berbagai peninggalan Bung Karno, terutama buku-buku koleksi Presiden Pertama Indonesia itu, semakin rusak dan hancur. Apalah daya dan keterampilan saya sebagai seorang PNS (pegawai negeri sipil) rendahan yang memelihara ini sejak 25 tahun lalu," ujar Darwis, ketika ditemui di Bengkulu belum lama ini. 

Darwis menyebutkan, sebanyak 225 judul buku koleksi Bung Karno kini masih tersimpan rapi dalam lemari di salah kamar. Buku-buku bernilai historis tinggi yang sebagian besar berbahasa Belanda, Jerman, dan Inggris itu tampak sudah lapuk dan rapuh dimakan usia. Lembaran buku itu pun makin merana karena rayap ikut menggerogoti. 

"Agar buku-buku kuno ini tidak makin hancur, saya terpaksa melarang orang memegang dan membacanya. Sudah beberapa tahun ini, pengunjung hanya diizinkan sekadar melihat dari balik kaca," kata Darwis. 

Di ruang depan rumah ini, disimpan pula satu sepeda tua yang diyakini menjadi kendaraan sehari-hari Bung Karno ketika di Bengkulu. Di ruangan ini ada pula delapan foto Bung Karno, baik dengan koleganya maupun dengan Ibu Inggit, istri pertamanya. 

Sementara itu, di ruang tengah terlihat seperangkat kursi tamu tua, yang digunakan Bung Karno menerima tamu-tamunya. Di ruang lain ada dua tempat tidur besi model lama, tempat tidur Proklamator tersebut. 

Semua barang-barang inilah yang dilihat-lihat pengunjung kalau mereka mampir ke rumah Bung Karno tersebut. Namun di balik nama besar yang disandang "Si Bung", keberadaan rumah pengasingan ini nyaris sepi dari kunjungan tamu. "Dalam sehari, paling ada tujuh hingga sepuluh pengunjung yang datang ke sini. Itu pun tamu dari luar yang kebetulan sedang berlibur atau bertugas di Bengkulu. Pada hari-hari libur, sama saja," tutur Darwis. 

Oleh karena itu, Darwis berharap Pemerintah Provinsi Bengkulu dapat mengelola lebih serius aset sejarah ini. Apalagi, sekarang sudah berdiri sebuah bangunan baru yang diberi nama Persada Bung Karno secara permanen di kompleks rumah pengasingan itu sehingga dapat berdampak positif. "Mudah-mudahan ke depan tidak lagi sepi dan terabaikan," kata Darwis berharap. (ahmad zulkani) 

Guru Honor di Merangin: Rela Digaji 3 Keping Kerupuk




 JIKA ditelusuri lebih jauh persoalan pendidikan di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, barangkali yang ke luar sebagian hanya potret buram. Ada dua persoalan krusial yang pantas diungkap permukaan. Yakni kehidupan para guru honorer dan hancurnya sarana dan prasarana pendidikan khususnya di tingkat Sekolah Dasar (SD) di Merangin. Dua-duanya sungguh memilukan.

 “Saya sudah dua tahun lebih mengabdi sebagai guru honor Ah... saya malu menceritakan berapa besar honor yang diterima karena kalau diukur dari kebutuhan, jelas sangat tidak pantas. Tetapi, bagaimana lagi karena mengajar sudah saya pilih sebagai jalan hidup,” kata Siti, guru honorer di SD Negeri 278 Bangko Tinggi, persis di kota Bangko ibu kota Kabupaten Merangin.

 Berapa honor yang diterima Siti sebulan, sampai ia malu mengungkapkannya? Ternyata wanita lulusan D.2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Jambi, hanya menerima honor dari Komite Sekolah sebesar Rp 100.000 per bulan. Jika dibagi per hari, honor sebanyak itu barangkali hanya cukup untuk membeli tiga keping kerupuk udang. 

Padahal, kehidupan sebagai guru honor sudah dilakoni Siti selama dua tahun. Parahnya lagi, wanita lajang ini mengaku mengajar selama 24 jam sehari. “Kalau dianggap tidak pantas, ya itu terserah penilaian orang luar saja. Yang jelas, saya sudah mengajar dua tahun lebih dan gaji yang saya terima hanya segitu,” ujar Siti.

Lihat pula kehidupan Yadi, seorang guru honor di Desa Ujung Bumi, Kecamatan Sei Manau, sebuah daerah pedalaman di Merangin. Sama dengan Siti, juga menerima honor komite sebesar Rp 100.000 sebulan. Untuk menyambung hidup dan menambah penghasilan, Yadi tiap pagi buta sebelum mengajar di SD terpaksa menyadap karet. Beruntung, ia kebagian jatah satu kaplingan kebun karet dari orang tuanya.

“Dengan harga karet mentah sebesar Rp 8.000 per kilogram, hidup saya sedikit bisa lebih nyaman. Saya bisa jual karet ke pedagang pengumpul sekitar 30 kg per minggu. Paling tidak dari menyadap karet ini penghasilan bersih sebagai tambahan rata-rata Rp 200.000 per minggu. Honor komite itu hanya sekedar untuk pemacu semangat saja karena, ada penghasilan tetap yang saya harap dan tunggu tiap awal bulan,” kata Yadi. 

Bagi yang kurang perduli pendidikan, nasib seperti yang dialami Siti dan Yadi, mungkin hanya dianggap lumrah. Paling tidak hanya akan ke luar komentar; “salah sendiri, ngapaian mau mengajar”. Akan tetapi itu barangkali sangat tepat untuk menggambarkan betapa persoalan pendidikan di Kabupaten Merangin dan juga sebagian besar daerah pedalaman di Indonesia, sangat-amat memprihatinkan.

Guru-guru, terutama yang masih honor dan golongan rendah yang sangat dibebani tugas untuk mencerdaskan putera-puteri kita, ternyata masih dibelit persoalan krusial. Yakni, menerima imbalan sangat tidak layak. Padahal, di satu sisi para orang tua siswa selalu menuntut lebih. Jika siswa tinggal kelas atau tidak lulus ujian nasional (UN), gurulah yang disalahkan. Memang sangat tidak manusiawi, jika dikaitkan dengan imbalan yang diterima para guru.

Tetapi, itulah sebuah fakta nyata dunia pendidikan di Merangin. Dalam kasus Siti misalnya, wanita ini saban pagi terpaksa harus naik ojek sekolah dengan sewa Rp 3.000 sekali jalan. Untuk transportasi pulang mengajar, ia masih sedikit lega karena biasanya ada guru lain yang mau membonceng. Namun, kalau sehari Siti harus naik ojek sekali, berarti ia harus mengeluarkan ongkos ojek paling sedikit Rp 75.000 sebulan. Artinya, honor komite yang diterimanya hanya tersisa Rp 25.000, itu pun dengan perhitungan ia harus “puasa” tidak jajan dan makan siang, kendati harus mengajar sampai pukul 13.30 tiap hari.

Jika dihitung benar-benar, kata para guru, para guru honor di Merangin mungkin lebih banyak nombok ke sekolah. Karena agar bisa mengajar tepat waktu selama enam hari seminggu, mereka harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri untuk transportasi. Sebab, rata-rata sekolah tempat mengajar jauh dari tempat tinggal. 

“Barangkali, sangat masuk akal kalau beberapa waktu lalu kami guru-guru di Merangin memprotes anggaran pendidikan ke DPRD. Sudah seyogianya para wakil rakyat sedikit menolah ke dunia pendidikan karena, memang banyak hal yang perlu mendapat alokasi anggaran memadai. Jika anggaran pendidikan dinaikkan, kami beraharap agar DPRD dan Pemerintah Kabupaten Merangin mau mengalokasikan anggaran untuk menambah honor para guru honorer di daerah ini,” kata Siti.  

Data Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kabupaten Merangin, pada saat ini jumlah guru honor di daerah ini tercatat 809 orang. Mereka adalah para guru honor yang dibiayai komite dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Padahal, selain guru honor komite, di Merangin juga masih banyak guru honor yang dibiayai sendiri dengan iuran orang tua murid. 

Agar beban para orang tua lebih ringan, sepantasnya ada insentif untuk tambahan honor dari Pemkab Merangin. Akan tetapi, dalam praktik keuangan daerah pemkab tidak bisa mengucurkan begitu saja untuk honor para guru. Sebab, pihak DPRD lah yang dari awal bisa mengetok palu untuk pengalokasian anggaran insentif para guru tersebut.

“Guru honor yang digaji swadaya oleh orang tua di Merangin masih banyak. Jumlah mereka mungkin mencapai ratusan orang,” kata Muslim, pejabat yang menangani bidang kepegawaian di Dinas Diknas Merangin.

Sekolah rusak

 Tidak hanya persoalan guru honorer yang dibelit honor rendah, problem pendidikan di Merangin juga menyangkut rusaknya sarana dan prasarana khususnya di tingkat SD. Gedung SD yang sebagian merupakan SD Inpres itu, nyaris tidak tersentuh perbaikan sejak era tahun 1980-an. Akibatnya, banyak ruang kelas SD yang tidak layak pakai, atap dan plafond bocor, dinding rubuh, lantai semen yang sudah berubah lantai tanah, sehingga mirip kandang sapi.

 Tengoklah ruang kelas SD Negeri 278 di kota Bangko. Menurut Harun, Kepala SD setempat, semua atap dan plafond kelas bocor sehingga waktu hujan air mengucur ke ruang kelas. Jendela nako sekolah itu, kini hanya menyisakan rangka besi yang sudah karatan. “Kalau hujan deras, murid-murid terpaksa menyeret bangku ke sudut kelas yang masih kering. Jika genangan air sudah parah, pilihannya terpaksa belajar ditunda atau diliburkan,” katanya.

 Beruntung, kata Harun, tahun 2008 ini Pemkab Merangin mengalokasikan dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 250 juta. Ironisnya, DAK ini yang dialokasikan untuk rehabilitasi fisik bangunan sekolah hanya Rp 110 juta. Sisanya, untuk mebel, perbaikan WC dan dana operasional. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena, alokasi DAK sepenuhnya wewenang kabupaten. Sekolah hanya menerima kendati alokasinya kurang tepat sasaran,” kata Harun.

 Jika ditelusuri sebagian besar ruang kelas SD di Merangin, yang muncul ke permukaan tentu kondisi memprihatinkan. Sebab, SD Negeri 278 yang berada di ibu kota kabupaten dan hanya beberapa ratus meter di belakang Kantor Bupati, Kantor DPRD dan Kantor Dinas Diknas setempat saja sudah begitu parah. Apalagi, SD-SD di pedalaman Merangin yang jauh dari “mata” para pejabat kabupaten setempat.  

 “Gedung dan ruang kelas SMP, SMA dan SMK di Merangin, mungkin jauh lebih baik. Sebab, hampir tiap tahun mendapat alokasi anggaran perbaikan yang lumayan. Tetapi, khusus SD memang sebagiann besar belum tersentuh,” kata M Saman, Kepala Sub Dinas Pendidikan Menengah, Dinas Diknas Merangin.

 Kalau dibedah lebih dalam, persoalan pendidikan di Merangin memang seperti mengurai benang kusut. Lalu kapan kusut dunia pendidikan Merangin ini bisa diselesaikan? Aksi protes, unjuk rasa dan aksi mogok mengajar sekitar 6.200 guru di Merangin mungkin cukup tepat untuk menjawab potret buram pendidikan di daerah itu. (AHMAD ZULKANI)

Ke Bangko, Mampirlah di Restoran Kereta Api Koim




 ANDA suka berwisata dan bertualang kuliner? Mungkin tidak ada salahnya, datanglah ke kota Bangko, ibu kota Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Di kota kecil yang terletak di pinggir jalan nasional lintas tengah (Jalinteng) Sumatera, sekitar 300 km barat Kota Jambi ini, ada sebuah restoran unik. Namanya, restoran Kereta Api Koim. Petualang wisata kuliner, akan terkagum-kagum dengan suasana yang kami suguhkan,” kata A Rohim, pemilik restoran itu dengan nada promosi.

 Apanya yang unik di restoran ini? Barangkali belum banyak yang tahu. Sesuai namanya, restoran Kereta Api Koim ini memang dirancang persis layaknya sebuah tempat makan di sebuah stasiun kereta api. 

 Ada “loko uap” tua, seperti lokomotif uap era abad ke 18 yang bertengger di rel sepanjang sekitar 50 meter. Satu rangkaian dengan loko ini, ada dua “kereta restorasi” yang di dalamnya ditata meja makan pesis di restorasi kereta api. Uniknya lagi, ruang masinis kereta ini memang bukan tempat duduk masinis, tetapi disulap menjadi ruang kasir. Di sisi rangkaian “kereta” ini, di bawah bangunan tertutup layaknya sebuah stasiun kereta api, juga ada deretan meja makan.

 Nama restoran Kereta Api Koim, seperti diakui A Rohim sang pemilik, diambil dari nama panggilannya sehari-hari. Koim mengakui, keunikan restoran ini sebetulnya hanya sebuah rekayasa saja. Loko uap tua ini dibuat mirip asli, begitu pula kereta restorasi yang dibuat khusus seperti sungguhan.

 Menurut Koim, pengunjung restoran Kereta Api ini dipersilahkan mau makan di restorasi, di pelataran stasiun atau mau santai di luar peron stasiun yang suasananya cukup nyaman. Apalagi di depan mata sembari menikmati makanan dan minuman, dengan panorama alam aliran dua sungai besar yakni Muara Mesumai dan Sungai Merangin. Dari restoran, juga bisa dinikmati pemandangan dua jembatan gantung yang membentang Muara Mesumai dan Sungai Merangin.

Paling tidak, suasana yang disuguhkan restoran Kereta Api Koim ini akan membuat anda sedikit santai melepas kepenatan, setelah mengemudi jarak jauh misalnya dari Jakarta, Lampung atau pun dari Padang, Medan dan kota lain. Letak restoran ini cukup strategis di kawasan Ujung Tanjung, persis di pinggiran pertemuan dua sungai, yaitu Muara Mesumai dan Sungai Merangin. Posisi restoran hanya sekitar 300 meter di sisi barat jalinteng yang membelah kota Bangko. Restoran ini dibuka mulai pukul 07.00 pagi hingga pukul 23.00 malam. 

Menu restoran Kereta Api Koim ini, sangat beragam. Mulai dari hidangan khas Jambi dan Palembang seperti sambal tempoyak, pempek, pindang patin dan belida. Juga ada menu umum lain seperti nasi goreng, makanan laut misalnya cumi, udang lobster, kerang yang bisa disuguhkan sesuai pesanan. Ada pula berbagai masakan ikan mulai bakar laut, ikan sungai dan ikan budi daya lainnya. 

“Ada 28 jenis makanan dan 32 jenis minuman yang kita siapkan setiap hari. Semuanya tergantung pesanan karena, juru masak restoran Kereta Api sudah cukup berpengalaman,” tutur Koim yang mengaku semua masakan di restoran khas itu ia awasi langsung bersama Dian Fitriana, isterinya.

“Agar menu tidak monoton supaya ada variasi, saya selalu mengunjungi tempat-tempat makan dan restoran yang ramai pengunjung. Petualangan mencari menu baru ini kerap kali saya lakukan ke Jambi, Palembang dan kota-kota lain. Saya sangat memahami, pengunjung ke sini pasti mereka yang sudah pengalaman jajan dan makan di mana-mana. Oleh karena itu, menunya sedapat mungkin komplit,” katanya menambahkan.

Koim mengakui, harga makanan dan minuman di restoran Kereta Api ini dijamin terjangkau siapa saja. Mulai dari anak sekolah, sopir, sampai para pegawai dan orang-orang yang terbiasa makan di tempat mahal. Harga makanan bervariasi, mulai dari Rp 5.000 sampai Rp 20.000 per porsi tergantung jenis pesanan. Nasi goreng, kata dia hanya Rp 5.000 per porsi. Padahal, di kaki lima yang dijual pedagang keliling dengan gerobak di Bangko, satu porsi nasi goreng sekarang malah Rp 7.000. 

Pedagang gerobak keliling

 Terjun mengelola restoran, Koim mengaku hanya terbawa nasib baik saja. Awalnya, lelaki kelahiran Palembang 17 November 1965 itu sudah malang melintang bekerja di mana-mana. Setelah jadi sopir truk pengangkut bahan baku sepatu di Cibinong tahun 1990 selama dua tahun, Koim sempat menganggur beberapa lama. Ia bahkan, terpaksa menumpang hidup dengan kakaknya di Bangko yang kebetulan membuka sebuah warung menjual makanan khas Palembang.

 Ayah tiga putera ini mengaku, selama membantu kakaknya jualan ia kerap “mencuri-curi” lihat cara membuat pempek, tek wan, model, memasak pindang dan lain-lain. Dari mengintip cara memasak pempek itulah, ia coba-coba membuat sendiri dengan modal seadanya. Menanggur dan menumpang lama-lama, tentu tidaklah enak. Apalagi, Koim sudah punya tanggungan isteri dan anak-anak. 

“Setelah mendapat bantuan modal, saya pun nekad jualan pempek kaki lima dengan gerobak keliling persis di pinggir jalan lintas sumatera di kota Bangko. Mungkin karena nasib baik, pempeknya lumayan laku. Kerja sebagai pedagang gerobak ini saya lakoni bersama isteri dan anak-anak. Saya bukanlah type orang bak pepatah lupa kacang dengan kulitnya. Basis saya adalah pedagang kaki lima. Karena itu walaupun saya kini sudah dianggap orang Bangko pengusaha restoran, saya masih tetap mengelola gerobak pempek di kaki lima. Tetapi, sekarang menjalankan sehari-hari anak buah,” ujarnya.

Koim pun mengakui, bahwa ia tidak bisa melupakan jasa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Merangin yang memberi peluang untuk maju seperti sekarang. Sebab, kata dia, restoran Kereta Api di Ujung Tanjung yang dikelola saat ini, sebetulnya dibuat pemkab setempat. Hanya saja, “Kereta Api” tua ini sempat beberapa tahun menganggur, ditelantarkan karena waktu itu pengunjungnya sepi. 

Pada bulan Mei 2004, ia ditawari Pemkab Merangin mengelola restoran itu dan Koim pun lantas mengganti nama dengan restoran Kereta Api Koim. Tahun-tahun pertama, ia mengaku hampir saja frustasi karena restoran tetap sepi pengunjung. Waktu itu, yang datang hanya satu-dua orang, itu pun tidak tiap hari. 

Kata Koim, ternyata memang ada yang salah. Rupanya, menu yang dibuat dengan istilah keren bahasa asing membuat image mewah, sehingga masyarakat takut mampir ke sini. “Logikanya sederhana sekali. Saya ganti semua nama menu, tidak ada lagi istilah sea food, burger, juice. Yang ada, udang goreng, cumi goreng tepung, tempoyak, nasi goreng, kerang rebus, pindang, roti bakar, jeruk peras. Ternyata kiat itu mengena, buktinya sekarang restoran Kereta Api dikunjungi semua kalangan mulai anak sekolah, sopir, hingga pejabat dan pengusaha”.

Ditanya omsetnya dalam sehari, Koim hanya diam. Sambil menghela nafas, ia hanya menjawab: “pokoknya saya sekarang bisa makan dan hidup dengan isteri dan anak-anak,” ujarnya.

Dianggap warga Bangko ia salah satu pengelola restoran yang sukses, ternyata tidak mengubah penampilan keseharian Koim. Ia tetap bersandal karet, dengan baju kaus sederhana dan naik motor ke mana-mana. “Saya ini bukan pengusaha restoran, tetapi masih pedagang kaki lima dengan gerobak keliling,” kata Koim. Padahal, untuk mengelola restoran Kereta Api Koim ini, ia sudah mempekerjakan 15 karyawan tetap.

Anda mau menikmati makan di atas kereta dengan loko uap tua? Tentu restoran Kereta Api Koim di Ujung Tanjung, Muara Mesumai, Bangko tempatnya… (AHMAD ZULKANI)