Jumat, 30 Januari 2009

LEBIH SETAHUN DI TENDA BERSAMA TEROR TSUNAMI




NYONYA MARDUANI (38), dengan penuh kasih sayang tampak terus saja menggerakkan ayunan bayi yang terbuat dari selembar kain jarit. Bayi perempuan yang baru berusia sebulan dan belum punya nama itu, terlihat tertidur pulas.
Panas terik dan sumpek di dapur sempit tempat ayunan bayi tradisional lazimnya yang dibuat keluarga di kampung-kampung itu, makin terasa sesak karena dinding dan atap rumah warga Desa Pauh Terenja, Kabupaten Mukomuko itu, terbuat dari seng bekas. Sesekali, Marduani tampak mengipas bayi mungilnya yang masih merah dan mulai berkeringat. Seolah tidak perduli dengan lingkungan yang sumpek panas itu, si bayi tetap tak bergerak, tidur dengan nyenyak.
Desa Pauh Terenja, Kabupaten Mukomuko, terletak sekitar 265 km utara Kota Bengkulu, ibukota Provinsi Bengkulu. Desa ini bersama puluhan desa lain di Mukomuko, dikategorikan paling parah terkena dampak gempa tektonik akhir-akhir ini, termasuk gempa berkekuatan 7,3 SR pada tahun 2007. Ratusan rumah warga dan fasilitas publik seperti gedung sekolah di Desa Pauh Terenja dikategorikan rusak berat dan hancur pascagempa.
“Sudah lebih setahun saya, suami dan empat anak hidup di bedengan ini. Bayi perempuan saya ini pun lahir di lantai tanah beralaskan selembar plastik di bedengan ini. Kalau kami punya uang, mungkin sudah lama bisa mendirikan rumah kembali walaupun hanya rumah kayu. Tetapi karena tidak punya apa-apa dan hanya mengandalkan hidup dari panen jagung dan buruh tani, kami terpaksa menikmati saja walaupun sudah sangat tersiksa,” tutur Marduani dengan nada terbata-bata.
Ia mengakui, selama menunggu panen jagung, suaminya kini terpaksa memburuh di kebun orang. Kalau beruntung dapat kerjaan, suaminya bisa membawa pulang upah paling banter Rp 15.000 sehari. “Inilah penyambung hidup sekeluarga, sejak gempa merubuhkan rumah semi permanent milik kami pada 12 September 2007. Dua bulan pertama pascagempa tahun lalu, kami memang sempat menerima bantuan bahan makanan, beras 20 kg dan jatah hidup sebanyak Rp 400.000. Kini, setelah lebih setahun rasanya hidup ini semakin kabur. Esok pagi, entah makan apa anak-anak saya lagi,” kata Marduani, sembari menatap bayinya yang lelap di ayunan kain jarit.
Marduani memang tidak sendirian. Di deretan rumahnya di Desa Pauh Terenja, sekitar 3 km dari Kantor Bupati Mukomuko, juga ada Basril (48), Dasminah (50), dan puluhan warga lain yang mengalami nasib sama. Hidup di bawah tenda plastic, di bedeng sumpek berdinding terpal bekas yang bolong-bolong dengan semburan angin pantai yang menusuk tulang di malam hari berbulan-bulan, sepertinya sudah menjadi santapan sehari-hari sejak gempa meluluh luntakkan ribuan rumah warga Mukomuko.
Bahkan, jika merujuk data posko Satuan pelaksana (Satlak) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Kabupaten Mukomuko, tercatat 1.430 unit rumah warga yang rusak berat – sebagian besar dalam kondisi roboh rata tanah – akibat guncangan gempa tahun 2007. Itu artinya, ada sekitar 1.430 keluarga pula yang kini hidup sebagai pengungsi di puing-puing reruntuhan rumah sendiri walaupun pascagempa sudah berlalu lebih setahun.
Menurut Basril, derita warga memang tidak pernah hilang. Bayangkan saja, kendati sudah hampir menginjak dua tahun sampai sekarang derita, trauma dan ketakutan warga setempat masih saja sulit dienyahkan. Harap maklum, gempa bumi memang selalu menggoyang tanah dan daratan Mukomuko seolah tanpa henti.
Karena itu, warga Mukomuko terutama mereka yang bermukim di bibir pantai selalu hidup di tenda bersama teror gempa dan tsunami. Hidup di daerah bencana, seperti memang sebuahg nasib yang terlalu sulit dielakkan. Walaupun demikian, beruntung mereka tinggal di bawah tenda plastic, sehingga tidak ada reruntuhan bangunan baru yang menimpa.
“Hidup di bawah terpal plastik ketika musim gempa yang terus mengguncang bumi Mukomuko seperti sekarang, ternyata ada hikmahnya. Saya sekeluarga tidak perlu lagi lari ke luar karena, tidak bakal ada yang roboh. Buktinya ketika gempa mengguncang dua hari lalu, kami tenang-tenang saja di sini,” kata Basril.
Kondisi yang juga teramat menyiksa pun dialami Dasminah. Pasangan petani ini mengakui, rumah semi permanen dengan tiga kamar miliknya, memang sudah rata tanah karena diguncang gempa tahun lalu. “Semuanya rata dan lenyap seketika. Yang tersisa itu hanya sebuah wc dan sumur di bagian belakang,” ujarnya menambahkan.
Dia pun mengakui, sekarang jangankan untuk membangun kembali pengganti rumah yang roboh, untuk makan saja harus ngutang dulu sambil menunggu panen jagung. Tidak itu saja, agar anak-anaknya tidak sakit Dasminah sudah enam bulan ini terpaksa menitip tidur di rumah tetangga.
“Kalau kami ya, harus bisa menikmati hidup di bawah terpal ini berbulan-bulan karena kalau ikut menumpang di rumah tetangga sudah pasti memberatkan. Namun kalau hujan deras karena atap plastic bocor, dengan berat hari kami pun ikut mengungsi tidur di rumah sebelah yang masih utuh,” kata Dasminah.
Menunggu janji pemerintah
TETAPI, betahkah Basril, Dasminah, Marduani dan ribuan korban gempa di Mukomuko untuk terus bertahan di bawah terpal plastic dan bangunan darurat? Kalau dibilang tidak betah, buktinya mereka ternyata masih bertahan di situ sampai sekarang. Tetapi, setelah ditelusuri persoalannya bukan karena kerasan, namun semata-mata akibat keterpaksaan. Mereka memang tidak punya uang lebih dan kemampuan untuk membangun kembali rumah mereka karena, sebagian besar warga yang jadi korban gempa di Mukomuko adalah keluarga miskin yang selama ini hidup pas-pasan.
Oleh karena itulah, ketika gempa masih terus mengguncang Mukomuko, satu-satunya harapan warga adalah dikucurkannya segera dana perbaikan dan pembangunan kembali (dana recovery) seperti yang dijanjikan pemerintah pusat sejak pascagempa. Dana itu besarnya bervariasi, mulai dari Rp 5 juta untuk yang rusak ringan hingga Rp 15 juta bagi bangunan yang roboh.
“Nasib kami sekarang mungkin mirip pungguk merindukan bulan. Entah kapan dana bantuan yang dijanjikan pemerintah itu cair. Padahal, sudah sejak lama warga korban gempa disuruh membuka rekening di bank. Kami tidak habis pikir, koq tega-teganya mengumbar janji dan kemudian malah membiarkan rakyat hidup menderita di bawah-bawah tenda plastic yang sudah bocor,” tutur Basril.
Menurut Basril dan Dasminah, seandainya warga mampu dan punya uang untuk mendirikan rumah yang roboh, sudah pasti mereka tidak akan mengemis seperti sekarang. “Dan lagi, yang kami tagih itu sesuatu yang pernah dijanjikan. Barangkali, jika dana perbaikan dikucurkan mungkin trauma gempa dan tsunami sedikit demi sedikit akan hilang dari ingatan. Tidak seperti sekarang, mimpi buruk itu masih terlihat di depan mata karena puing reruntuhan rumah masih bertebaran. Dalam situasi seperti itu, gempa pun kini terus mengguncang bertubi-tubi,” ujarnya.
Bupati Mukomuko Ichwan Yunus yang ditemui di Mukomuko beberapa waktu lalu, menyatakan, Satlak PBP daerah ini memang telah menerima kucuran dana perbaikan rumah warga sebesar Rp 21,7 miliar. Bantuan tahap pertama untuk pembangunan kembali rumah para korban gempa itu memang terlambat sampai di kabupaten karena, sempat mengendap beberapa lama di Pemprov Bengkulu.
“Secepatnya, bantuan pusat itu akan segera dibagikan. Apalagi, para korban gempa yang berhak semuanya memang sudah memiliki rekening di bank,” katanya.
Ketika setiap kali bencana terjadi di Tanah Air kita, termasuk pascagempa di Mukomuko, soal bantuan memang selalu menuai masalah. Padahal, itu semua sebetulnya terkait erat dengan rasa, empati dan nurani. Bagaimana pun juga, kucuran bantuan kemanusiaan tersebut paling tidak bisa sedikit mengobati trauma warga Mukomuko yang hingga masih saja dihantui teror gempa dan tsunami.
AHMAD ZULKANI

Kamis, 29 Januari 2009

Bengkulu Ternyata Masih 'Tidur Nyenyak'

BAGAIMANA kondisi Provinsi Bengkulu setelah lebih setengah abad Merdeka? Benarkah provinsi yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera itu masih 'tidur nyenyak', ketika provinsi lain di Tanah Air menggeliat maju?

Jawabannya, bisa ya dan juga bisa tidak, tergantung dari kaca mata mana melihat. Kalau tidak percaya, tengok dan datanglah langsung ke Provinsi Bengkulu. Dari segi pembangunan fisik dan ekonomi, Bengkulu memang masih tidur lelap.

Lihatlah Kota Bengkulu, sebagai ibu kota Provinsi Bengkulu dan juga sebagai sebuah etalase terdepan provinsi di pesisir barat Sumatera itu. Dari dulu, deretan pertokoan yang berkembang dan masih bertahan hanya ada di kawasan Jalan Soeprapto. Memang beberapa pertokoan baru, tampak muncul di kawasan Panorama, Lingkar Barat, Pagar Dewa dan Rawa Makmur. Tetapi, kendati sudah tuntas dibangun sejak bertahun-tahun pertokoan ini justru banyak yang kosong. Tidak ada pelaku bisnis, usaha dan perdagangan yang melirik untuk memanfaatkan.

Kondisi Bengkulu sejak berakhirnya era kepemimpinan Gubernur Bengkulu Soeprapto, wong jowo yang dianggap sebagai gubernur fenomenal karena mampu mengangkat eksistensi keterpurukan Bengkulu pada tahun 1980-an, sampai sekarang tampak tidak banyak berubah. Sejak setahun belakangan di Kota Bengkulu memang muncul dua mall sebagai perlambang kota moderen, namun itu ternyata tetap tidak bisa membuat perekonomian dan kemajuan Bengkulu menggeliat dinamis.

Lalu apakah ada yang salah di Bengkulu?Jika ditelusuri sejarah masa lalu Bengkulu, sebetulnya siapa pun warga daerah ini tidak perlu berkecil hati. Sejarah memang sulit diingkari. Buktinya, dari dulu pun Bengkulu sudah terang-terangan sengaja diabaikan oleh penguasa. Aba-aba betapa Bengkulu sengaja ditinggalkan memang sudah tersirat sejak Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles yang bercokol di Bengkulu antara tahun 1818-1824 hengkang dari sini, menukarkan daerah penghasil kopi dan lada tersebut dengan Malaka.

Tidak jelas betul alasannya, apakah karena kurang potensial atau membaca isyarat Bengkulu memang tidak memiliki prospek di masa depan. Sehingga Raffles berketetapan hati dan bersedia menukar daerah ini dengan Malaka. Apa pun alasannya, fakta sejarah secara tegas mengungkapkan bahwa berdasarkan Traktat London (1824), Bengkulu akhirnya diserahkan kolonial Inggris kepada Belanda. Sebagai gantinya, Inggris mendapat wilayah jajahan baru yakni kawasan semenanjung Malaka, antara lain Singapura sekarang.

Apakah sejarah masa lalu itu terus terulang dan Bengkulu tetap dikucilkan? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak pula. Hanya saja dari segi "kepedulian" pemerintah pusat, Bengkulu memang tetap merasa ditinggalkan. Akan tetapi, di era otonomi ini ketergantungan yang berlebihan kepada Jakarta jelas adalah kebijakan yang tidak bisa dibenarkan. Karenanya, Bengkulu harus mampu berdiri dan membangun dengan potensi yang ada dalam dirinya sendiri.

Kalau ditelusuri lebih cermat lagi, sebetulnya Bengkulu sama sekali tidak ditinggalkan Jakarta. Buktinya, meski minim Sumber Daya Alam (SDA) Provinsi Bengkulu tetap kebagian Dana Alokasi Umum (DAU) mencapai sekitar Rp 300 milyar lebih atau sekitar tiga Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya yang hanya sekitar Rp 100 milyar pertahun.

Jumlah DAU yang diperoleh Bengkulu tersebut belum termasuk DAU yang diterima kabupaten dan satu kota yang kalau ditotal justru bernilai . Dalam hal perolehan DAU dan juga hasil perimbangan keuangan pusat dan daerah, Bengkulu memang tidak selayaknya membandingkan dengan Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan atau Aceh yang memang kaya. Namun, kalkulasi angka-angka tersebut jelas sangat fantastis bagi daerah yang nyaris nol kontribusinya di sektor minyak dan gas serta bahan tambang lain.

Sektor pertanian memang tulang-punggung perekonomian Bengkulu. Sebagai basis, sektor ini memiliki kontribusi paling besar dalam pertumbuhan ekonomi. Tahun 1999 misalnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bengkulu mencapai Rp 3,94 trilyun, sedangkan pendapatan bruto per kapita tahun yang sama Rp 2,5 juta. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB ini paling tinggi mencapai 30,69 persen. Sedangkan sektor lain jauh di bawah itu seperti jasa-jasa (18,48 persen), perdagangan, hotel dan restoran (16,77 persen) dan angkutan dan komunikasi (16,54 persen).

Pembangunan pertanian Bengkulu, jangan terlalu berorientasi pada pertanian skala besar yang membutuhkan lahan luas. Sebab, ketersediaan lahan yang terbatas justru bakal menimbulkan persoalan baru. Misalnya, konflik pertanahan dan juga terjadinya benturan peruntukkan lahan. Jika itu tidak dicermati, sudah jelas akan memunculkan persoalan baru di Bengkulu. Karena , dari 19,7 juta hektar luas lahan/hutan Bengkulu, sekitar 30 persennya merupakan kawasan nonbudidaya yakni terdiri dari kawasan konservasi dan kawasan lindung.

Luas kawasan budi daya di Bengkulu, di atas kertas memang mencapai 1,2 juta hektar. Akan tetapi itu nyaris ludes dibagi dan dikantungi para pemodal melalui legalisasi berbagai HGU (Hak Guna Usaha). "Usaha pertanian Bengkulu terkendala akibat terbatasnya lahan yang pantas dibudi daya. Sebab, jika melangkah sedikit lebih ke dalam kita justru sudah berhadapan dengan para pemegang HGU, berbagai kawasan lindung, serta dua taman na-sional yakni Kerinci Sebelat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNB BS)," ungkap Chairuddin, seorang tokoh masyarakat Bengkulu.

DARI kacamata pengamat, ekonomi Bengkulu dewasa ini merupakan ekonomi "gurem". Sebab, hampir sejak 10 tahun terakhir dirasakan sekali lambannya pertumbuhan Bengkulu. Tidak perlu diungkap angka-angka statistik tentang pertumbuhan ekonomi daerah berjuluk: Bumi Rafflesia ini.

Liriklah pembangunan fisik di Bengkulu. Selama enam tahun terakhir misalnya, cuma ada satu beberapa proyek besar yang bisa dihitung jari. Selebihnya, seperti jalan provinsi dan kabupaten rata-rata dibangun di bawah tahun 1990-an.

Siapa pun orang luar yang pernah pada tahun 1980-an ke Bengkulu pasti punya kesan sama. Pembangunan daerah ini sejak tiga dasawarsa belakangan, sama sekali tidak jelas arahnya. Jika titik beratnya pertanian, seyogianya dalam 10-15 tahun terakhir sudah terlihat hasilnya. Namun, ini justru seperti jalan di tempat. Soal sektor unggulan misalnya hingga kini pun dinilai masih mengambang, belum jelas ke mana larinya.

"Bayangkan saja, dari dulu telor, beras dan hampir semua kebutuhan pokok didatangkan dari luar Bengkulu. Barangkali yang tidak "diimpor" hanya ikan dan sayuran. Itu pun ditangkap oleh nelayan tradisional dengan peralatan seadanya. Sedangkan sayuran dari dulu sentranya tidak pernah beralih dari Curup, Rejanglebong.

Diingatkan, guna meningkatkan perekonomian Bengkulu jalan ke luar terbaik adalah menciptakan simpul-simpul ekonomi baru di pedesaan. Itu artinya yang diperkuat dan diberdayakan adalah rakyat bawah melalui sektor-sektor produktif. Misalnya, membangun berbagai industri hilir yang langsung bersentuhan dengan masyarakat setempat.

"Solusi yang tepat membangun Bengkulu, bukan penduduknya yang harus ditambah melalui transmigrasi. Akan tetapi harus memperkuat keberadaan SDM yang sudah ada sekarang. Jika jumlah penduduk banyak, tanahnya tak ada, penghasilannya juga kurang, percuma. Buat apa penduduk padat, tapi kere hanya makan pisang goreng doang," tambah Zulkifli Hosein, ekonom yang juga mantan Rektor Universitas Bengkulu.

Dari segi angka-angka statistik, di atas kertas ekonomi Bengkulu memang tumbuh melangkah ke depan. Keterpurukan justru mulai dirasakan sejak tahun 1997, ketika daerah itu diterpa kemarau panjang. Hal yang sama pun terulang, persis setelah daerah ini dihantam gempa tektonik berkekuatan 7,3 skala Richter Juni 2000, disusul gempa dahsyat berturut tahun 2007 dan 2008. Gempa beruntun ini tidak saja membuat rumah penduduk hancur dan merusak fisik daerah Bengkulu, gempa juga memporak-porandakan tatanan ekonomi masyarakat setempat.

APAKAH sebetulnya yang kini terjadi di Bengkulu? Bekas keresidenan Sumatera Selatan yang disahkan sebagai provinsi pada 18 November 1968 itu, sekarang tampaknya menghadapi persoalan serius. Tidak saja karena pembangunan di sana tanpa konsep dan arah yang jelas, Bengkulu beberapa tahun terakhir ternyata mengalami degradasi mutu SDM yang memprihatinkan.

Menurut Zulkifli Hosen, degradasi SDM ini nyaris di semua sisi. Tidak saja di sektor-sektor produksi dalam kelompok masyarakat dan petani, namun juga terjadinya degradasi pada penyelenggaraan pemerintahan. Semua ini terjadi karena kebijakan Bengkulu yang kurang bersahabat dan tidak terbuka dengan SDM-SDM yang berkualitas.

Contoh konkret berlangsungnya degradasi SDM di bidang pemerintahan yakni dengan "diusirnya" sejumlah pemikir dan konseptor ke luar daerah. Sejumlah putera daerah Bengkulu yang sempat mengenyam pendidikan dan memiliki pola pikir lebih maju, ternyata sengaja dimutasi ke luar atau sengaja diparkir tanpa jabatan. Akibatnya, jajaran pemerintahan di Bengkulu kini nyaris diisi oleh SDM yang berpikiran sempit.

"Idealnya yang harus dikembangkan adalah persaingan sehat. Yang diambil haruslah terbaik, kalau perlu "ditender". Sehingga betul-betul SDM berkualitas yang harus muncul, bukan yang baik dibuang. Selama ini orang-orang pandai di Bengkulu tak laku. Sehingga yang bagus-bagus, tamat S2 dan S3 misalnya, dibuang ke luar Bengkulu," tegas Zulkifli lagi.

Saking terabaikannya pembangunan SDM tergambar dari kecilnya minat orang Bengkulu untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S2). Di Unib, dari 65 mahasiswa yang mengambil program S2 (MM) tahun 2001, justru 90 persennya diisi oleh para pejabat dan putra terbaik dari Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Padahal, Unib ada di Bengkulu dan biaya kuliah di sini pun sangat murah.

Lalu, akankah Provinsi Bengkulu masih akan tetap 'tidur panjang' di tengah globalisasi ini? Jawabannya, tentu berpulang kepada warga, tokoh masyarakat, generasi muda, kaum intelektual dan para pengambil kebijakan di jajaran pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Bengkulu.

Ungkapan: "bre segantang, ikan sejirek..madar" - yang secara harfiah mungkin berarti: Kalau sudah punya beras seliter, ikan satu jinjing lantas tidur - untuk menggambarkan kebiasaan malas dan tidak produktif segelintir orang Bengkulu, memang sudah layaknya ditinggalkan. Bagaimana pun juga, di era globalisasi, era otonomi daerah untuk percepatan pembangunan, jelas tidak bisa dicapai hanya dengan tidur panjang setelah makan dengan ikan sejinjing...
Bengkulu, 290109
Ahmad Zulkani

Rabu, 28 Januari 2009

Rafflesia Arnoldi, Kebanggaan 'Tobo Kito' Bengkulu




SEOLAH sebuah tradisi, setiap menjelang akhir tahun, bunga langka Rafflesia Arnoldi mulai memasuki musim mekar di sejumlah kawasan hutan di Provinsi Bengkulu. Bunga langka nan unik ini, merupakan sebuah kebanggaan ‘Tobo Kito’ (bisa diartikan: masyarakat) Bengkulu sejak dulu.

Walaupun Bunga Rafflesia kerap juga ditemukan di kawasan hutan seperti di hutan Bengkulu Selatan, namun Rafflesia mekar justru kerap kali ditemukan di kawasan hutan lindung Register 5 Bukit Daun, Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah, sekitar 52 km sebelah timur Kota Bengkulu.

Lokasi mekarnya bunga Rafflesia ini, terpencar di sejumlah tempat di hutan lindung Bukit Daun. Menariknya, tempat mekar bunga ini ternyata berada persis di pinggir jalan nasional Bengkulu – Kepahiang – Curup - Lubuk Linggau. Sejumlah wisatawan lokal baik asal Bengkulu, maupun dari Lubuk Linggau dan Pagar Alam, Sumatera Selatan secara rutin sengaja dating untuk menyaksikan mekarnya ‘kawanan’ bunga-bunga langka itu.

Bahkan, tak jarang beberapa kelompok peneliti botani dari berbagai perguruan tinggi di luar Bengkulu seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), peneliti LIPI dan ilmuwan dari luar negeri, sengaja ‘berburu’ bunga Rafflesia mekar ke hutan Bengkulu.

Menurut Rizal dan Antoni, dua warga Taba Penanjung pecinta Rafflesia yang seringkali secara sukarela menjaga bunga-bunga Rafflesia mekar tersebut, masa puncak mekarnya bunga langka ini memang berlangsung pada bulan Desember. Pada bulan itu, bonggol bunga yang mirip dengan kol ini akan muncul dari inangnya dan mekar dalam tujuh hari. Setelahnya, bunga yang menjadikan serangga kecil sebagai santapan itu akan layu.

“Hutan Lindung Bukit Daun yang dibelah jalan nasional Bengkulu – Curup – Lubuk Linggau menuju Lintas Tengah Sumatera ini, memang menjadi tempat tumbuh alami sejak lama," kata Rizal.

"Jika ditelusuri sampai ke bagian dalam kawasan hutan lindung, pasti banyak ditemukan bunga yang tengah mekar. Namun, agar masyarakat bisa menyaksikan keindahannya maka kami berupaya mencari lokasi mekar yang dekat dengan jalan raya,” tutur Rizal.

Padma raksasa Rafflesia Arnoldi, pertama kali ditemukan oleh Thomas Stanford Raffles dan ahli botani Arnol pada tahun 1818 di kawasan hutan di Manna, wilayah Bengkulu Selatan sekarang. Belakangan sejumlah kawasan hutan di Provinsi Bengkulu menjadi habitat alami tempat tumbuhnya bunga Rafflesia tersebut.

Bunga yang berukuran besar itu kini menjadi maskot pengembangan ekowisata di Provinsi Bengkulu. Oleh karena itu, jika ingin menyaksikan sebuah keajaiban dan kekhasan bunga hutan nan langka, barangkali tidak ada salahnya untuk datang ke Bengkulu. Terutama ketika kuntum Rafflesia sedang musim mekar..
Ahmad Zulkani

Masyarakat Pasemah, 'Sindang Merdike' Itu Kini Tenggelam...


MASYARAKAT Pasemah? Barangkali tidak semua orang mengenalnya. Secara historis, suku Pasemah dulunya hanya merupakan suatu kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah pedalaman di Sumatera Selatan (Sumsel).

Suku Pasemah ini diidentikkan dengan masyarakat yang bermukim di daerah perbatasan Provinsi Sumsel saat ini dengan Provinsi Bengkulu.Secara administratif pemerintahan saat ini, wilayah Pasemah diakui meliputi daerah sekitar Kota Pagar Alam, wilayah Kecamatan Jarai, Kecamatan Tanjung Sakti, yang berbatasan dengan wilayah Bengkulu, dan daerah sekitar Kota Agung, Kabupaten Lahat (Sumsel). Menurut berbagai literatur, semua wilayah itu pada masa kolonial Belanda memang termasuk bagian dari Kewedanaan Pasemah. Sedangkan secara geografis, bisa disebut adalah mereka yang bermukim di sekitar kaki dan lembah Gunung Dempo sekarang.

Penyebutan Pasemah itu sendiri, seperti diakui Mohammad Saman (70), budayawan dan salah seorang sesepuh di sana, berawal dari kesalahan pengucapan (lidah) orang Belanda. Padahal, pengucapan yang tepat untuk menyebut kelompok masyarakat ini sebetulnya adalah Besemah. Hanya saja, karena lidah Belanda tidak bisa mengucap awalan “Be” dari Besemah dan yang terucap hanya “Pa”, maka mereka akhirnya menyebut dengan Pasemah.

Belakangan, bahkan hingga lebih setengah abad Indonesia merdeka, yang paling populer di tengah masyarakat justru sebutan: Pasemah. “Keseleo lidah (pengucapan) orang Belanda yang menyebut Pasemah itu, ternyata yang paling populer di luar. Padahal, bagi kami orang-orang yang masih bertahan di sini, dari dulu tetap menyebut Besemah,” ungkap Saman, yang mengaku secara otodidak menguasai dan mengikuti perjalanan panjang sejarah Pasemah.

Kata Besemah itu sendiri, konon berawal dari “kekagetan” Atong Bungsu, puyang (nenek moyang) mereka ketika melihat banyaknya ikan “Semah” di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo. Menyaksikan ikan itu, tiba-tiba terucap dari mulut Atong Bungsu kalimat; Besemah…, Besemah…! yang artinya di sungai itu ada (banyak) ikan semahnya.

***

PASEMAH adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi, dan budaya yang sangat khas. Seperti yang dijelaskan Mohammad Saman, masyarakat di tanah Pasemah sedari dulu sudah mempunyai tatanan dan aturan-aturan masyarakat yang bernama “Lampik Empat, Merdike Due” yakni, perwujudan demokrasi murni yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen masyarakat setempat.

Menurut Kamil Mahruf, Nanang Soetadji, dan Djohan Hanafiah dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika , asal usul orang Pasemah dimulai dengan kedatangan Atong Bungsu, yaitu nenek moyang orang Pasemah Lampik Empat dari Hindia Muka untuk menetap di daerah ini. Saat kedatangan Atong Bungsu tersebut, ternyata sudah ada berdiam dua suku yang menempati daerah itu. Yakni, suku Penjalang dan suku Semidang. Untuk menjaga ketenteraman dan melindungi kepentingan mereka, pendatang dan kedua suku itu menyepakati perjanjian bersama. Intinya, di antara mereka sampai anak keturunannya, tidak akan mengganggu dalam segala hal.

Sejauh ini memang tidak diketahui sejak kapan keberadaan suku-suku Lampik Empat di tanah Pasemah. Namun, seperti dijelaskan Kamil Mahruf, jika perkataan Pasemah yang terdapat dalam prasasti yang dibuat oleh balatentara raja Yayanasa dari Kedatuan Sriwijaya setelah penaklukan Lampung tahun 680 Masehi yaitu “Prasasti Palas Pasemah” ada hubungannya dengan tanah Pasemah, maka berarti suku-suku ini telah ada pada awal abad ke-7 M.

Keberadaan suku Pasemah itu sendiri tampaknya memang tidak bisa lepas dari perjalanan panjang sejarah Kesultanan Palembang. Dari berbagai referensi yang dimiliki, menurut Kamil Mahruf, keterkaitan antara tanah Pasemah dan Sultan Palembang dilatarbelakangi oleh hubungan historis dan moral menyangkut ketidakmampuan untuk mengatur diri sendiri.

Disebutkan, setelah puyang Pasemah yakni Atong Bungsu berkembang biak, keturunannya menyebar dan terbagi ke dalam empat suku. Yaitu, Sumbai Besar, Sumbai Pangkal Lurah, Sumbai Ulu Lurah, dan Sumbai Mangku Anom. Karena keempat suku itu tidak mampu mengatur kerukunan di antara mereka, maka dikirimlah utusan masing-masing suku menemui Raja Palembang untuk meminta petunjuk. Khusus dua suku sebelumnya, suku Penjalang dan Semidang tidak turut serta sesuai perjanjian terdahulu.

Lantas, Raja Palembang memberi hadiah kepada keempat ketua suku, berupa satu lampik atau tikar untuk tempat duduk bersama. Arti pemberian itu sangat dalam, yaitu arahan agar keempat suku tersebut harus duduk bersama dalam mengatasi berbagai masalah di lingkungan mereka. Segala sesuatu yang timbul di antara kelompok itu, harus diselesaikan secara musyawarah.

Menurut Saman, Lampik Empat (empat suku turunan Atong Bungsu) dan Merdike Due (dua suku yang sudah lebih dulu ada), merupakan potensi besar masyarakat yang ada di tanah Pasemah. Mereka menyatu, membentuk suatu kelompok masyarakat yang memang sudah sejak lama memiliki tatanan demokrasi modern.

“Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pasemah sudah punya sebuah tata pemerintahan yang amat demokratis. Pada saat itu yang dikedepankan adalah, kekuatan rakyat dengan dasar-dasar musyawarah dan mufakat. Lampik Empat, Merdike Due adalah, suatu tatanan demokrasi murni yang betul-betul sangat menjunjung tinggi pendapat dan aspirasi orang banyak. Itu artinya, jauh sebelum kalangan anggota parlemen dan para pemikir di Indonesia sekarang berbicara soal demokrasi, ternyata di tanah Pasemah sudah diterapkan hal itu lengkap dengan etika-etika berdemokrasi layaknya pemerintahan modern sekarang,” tegas Saman penuh bangga.

Hanya saja, pengingkaran terhadap tatanan demokrasi ternyata dari dulu sudah terbukti akan berdampak buruk. Tidak saja sekarang, sejak dari dulu pun pengingkaran demokrasi ini membawa implikasi yang tidak sehat di tengah
masyarakat. Bahkan, bisa menjurus perpecahan dengan beragam persoalan serius. Buktinya, bisa dilihat dalam perjalanan panjang sejarah Pasemah menghadapi Belanda antara tahun 1821 sampai 1866.

Dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika, Kamil Mahruf dan kawan-kawan secara gamblang menggambarkan betapa kejayaan Pasemah bertahun-tahun, bisa hancur hanya gara-gara pengingkaran terhadap nilai-nilai yang ada pada Lampik Empat, Merdike Due tadi. Bahkan, sekitar tahun 1866 ketika Pasemah Sindang Merdike (julukan membanggakan bagi orang-orang Pasemah sebagai penjaga perbatasan) berakhir, disebut-sebut dipicu oleh ketidaksenangan sebagian kepala dan orang-orang berpengaruh di wilayah Lampik Empat bersama-sama orang Semidang untuk membatalkan perjanjian “Sindang Merdike” dengan Belanda.

Berbagai ambisi dan kedengkian itu pula akhirnya yang menyebabkan runtuhnya kejayaan Lampik Empat, terhitung sejak 22 Juli 1867. Sudah bisa ditebak, begitu Lampik Empat “terkubur”, lenyap sudah sebuah hakikat demokrasi dalam sekejap. Artinya, kebijakan tanpa didasarkan pada musyawarah dan mufakat ternyata telah meruntuhkan sebuah pilar demokratis yang dibangun di tanah Pasemah.

***

MAKIN tenggelamkah “Sindang Merdike” saat ini? Menurut budayawan Pasemah, Mohammad Saman, begitu kekuatan Belanda merambah ke sini, mulailah terjadi pergeseran nilai-nilai adat, budaya, dan sistem pemerintahan di tanah Pasemah. Dampak berikut juga menyentuh berbagai peran dan fungsi lembaga-lembaga lama yang ada di masyarakat ke lembaga baru yang sesuai dengan keinginan penguasa.

Lembaga-lembaga lama misalnya hukum adat dan tradisi lain, semakin tidak berfungsi. Bahkan, puncaknya memasuki abad XIX, berbagai lembaga tradisional di tanah Pasemah terasa mulai keropos dan pada akhirnya hilang digerogoti kolonial. Barangkali ini terkait pula dengan strategi perang yang tujuan akhirnya adalah agar kekuasaan mereka bisa langgeng.

Era sekitar tahun 1940-an, bisa disebut sebagai titik awal pudarnya kejayaan Pasemah. Sebab, pada saat itu sistem pemerintahan marga sebagai sebuah sistem pemerintahan tradisional yang mapan di tanah Pasemah, ternyata dihapus oleh kolonial. Jabatan strategis seperti, Kepala Sumbai, Pesirah, dan lain-lain lantas dilikuidasi.

Dilukiskan, cobaan bagi tanah Pasemah tidak semata lahir pada zaman kolonial. Setelah merdeka, bahkan di era orde baru pun tanah Pasemah juga menjadi korban. Sistem pemerintahan marga, misalnya lembaga Sumbai yang mulai bertunas kembali saat itu, sengaja dienyahkan.

“Dengan diterapkannya Undang-Undang Pemerintahan Desa yang seragam dari Aceh sampai Irian sekitar tahun 1979, membuat pemerintahan marga di tanah Pasemah kembali terkubur. Padahal, saat itu reinkarnasi sistem pemerintahan marga sudah mulai muncul kembali. Ini jelas petaka kedua yang melanda Pasemah,” tutur Saman.

Imbalan dari pemerintah Orde Baru, untuk menghargai rasa keterpaksaan masyarakat Pasemah dalam menghapus marga dan diganti desa kala itu, hanya berupa sebuah stasiun relay televisi, satu masjid, dan memberi status kota administratif bagi Pagar Alam. Imbal beli yang teramat murah ini memang ironis. Akan tetapi, para tetua Pasemah tidak berdaya karena jika mereka menentang, jargon yang paling pas adalah akan dicap sebagai antipembangunan.

“Ketika itu pilihan kami memang serba sulit. Daripada timbul konflik dan dianggap macam-macam, dengan rasa berat hati kami akhirnya menerima tawaran itu. Kita betul-betul sedih, karena sudah diramalkan bahwa Pasemah akan dikubur tanpa bisa bangkit kembali,” ia menambahkan.

Tentang keinginan menghidupkan kembali pemerintahan marga, diakui Saman, bukan dimaksudkan untuk sekadar menghibur diri. Karena dengan sistem pemerintahan marga, diyakini semua institusi akan memiliki basis sampai ke tingkat yang paling dasar. Ini memberi banyak keuntungan, salah satunya adalah gampang menarik masyarakat untuk berpartisipasi dalam menggerakkan roda pembangunan. Sudah dari dulu diketahui bahwa Kepala Sumbai atau Pesirah memiliki ikatan moral dan berpengaruh luas ke bawah.

“Terus terang, kami iri dengan Sumatera Barat (Sumbar) yang saat ini sudah kembali ke pemerintahan Nagari. Jika di Sumbar sistem pemerintahan tradisional bisa dihidupkan kembali, kenapa di tanah Pasemah ini tidak dilakukan. Jadi, inilah yang perlu digugah untuk membangkitkan kembali kejayaan Pasemah dalam konteks pemerintahan modern di era otonomi daerah,” ujarnya.

Akankah “Sindang Merdike” itu akan terkubur sepanjang masa ? Jawabannya, tentu tergantung dari keinginan bersama masyarakat di tanah Pasemah itu sendiri.

Sebab, sebagai kelompok masyarakat yang mendapat gelar kehormatan “Penjaga Perbatasan”, idealnya memang harus mampu bangkit karena mereka memiliki rasa patriotisme tinggi. Sikap mental seperti itu memang sudah terbukti dan teruji dari dulu. Hanya saja, tenggelam dengan nostalgia masa lalu, jelas bukan sebuah jawaban yang tepat….

Ahmad Zulkani